Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Sialnya Jadi Pengangguran di Dunia Lain

Ajo_Pedaww
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
46
Views
Synopsis
Dunia ini aneh. Tidak, mungkin kita yang tidak cukup peka untuk mendengarnya. Seperti melangkah di atas jalan berdebu yang tidak pernah terlihat jelas ujungnya, atau seperti mencoba membaca buku yang halaman-halamannya telah terlalu lama dibiarkan terlupakan. Semua hal itu—kenapa ia ada, dan apa maknanya—terkadang lebih membingungkan daripada yang bisa diterima oleh akal sehat. Tapi, ada satu hal yang lebih membingungkan daripada apa pun di dunia ini: kenapa hidup selalu menantang kita dengan pertanyaan-pertanyaan besar, sementara jawabannya seakan terbenam di dasar samudra yang tak terjangkau. Alex, seorang pengangguran yang hidupnya seperti tak lebih dari sekadar rutinitas, selalu berpikir bahwa dia sudah tahu segalanya. Ia merasa dirinya telah melihat semua sisi dunia, dari sudut yang paling gelap sekalipun. Baginya, hidup hanyalah sekadar pergulatan dengan kenyataan yang tidak selalu ramah. Hingga suatu malam, saat langit begitu gelap dan bintang-bintang seolah enggan menunjukkan dirinya, Alex menyadari sesuatu yang lebih penting daripada sekadar perjuangan untuk bertahan hidup: takdir yang tak terhindarkan. Ia selalu menganggap dunia ini bisa dikuasai, bahwa ia adalah penguasa dari hidupnya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu, seiring pijakannya yang semakin lelah, ia mulai meragukan apa yang pernah diyakininya. Dunia ini tidak hanya berbicara tentang apa yang kita inginkan, tetapi tentang apa yang dunia inginkan dari kita. Semua itu terjadi begitu saja, seolah takdir sudah menulis jalan hidupnya jauh sebelum ia bahkan mengerti tentang keberadaannya. Tidak ada yang bisa menduga apa yang akan datang selanjutnya. Termasuk Alex. Ia hanya tahu satu hal: tidak ada yang benar-benar tahu apa yang akan terjadi, kecuali mereka yang berani berjalan jauh dan mendengarkan bisikan-bisikan dunia yang seringkali tak tampak. Hanya mereka yang berani untuk bertanya, berani untuk melihat lebih dalam, berani untuk menatap ke dalam hati yang terperangkap dalam bayang-bayang gelap masa lalu. Dan malam ini, malam yang teramat sepi itu, Alex merasakan bisikan itu. Bisikan dunia yang ingin mengajaknya ke sebuah tempat yang bahkan ia sendiri belum tahu namanya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Naga, Koi, dan Hidup yang Mengambang

Di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, Alex duduk di trotoar dengan posisi tubuh yang aneh—seperti orang yang tak tahu harus kemana. Rambutnya gondrong dan berantakan, kumisnya terawat seadanya, dan tatapannya kosong, seperti orang yang baru saja kehilangan arah dalam hidup. Jika hidup ini adalah jalan, maka dia sudah lama tersesat. Tato naga di lengan kiri dan ikan koi di lengan kanan seakan jadi saksi bisu betapa hidupnya semakin aneh dan kacau.

Jalan di depannya penuh dengan orang yang sibuk berlari ke sana kemari. Mobil-mobil berdesakan, motor-motor saling mendahului, dan suara klakson seolah sudah menjadi musik latar hidup mereka. Sementara itu, Alex hanya duduk, menghisap rokok dengan santai. Di matanya, dunia ini seperti sebuah panggung sandiwara yang membosankan. Semua orang berlari mengejar sesuatu—entah apa itu. Sementara dia, duduk dengan malas, berharap ada sesuatu yang bisa menarik perhatian.

"Kamu lagi-lagi di sini?" suara yang familiar memecah keheningan. Itu Sarah, teman lama yang selalu berusaha menjaga hubungan dengannya. Sarah masih seperti dulu—baik hati, peduli, dan penuh harapan. Tapi Alex? Dia hanya bisa menatapnya dengan tatapan datar.

"Ya, kenapa?" jawab Alex singkat, sambil menyandarkan punggung ke tiang lampu jalan. Suaranya serak, seperti orang yang sudah lama tidak berbicara dengan dunia luar.

"Jangan cuma duduk doang, dong. Kerja, coba!" Sarah berkata, meskipun dia tahu itu sudah seperti mencurahkan air ke daun talas. Alex takkan berubah. Dia sudah begitu lama terjebak dalam kehidupan yang sama, dan Sarah tahu itu.

Alex meliriknya sebentar, mencoba mencerna kata-kata itu. Kerja? Kerja apa? Dia sudah mencoba begitu banyak pekerjaan, dari tukang bangunan hingga preman pasar, tetapi semua itu hanya meninggalkan rasa kosong yang semakin dalam. Kalau kerja itu berarti mengisi waktu, maka dia sudah cukup lelah. Dia butuh lebih—sesuatu yang bisa memberi arti pada hidupnya yang semakin hari semakin membosankan.

"Kerja?" Alex tertawa kecil. "Kerja cuma bikin pusing kepala. Aku cuma butuh hidup yang santai, Sarah. Aku udah cukup lelah ngejar-ngejar uang."

Sarah hanya menggelengkan kepala, merasa frustasi. "Tapi hidup ini nggak cuma soal santai, Alex. Ada tanggung jawab, ada tujuan. Hidup itu harus punya arti. Kalau nggak, ya begini, cuma jadi beban orang lain."

