Perlahan, kesadaranku mulai kembali. Mataku terasa berat, seperti sudah lama sekali tertutup rapat. Saat akhirnya terbuka, pemandangan pertama yang kulihat adalah langit-langit gua. Gelap dan dipenuhi guratan alami, tetapi bercahaya samar dari batu mana yang tertanam di dindingnya. Masih dengan setengah sadar, aku mencoba bangkit dari posisi terbaring, namun tubuhku terasa masih kaku. Kepalaku berdenyut nyeri, dan tanganku refleks memijatnya pelan, aku mencoba menjernihkan pikiranku yang masih kabur.
"Apa yang terjadi...?" bisikku lirih. Suaraku terasa serak, seakan aku tidak berbicara selama berabad-abad.
Aku memaksa diriku untuk duduk di tempat tidur kasar yang terbuat dari batu, diselimuti dedaunan merambat yang entah bagaimana terasa cukup nyaman. Pandanganku berkeliling. Ruangan gua ini tidak besar, tetapi cukup untuk menampung tubuhku yang sekarang terasa lelah luar biasa. Aku melihat lorong sempit di ujung ruangan, mungkin jalan keluar. Batu mana di dinding memancarkan cahaya biru lembut, menciptakan suasana tenang di tengah gelapnya gua sekarang.
Sejenak, aku hanya duduk di sana, mencoba memahami situasi. Pikiranku mulai mengingat kembali, potongan-potongan memori yang terputus satu per satu muncul. "200 tahun..." gumamku akhirnya, setelah menyusun semua kepingan memori itu. "Sudah 200 tahun berlalu." Ucapku pelan.
Waktu yang panjang itu seperti bayangan suram yang menindihku. Aku memandangi tubuhku sendiri. Meski semua terasa pulih, ada bekas kelelahan mendalam di setiap ototku. Bajuku sudah lusuh dan compang-camping, sisa-sisa pertempuran terakhirku dengan Raja Iblis. Luka-luka fisikku mungkin sudah sembuh, tetapi kutukannya meninggalkan jejak yang lebih dalam.
"Perlu 200 tahun untuk menahan rasa sakit ini," ucapku pelan. Tanganku mengepal, merasakan bekas kehadiran kutukan itu. Aku mengingatnya denganya jelas rasa sakit luar biasa yang menghancurkan tubuhku seketika setelah Raja Iblis menjatuhkan kutukannya padaku.
Hari itu, tubuhku seperti dihancurkan dari dalam. Rasa sakit itu sangat tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku nyaris kehilangan kesadaran sepenuhnya, tetapi di tengah keterpurukan itu, aku memutuskan untuk bertahan.
Dan dengan kekuatan terakhirku, aku menggunakan dua sihir untuk menyelamatkan kesadaran aku, membuatku tetap waras dengan rasa sakit kutukan Raja Iblis. Yang pertama adalah sihir penyembuhan tingkat tinggi, Arcane Regeneration, yang terus bekerja tanpa henti untuk melawan dampak kutukan Raja Iblis. Yang kedua adalah sihir ilusi, Chrono Sanctuary, sebuah mantra yang sebenarnya adalah eksperimen gagal milikku.
Awalnya, sihir ilusi itu kuciptakan karena kesadaranku akan keterbatasan umur manusia, aku sadar dengan usia manusia aku tidak akan bisa mempelajari dan meneliti semua sihir di dunia. Aku ingin memiliki lebih banyak waktu untuk belajar sihir, jadi aku menciptakan ilusi di mana waktu berjalan lebih lambat satu hari di dunia nyata terasa seperti satu tahun di dalam ilusi. Namun, hasilnya terbalik. Efeknya justru mempercepat persepsi waktu. Satu hari pikiranku berubah menjadi satu tahun.
Dan karena kegagalan itu, aku trauma, aku tidak pernah menggunakan sihir ini dan melakukan penelitian terhadap sihir ini lagi. Namun, dalam kondisi putus asa itu, aku tidak punya pilihan lain. Aku mengaktifkan Chrono Sanctuary dengan menambahkan satu printah, ilusi ini akan terlepas ketika rasa sakit kutukan ini sudah bisa kutahan.
