"Udah nangisnya?"
Suara bariton mendadak muncul, menghentikan tangis sesegukan seorang gadis yang tengah duduk berjongkok di pinggir lapangan sembari menenggelamkan wajah.
Lelaki jangkung itu berjalan santai kearahnya, bersamaan dengan Arianna, nama gadis yang kini sudah beranjak dari posisinya tadi.
"Kok lo bisa disini?" tanya Anna bernada lirih, seraya menyeka kedua pipinya yang basah.
Lelaki disampingnya itu merogoh ponsel dari dalam saku celana, mengotak atik sebentar lalu menunjukkan sebuah percakapan singkat didalam layar menyala benda pipih di genggamannya.
Anna menghela nafas pelan, lalu memalingkan wajah seraya tertunduk lesu. Namun dia kembali menegakkan kepala dan menoleh lagi pada lelaki yang kini menatap kedepan.
"Kak, gue boleh tanya sesuatu?"Ā
"Hmm?"
Fano, sapaan akrab lelaki itu hanya merespon singkat tanpa menoleh.
"Kenapa lo gak nyuruh gue putus juga?"
Fano bergeming, meski tau Anna menatapnya lekat menunggu jawaban.
"Kita pulang sekarang"
Fano, sapaan akrab pria itu berbalik memunggunginya dan berjalan keluar dari sana.Ā Anna menghela nafas berat, karena tak mendapat sesuatu yang sangat ingin dia dengar untuk menjawab rasa penasarannya. Dengan langkah berat, dia menyusul keluar.
Di sepanjang perjalanan, Anna memeluk tubuhnya sendiri. Angin malam yang menembus kulitnya, membuatnya tampak kedinginan. Terlebih saat ini dia hanya mengenakan kaos pendek dan rok diatas lutut.
Fano yang tengah mengendarai motor, meliriknya dari kaca spion. Lantas dia menepikan motor di pinggir jalan. Fano yang tiba tiba turun, membuat Anna heran. Lelaki itu melepas jaket yang dia kenakan, lalu menyodorkan pada Anna.
"Nih pake, jangan sampe sakit. Lo gak mau kakak lo curiga kan" jelas Fano.
Meski sebenarnya enggan, Anna terpaksa mengambil pemberian itu lalu memakainya. Setelahnya Fano kembali menyalakan motor, hingga tak berapa lama tiba didepan sebuah rumah besar yang tampak agak mewah.
Anna turun, seraya melepas jaket Fano. Namun saat akan memberikannya kembali, lelaki itu menolaknya.
"Besok aja dikampus" sergah Fano.
"Gue masuk dulu ya kak, makasih udah nganter gue" ucap Anna agak lesu.
Fano tak langsung pergi, dia sengaja menunggu Anna hingga benar benar masuk ke dalam rumah.
Tak cukup puas, Fano memastikan Anna yang kini sudah berada didalam kamar, dengan melihat kearah sebuah jendela kaca yang tertutup tirai agak transparant dengan cahaya lampu yang baru saja menyala. Setelah merasa tenang, barulah Fano kembali menyalakan motor.
Sementara Anna yang sudah duduk ditepian ranjang, kembali melampiaskan rasa sesak yang masih memenuhi rongga dada. Dia meraih sebuah frame persegi berukuran sedang, menatap pilu foto dirinya dan sang kekasih didalam sana.
Rencana yang dia susun sejak sore tadi, untuk memberi kejutan ulangtahun pada lelaki yang telah menjalin hubungan dengannya selama dua tahun itu ternyata gagal.
Saat Anna baru saja tiba didepan rumah kekasihnya itu, justru dialah yang mendapat kejutan. Lelaki yang sangat dia cintai, tengah memeluk seorang gadis yang menangis tersedu dalam dekapannya.
Saat lelaki itu menyadari keberadaannya, Anna bergegas pergi dari sana setelah membuang kue yang dibawanya.
Anna memasukkan frame itu kedalam laci. Melihat wajah ceria dengan senyum manis lelaki yang berfoto disampingnya didalam sana, membuat dadanya terasa semakin sesak.
Saat Anna berusaha menghentikan tangisnya yang justru terasa sulit ditahan, suara dari luar membuatnya tersentak.