Alex hanya menatapnya, lalu menghembuskan asap rokok dengan perlahan. "Tujuan? Tujuan apa lagi yang harus aku kejar? Dunia ini udah buat aku tersesat," gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.

Tato naga di lengan kirinya bergelora dalam diam. Naga itu—simbol dari kekuatan dan keberanian—dulu adalah lambang dari harapan. Tapi kini, tampaknya naga itu hanya menatap kosong ke dunia yang tidak peduli. Di sisi lain, ikan koi di lengan kanannya, yang dikenal sebagai simbol keteguhan hati, juga tak lagi memberi makna. Keduanya menjadi seperti benda mati yang hanya menempel di tubuhnya tanpa arti.

"Kamu masih nggak paham, ya?" Sarah berkata, dengan suara sedikit lebih keras. "Mungkin kamu udah terlalu lama hidup di dunia yang kamu buat sendiri. Tapi, suatu saat, kamu harus keluar dari sana. Harus berani melangkah. Aku nggak mau ngeliat kamu terus-terusan hidup kayak gini."

Alex memandangnya, dan untuk sesaat, ada sedikit keraguan di matanya. Tapi, rasa itu cepat menghilang, tertutup oleh kebosanan yang menguasai dirinya. "Mungkin kamu benar," kata Alex sambil berdiri, mengacak rambutnya. "Tapi, bukan sekarang."

Sarah menghela napas, melihat Alex berbalik dan berjalan pergi tanpa tujuan jelas. Dia tahu, di dalam hati Alex, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan atau harapan. Sesuatu yang membuatnya merasa tak berarti.

Alex terus berjalan, menyusuri jalan yang dipenuhi orang-orang sibuk, yang tampaknya tak peduli dengan keberadaannya. Di dunia yang penuh dengan suara dan kegaduhan ini, dia merasa seperti hantu. Tidak terlihat, tidak didengar, dan tak pernah diperhatikan. Tato naga dan koi itu—seolah menjadi pengingat akan siapa dirinya yang dulu, sebelum semua ini berantakan.

Dulu, Alex bukan hanya seorang pengangguran. Dia adalah seorang pria dengan impian. Impian yang kini seakan terkubur dalam debu. Dia pernah bekerja keras, bahkan menjadi preman untuk bertahan hidup. Dia pernah punya tujuan, meskipun mungkin tujuannya tidak begitu mulia. Tapi sekarang, semua itu hanya kenangan. Kenangan yang semakin kabur.

Tak lama setelah meninggalkan Sarah, Alex berhenti di sebuah kedai kopi. Ia memutuskan untuk duduk dan menghabiskan rokoknya. Di dalam kedai itu, beberapa orang duduk dengan tenang, menikmati kopi mereka, berbicara dengan santai. Sementara Alex hanya duduk, meresapi rasa kosong yang ada dalam dirinya.

"Tato naga itu nggak bakal mengubah hidupmu, Alex," pikirnya sendiri. "Dan ikan koi itu juga nggak bisa menyelamatkanmu dari kebosanan hidup ini."

Tiba-tiba, sebuah suara mengejutkannya. "Hei, Alex! Udah lama nggak liat lo!"

Alex menoleh, dan di sana, berdiri seorang pria yang dulu cukup dekat dengannya—Zelly, seorang teman lama dari dunia preman. "Zelly..." kata Alex perlahan, mencoba mengenali wajah pria itu yang kini tampak sedikit lebih dewasa. "Apa kabar?"

Zelly tertawa kecil. "Baik-baik aja. Masih kayak gini, ya? Kerja nggak, nongkrong nggak, cuma bengong doang."

Alex hanya mengangkat bahu. "Nongkrong juga nggak ada gunanya, Zelly. Gimana kabar lo?"

Zelly duduk di sampingnya. "Kerja, cuy. Udah dapet pekerjaan yang lumayan. Jadi, lo nggak nyoba cari kerjaan lagi?"

Alex menatap Zelly dengan sedikit bingung. Pekerjaan? Lagi-lagi, kata yang sama. Zelly mungkin tak tahu betapa kosongnya hidup Alex. Semua pekerjaan yang pernah dia coba hanya membuatnya merasa semakin jauh dari dirinya sendiri.

"Kerja? Gue capek, Zelly. Gue butuh sesuatu yang lebih. Sesuatu yang bikin hidup gue... hidup lagi," jawab Alex, matanya memandangi meja dengan kosong.

Zelly hanya mengangguk, tampak sedikit lebih memahami. Mereka berbicara sejenak, sebelum Zelly akhirnya pamit pergi. Alex kembali duduk, berfikir lebih dalam. Dulu, dia bisa melakukan banyak hal. Dulu, dia bisa menaklukkan dunia. Tapi sekarang, dia hanya duduk di sini, merokok, dan menunggu sesuatu yang tak pernah datang.

Tapi, saat itu juga, sebuah perasaan yang sangat asing muncul di dalam dirinya. Sesuatu yang mengatakan bahwa hidupnya belum selesai. Sesuatu yang memberitahunya bahwa dunia ini, meskipun penuh dengan kebosanan, mungkin menyimpan petualangan yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya selamanya.

Tato naga dan koi di lengannya, yang dulu hanya jadi simbol kebanggaan, tiba-tiba terasa lebih berat. Mungkin karena tak hanya menjadi pengingat akan masa lalu, tapi juga harapan akan masa depan yang belum pasti.

Malam itu, ketika Alex berjalan pulang, dia tak merasa sendirian. Dia merasa bahwa sesuatu akan terjadi. Sesuatu besar, yang akan membawa dirinya keluar dari kebosanan ini. Tapi dia tidak tahu apa itu. Yang dia tahu, tak ada yang akan sama lagi.