"Dan sekarang, 200 tahun telah berlalu..."
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikiran. Selama di dalam ilusi itu, aku menciptakan ruang kecil berbentuk perpustakaan. Perpustakaan itu adalah tempatku berpikir, tempat aku mengumpulkan dan menyusun semua ilmu sihir yang kumiliki. Setiap mantra, teori, dan catatan yang pernah kubaca ada di sana. Beberapa buku bahkan belum sempat kupelajari.
Sihir ini memberiku waktu untuk menganalisis kutukan Raja Iblis dan mencari cara melawannya. Namun, '200 tahun...' Aku tidak pernah membayangkan akan memakan waktu selama ini. Aku bertanya-tanya, apa yang terjadi di dunia luar selama aku tertidur? Apakah Raja Iblis kembali dan masih berkuasa? Apakah teman-temanku masih hidup? Setidaknya Tiaris dan Galdor, mereka berdua seharusnya masih hidup sekarang jika tidak ada hal buruk yang terjadi setelah perang dengan raja iblis.
"Hah, baiklah... sekarang, kenapa aku ada di sini?" gumamku, lebih kepada diriku sendiri. Aku masih duduk di tempat tidur batu, sementara pikiranku berusaha merangkai kepingan ingatan terakhir yang tersisa. Aku mencoba menganalisis situasiku sekarang. Gua kecil ini, tubuhku yang tak terluka, dan pertanyaan yang terus menghantui pikiranku.
Memori terakhirku adalah medan pertempuran yang penuh darah dan kehancuran. Aku ingat jelas, aku berdiri di tengah-tengah kobaran api yang menyala-nyala, dengan tubuh penuh luka setelah bertarung dengan Raja Iblis. Tapi sekarang? Aku berada di dalam gua gelap, jauh dari hiruk pikuk pertempuran dan Siapa yang membawaku ke sini?
Aku memandangi tubuhku dengan seksama. Tidak ada luka, tidak ada bekas pertempuran besar itu. Aku cukup yakin bahwa seseorang telah membawaku ke sini. Aku rasa mungkin sekutu-sekutuku? Tapi tidak mungkin orang dari Kerajaanku.
Pikiranku mulai menganalisis kemungkinan. Jika benar ini adalah sekutuku, pasti terjadi sesuatu setelah aku tidak sadarkan diri dan sesuatu mengancam tubuhku. Namun, jika keluargaku yang membawaku ke sini, sudah pasti itu bukan karena alasan yang mulia. Keluarga Goddsky adalah keluarga penyihir besar, tetapi juga penuh dengan masalah internal.
Aku adalah pewaris sah keluarga Goddsky, tetapi posisiku selalu menjadi sumber kecemburuan bagi kakak pertamaku. Dia tak pernah menyukaiku. Sejak kecil, aku tahu dia iri karena aku dianggap lebih berbakat dan menjadi calon kepala keluarga berikutnya. Dengan kematianku di medan perang, aku yakin dia akan mengambil alih posisi kepala keluarga tanpa ragu.
Aku menghela napas berat. "Jika benar dia sudah menjadi pemimpin keluarga, aku hanya bisa berharap dia tidak menghancurkan semuanya..." gumamku lirih. Tapi aku tahu itu hanyalah harapan kosong. Dengan sifat liciknya, dia pasti telah mengubah keluarga kami menjadi alat kekuasaan untuk ambisinya sendiri.
Tapi sudahlah, 200 tahun telah berlalu. Tidak ada gunanya meratapi apa yang sudah terjadi. Aku tidak bisa mengubah masa lalu, hanya masa depan yang masih bisa kutulis ulang sekarang.
Aku memeriksa tubuhku sekali lagi. Tidak ada perubahan besar masih sama seperti sebelum aku tidak sadarkan diri. Tidak ada tanda-tanda penuaan, meskipun sudah 200 tahun berlalu. "Jadi, aku benar-benar abadi sekarang..." ucapku pelan, mengingat kutukan Raja Iblis yang menyegel umurku. Tubuh ini tidak akan menua, tidak akan rusak, tetapi tidak berarti aku tidak bisa terluka.