"Ann, buka! Lo nangis kan? Diapain lo sama cowok brengsek itu!"
Seseorang menggedor kencang berulangkali pintu kamarnya diluar, membuat Anna buru buru menyeka airmatanya.
"Buka Ann! Atau gue dobrak!"
Mendengar knop pintu diputar terus menerus, Anna langsung beranjak cepat membuka pintu setelah memastikan wajah sedihnya tak terlihat di cermin.
"Apaansih lo kak" sewot Anna, mendapati sang kakak laki laki sudah berdiri tegap dengan raut setengah marah dihadapannya.
"Lo nangis kan? Bilang sama gue, diapain sama cowok lo itu"Ā desak Ardan.
Anna berusaha menahan rasa gugup, dengan memalingkan pandangan. Namun, hal itu malah semakin mengundang rasa curiga Ardan, kakaknya.
"Ann.."
Ardan ingin mendekatkan wajah, untuk memastikan tak ada kebohongan yang berusaha disembunyikan adiknya. Namun, dengan sigap Anna mendorongnya.
"Udah ah, gue banyak tugas nih. Tidur sana lo, udah malem juga" protes Anna, lalu menutup pintu.
Ardan yang masih berdiri diluar, menghela nafas kasar. Jika saja ini tidak larut malam, dia pasti tak akan membiarkan Anna menghindar begitu saja. Setelah tadi melihat adiknya buru buru masuk kedalam rumah dengan gelagat aneh, menutup setengah wajahnya dengan satu telapak tangan seolah menyembunyikan sesuatu.
Anna kembali ke tepi ranjang, seraya mengatur nafas yang setengah memburu karena harus berbohong. Lalu dia merebahkan tubuh, bersiap untuk tidur.
Meski agak sulit, Anna memaksakan diri untuk berpindah ke alam mimpi. Setidaknya dia berharap bisa melupakan kejadian hari ini.
Entah perasaannya akan jadi sedikit membaik, atau semakin memburuk esok hari.
Anna sengaja menonaktifkan ponsel setelah pulang dari rumah lelaki itu, karna tau kekasihnya itu pasti akan terus menerornya dengan panggilan atau pesan beruntun.
Karena lelaki itu pasti akan menjelaskan sesuatu yang mungkin tak ingin dia dengar.
Setelah melihat hal tadi, Anna berencana akan memutuskan hubungan mereka. Butuh waktu hampir satu jam untuk Anna akhirnya bisa tertidur dengan lelap saat ini.
Sedangkan Fano yang sudah tiba dirumah beberapa menit lalu, tampak gelisah mondar mandir di balkon kamarnya.
Jemarinya sibuk mengetik di sebuah room pesan bersama seseorang, namun berulangkali juga dia hapus. Meski tadi dia terlihat tenang menghadapi kesedihan Anna, namun terselip kecemasan dalam hatinya.
Seolah merasakan kesedihan yang sama, dada Fano terasa sedikit sesak karena terus mengkhawatirkan gadis itu.
Pria tampan dengan bentuk tubuh proporsional itu, kembali kedalam kamar. Dia mengeluarkan sebuah kotak perhiasan dari dalam laci meja belajar.
"Kapan ya gue bisa kasih ini ke lo" batinnya menatap liontin titanium yang tergantung di jemarinya.
Fano membeli liontin berbandul pahatan kupu kupu berwarna biru itu beberapa bulan lalu, dan akan dia berikan pada seorang perempuan.
Seorang perempuan yang dia sukai sejak lama. Seseorang yang dia anggap sebagai cinta pertama baginya. Seseorang yang membuat jantungnya berdetak kencang saat mata mereka bertemu.
Dan Fano tak pernah merasakan hal itu sebelumnya, pun bersama beberapa perempuan yang pernah dekat dengannya. Bibirnya menarik garis senyum lebih lebar dari biasa, saat teringat oleh gadis itu.
Angan Fano seketika buyar oleh dering singkat ponsel disampingnya. Sebuah pesan masuk yang langsung dia baca, menciptakan raut serius di wajah.
Pesan yang hanya Fano baca dari kolom notifikasi yang muncul diatas layar itu, tak berniat dia balas. Kembali meletakkan benda pipih itu, Fano memilih beranjak tidur.