Namun, ada sesuatu yang ganjil. Aku menyadari ada sesuatu yang hilang, dua hal yang sangat penting. "Rune of Seal..." bisikku dengan rasa cemas yang mulai tumbuh. "Dan tongkat sihirku..."
Aku merasakan tubuhku dengan lebih seksama. Tidak ada jejak Rune of Seal di sana, artefak penting yang menjadi bukti statusku sebagai calon pemimpin keluarga Goddsky. Rune itu adalah peninggalan leluhur kami, sesuatu yang seharusnya tak bisa diambil begitu saja karena telah menyatu dengan tubuhku.
"Ini buruk," aku bergumam, rasa khawatir menyelimuti pikiranku. "Siapa yang bisa mengambil Rune of Seal dari tubuhku? Apa mungkin Rune itu terlepas dariku setelah tidak sadarkan diri? Tidak... seharusnya tidak semudah itu, apa itu juga jadi alasan aku di sini sekarang?"
Kemungkinan besar, itu adalah kakakku. Jika dia menemukan tubuhku lebih dulu setelah perang, dia pasti akan menggunakan kesempatan ini untuk merebut Rune tersebut. Namun, itu belum pasti dan tidak menutup kemungkinan bahwa sekutuku sendiri yang melakukannya. Siapapun yang melakukannya, aku tahu ini bukan hal baik.
Selain Rune, tongkat sihirku juga hilang. Aku menghela napas panjang. Tongkat itu adalah artefak suci tingkat tinggi, sangat sedikit artefak yang mampu menandingi kekuatannya. Tongkat itu telah menemaniku sejak aku masih sangat muda, merupakan pemerian dari guru sihirku, serta menjadi saksi perjuangan dan perjalanan panjangku sebagai penyihir. Kehilangannya meninggalkan lubang besar di hatiku.
"Apa mungkin mereka juga mengambil tongkatku...?" tanyaku pada diriku sendiri. Tapi jawaban itu tidak akan kutemukan di sini, tidak di dalam gua ini.
"Sudahlah," aku berkata akhirnya, mencoba meredam rasa kehilangan. "Percuma meratapi sesuatu yang sudah hilang."
Kemudian aku menatap tanganku, merasakan energi yang mengalir dalam tubuh ini. "Tubuh abadi..." ucapku, mencoba mencerna kenyataan ini. "Aku ingin mengujinya, tetapi bukan itu hal utama sekarang."
Aku berdiri perlahan, tubuhku masih terasa kaku setelah lama tidak bergerak. Lantai gua dingin menyentuh telapak kakiku, mengingatkanku pada kenyataan. Aku berjalan menuju lorong sempit di ujung ruangan, dindingnya dipenuhi batu mana yang bercahaya biru lembut.
"Sebelum melakukan apa pun, aku harus tahu di mana aku berada," gumamku. Langkahku masih terasa berat, tetapi tekadku kuat. Lorong ini mungkin akan menuntunku keluar dari kegelapan gua ini, dan menuju jawaban atas semua pertanyaan yang memenuhi pikiranku.
Langkahku menyusuri lorong sempit gua ini terasa begitu lambat, seolah waktu berjalan mundur, seiring pikiranku yang terombang-ambing di antara kenangan dan kenyataan. Aku terus merenung tentang pertarungan terakhirku dengan Raja Iblis, pertempuran yang mengubah segalanya. Amarahku kembali bangkit, menyusul rasa sakit yang melanda hatiku setiap kali teringat pada mereka yang gugur, terutama Rudeus dan Glen. Mereka mati karena melindungiku, dan itu membuatku merasa sangat tidak berguna.
'Kenapa aku tidak cukup kuat?' pikirku, suara hatiku yang penuh kesalahan. 'Seandainya aku tahu Raja Iblis memiliki dua True Rune, mungkinkah semua ini bisa berbeda...'
Pikiran itu terus berputar dalam kepalaku, seakan menghimpit seluruh energi yang tersisa dalam diriku. Aku membenci Raja Iblis, tentu saja. Namun, di sisi lain, aku merasa ini semua adalah akibat dari ketidakmampuanku. Jika saja aku lebih kuat, jika saja aku lebih cepat menyadari hal ganjil, mungkin nasib mereka bisa berbeda. Tapi, kini, semua itu sudah tidak ada artinya lagi. Semua yang bisa kulakukan hanyalah menyesali masa lalu yang tak bisa diubah.
Namun, seiring aku melangkah, pikiranku mulai terfokus pada sesuatu yang lain. Tiba-tiba langkahku terhenti saat mataku menangkap sebuah segel sihir yang kuat di ujung lorong gua. Segel ini tampaknya sangat kukuh, dan aku tahu ini bukan segel biasa. Seseorang dengan keahlian luar biasa pasti yang meletakkannya di sini. Aku memperhatikan energi mana yang mengalir darinya, dan rasa-rasanya sudah cukup jelas siapa yang bisa melakukannya.
"Tidak salah lagi, pasti Tiaris," gumamku pelan, aku tersenyum saat menyebut nama itu dengan penuh keyakinan. Tiaris adalah salah satu sekutuku yang paling andal. Seorang penyihir dari Kekaisaran Selatan yang memiliki keahlian khusus dalam segel sihir. Aku tahu, hanya dia yang mampu membuat segel sekuat ini, setidaknya dengan ini aku tau Tiaris masih hidup setelah pertempuran, waktu perang terjadi Tiaris tidak ikut pertempuran secara langsung. Dia menjadi salah satu penyihir yang membantu pertahanan Kekaisaran selatan.
Dengan hati-hati, aku merasakan aliran mana yang keluar dari segel itu dan mulai menghancurkannya. Kekuatanku mungkin tak sekuat dulu, namun aku masih memiliki cukup sihir untuk melakukannya. Dalam beberapa detik, segel itu pecah, dan jalan keluar akhirnya terbuka. Aku melangkah keluar dari gua, merasakan udara segar yang menyapu wajahku. Begitu berbeda dengan bau darah dan kehancuran yang terakhir kali kualami.
"Ini... terasa damai," ucapku perlahan, menikmati kedamaian yang jauh berbeda dari kehancuran yang pernah kualami. Udara pagi yang sejuk, suara angin yang berbisik melalui pepohonan, semuanya terasa begitu tenang.
Aku menarik napas panjang, meresapi setiap hembusan udara yang masuk ke paru-paruku. Rasanya begitu asing, begitu berbeda. Aku menatap tangan kananku, dan di sana, cincin yang dulu kuterima dari teman dwarf-ku masih ada. Cincin itu tidak hilang, dan aku merasa sedikit lega. Cincin itu adalah hadiah darinya, sebuah cincin yang bisa menyimpan barang-barang berharga. Meskipun sekarang aku tak bisa memanfaatkan sepenuhnya sihir ruang yang ada di dalamnya, setidaknya aku masih bisa berharap untuk mendapatkan sesuatu yang berguna.
Aku menyalurkan sedikit mana ke dalam cincin itu, berharap bisa mengakses barang-barang yang pernah kutaruh di dalamnya. Namun, cincin itu tak merespons. Aku tertawa kecil, sedikit kecewa. "Tidak bisa ya..." Aku sadar, dengan mana yang aku miliki sekarang, cincin itu takkan berfungsi seperti dulu. Semua barang berharga yang kutaruh di dalamnya kini tak bisa dijangkau.
"Mau bagaimana lagi," ucapku, menyadari bahwa tak banyak yang bisa kulakukan. Aku kemudian menunduk dan menggambar sebuah lingkaran sihir, kemudian aku melepaskan cincin itu dan meletakkannya tepat di atas lingkaran sihir itu. Dengan perlahan, aku mulai merapalkan mantra, mengalirkan sihirku ke dalam lingkaran itu. Beberapa saat kemudian, lingkaran itu bercahaya kebiruan, dan barang yang kuinginkan mulai muncul.
Sepasang baju pengelana coklat dan tongkat kayu tua muncul di hadapanku. Aku menatap benda-benda itu, merasa sedikit kecewa namun juga lega. "Dengan tingkat sihirku, cuma bisa memanggil ini," gumamku sambil memandang baju pengelana yang lusuh dan tongkat kayu yang sudah usang. Mereka jauh dari sempurna, tetapi setidaknya mereka lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
"Yah, lebih baik daripada tidak," ucapku pelan, mengganti bajuku dengan baju pengelana itu. Baju itu memang sederhana, bahkan tampak lusuh, namun lebih baik daripada pakaian pertempuran yang sudah rusak. Aku menaruh bajuku yang lama di atas cincin dan merapalkan mantra lagi. Dalam sekejap, baju itu menghilang, disimpan kembali di dalam cincin.
Aku mengenakan cincin itu lagi di jariku, lalu menatap baju pengelana yang baru kukenakan. "Kalau aku di selatan, aku pasti bisa memperbaiki baju ini," kataku dengan nada penuh harapan. Baju ini sebenarnya adalah artefak kelas tinggi yang akan sangat disayangkan jika aku buang begitu saja. Namun, aku tahu, kalau aku tidak bertemu dengan seseorang yang bisa memperbaikinya, itu hanya akan jadi barang yang sia-sia.
"Yah, itu pun kalau aku bertemu dengan seseorang yang bisa memperbaikinya," gumamku lagi, sambil menggambar lingkaran sihir baru.
Berlahan, aku mulai membentuk lingkaran sihir di hadapanku. Kali ini, aku menggigit ujung jariku dan meneteskan sedikit darah ke dalam lingkaran. Merasakan panas dari darah yang menetes ke tanah, aku merapalkan mantra pemanggilan dengan perlahan, berusaha menstabilkan mana yang masih tersisa di tubuhku. Dengan sedikit usaha, aku memusatkan kekuatanku pada satu titik, dan dalam sekejap, sebuah burung pipit kecil muncul di hadapanku.
Aku terkekeh kecil, meskipun ada rasa kecewa yang menggerogoti dadaku. "Burung pipit... dan lagi, ini benar-benar burung pipit biasa," ujarku sambil menatap makhluk kecil itu yang tampaknya bingung. Seharusnya, aku bisa memanggil elang pengantar pesan yang lebih kuat dan efisien, namun saat ini, aku hanya mampu memanggil seekor burung pipit yang bahkan tidak bisa terbang dengan cepat.
Namun, aku tidak punya pilihan lain. Aku mengangkat burung pipit itu dan dengan hati-hati menaruh selembar kertas di belakang tubuhnya. Mengalirkan mana ke dalam kertas itu, aku menuliskan pesan untuk Tiaris, salah satu sekutuku yang merupakan seorang penyihir hebat yang selalu bisa diandalkan. Pesan itu sederhana, hanya mengatakan 'aku sudah kembali,' Setelah berabad-abad menghilang. Aku harap Tiaris baik-baik saja.
Aku kemudian menanamkan sedikit sihir koordinat dan pelindung pada burung pipit itu. Sebenarnya, jika aku menggunakan elang pengantar pesan, aku tidak perlu melakukan hal ini. Elang bisa langsung menuju tempat tujuan dengan cepat dan tanpa hambatan. Tapi, burung pipit ini? Aku hanya bisa berharap bahwa dia bisa sampai ke Tiaris tanpa masalah.
Setelah mengucapkan mantra terakhir, aku melepaskan burung pipit itu, menyaksikannya terbang ke angkasa, walaupun tidak secepat yang kuinginkan. "Semoga kau bisa sampai ke sana tepat waktu," kataku dalam hati, merasa sedikit ragu.
Namun, saat aku berdiri di sana, merasakan sejuknya udara pagi yang segar, kepalaku terasa agak pusing. Manaku hampir habis meskipun aku hanya menggunakan sedikit saja. Aku tertawa getir, merasa sedikit malu. Seharusnya, sebagai seorang penyihir tingkat tinggi, aku tidak akan kehabisan mana hanya karena beberapa sihir kecil seperti ini. Namun, kenyataan berkata lain. Kelemahan itu menekan, dan aku tahu harus bertindak cepat.
Aku berusaha mengedarkan manaku, mencoba memeriksa sekelilingku. "Sia-sia," gumamku, merasa frustrasi. Dengan mana yang ada sekarang, aku tidak mampu menggunakan sihir pendeteksi yang dulu bisa kugunakan dengan mudah. Terpaksa, aku memutuskan untuk berjalan kaki, berharap menemukan sesuatu atau seseorang yang bisa membantuku dalam perjalanan ini.
Aku berada di tengah hutan yang rimbun, dikelilingi oleh pepohonan tinggi yang membuat suasana semakin sunyi. Aku berjalan pelan, langkahku terasa berat. Mungkin tubuhku sudah terlalu lama tidak bergerak seperti ini. Setelah beberapa waktu, akhirnya aku menemukan jalan setapak yang cukup jelas. Aku mengikuti jalan itu, berharap jalan tersebut membawaku ke tempat yang lebih terbuka. Dan benar saja, setelah beberapa saat, jalan setapak itu membawa aku ke sebuah jalan besar yang terlihat seperti jalur utama.
Hamparan rumput luas membentang di sekeliling jalan, dengan hembusan angin lembut yang menyapu wajahku. Keheningan yang ada membuatku merasa sedikit lebih tenang, meskipun rasa lapar dan haus mulai mengganggu. Aku mulai bertanya-tanya, berapa lama lagi aku harus berjalan sebelum menemukan desa atau pemukiman. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar sini, hanya hamparan alam yang tak berujung.
Tiba-tiba, terdengar suara dari belakang. Aku menoleh, dan mataku menangkap sebuah rombongan karavan besar yang sedang melaju menuju ke arahku. Aku merasa lega. Dengan tubuh yang sudah mulai lelah, karavan itu menjadi harapan kecilku untuk bisa menemukan bantuan.
Aku menunggu dengan sabar hingga karavan itu mendekat. Ketika pemimpin karavan itu melihatku, ia berhenti dan menatapku sejenak. Wajahnya yang sudah tua, dengan janggut putih yang lebat, tersenyum ramah. "Hai, anak muda, apa kau perlu bantuan?" tanyanya dengan suara yang lembut.
Aku mengangguk lemah, merasa sedikit lega karena akhirnya ada seseorang yang bisa membantuku. "Iya, jika bisa, aku ingin menumpang sampai kota terdekat di sini," jawabku dengan suara lemah, kelelahan sudah mulai terasa di tubuhku.
Orang tua itu berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Kebetulan kami punya ruang kosong di belakang, tempat salah satu party para petualang. Kau bisa satu kereta dengan dia," ucapnya dengan senyum lebar. "Jarak dari sini sampai kota terdekat masih satu hari lagi, tapi karena jaraknya tidak terlalu jauh lagi, aku akan memberikan harga murah untukmu, anak muda. Bagaimana?"
Aku tidak terkejut dengan tawaran itu. Aku sudah tahu bahwa pedagang seperti dia pasti akan meminta bayaran, tetapi tawaran ini lebih baik daripada harus berjalan kaki ke kota yang entah masih jauh atau tidak. Aku mengeluarkan lima koin perak dari penyimpanan cincin ku sebelumnya, aku sempat mengeluarkan beberapa koin perak sebelum mereka datang, aku tidak tahu apa ada perubahan mata uang setelah 200 tahun ini, tapi cuma ini yang aku punya. Aku menunjukkan koin perak itu padanya dan menyerahkannya kepadanya. "Apa segini cukup?"
Orang tua itu tertawa kecil. "Hohoho, itu cukup. Kau bisa beli beberapa makanan juga kalau mau. Bagaimana?" katanya dengan senyuman lebar, jelas sekali dia merasa senang bisa membantuku. Dan sepertinya tidak ada perubahan pada mata uang ini, mungkin yang berubah cuma nilai tukarnya, mungkin harga mata uang jadi lebih rendah, dulu 5 koin perak ini cukup untuk bertahan hidup 1 bulan untuk orang biasa, atau mungkin dia menipu aku dengan nilai tukarnya? Sudahlah itu bukan hal besar. Bukannya malah ada kemungkinan 5 koin itu kurang dan dia memang membantuku.
Dan sepertinya, karena penampilanku yang lusuh dan tidak membawa apa-apa, dia menduga aku belum makan atau membawa persediaan apapun. Aku setuju dengan tawarannya, dan dia kemudian menunjuk salah satu kereta lainnya di samping. "Berikan pemuda ini makanan yang dia perlukan sampai kota," ucap pedagang itu pada salah satu anak buahnya.
Anak buahnya, seorang pria muda yang terlihat kekar, mengarahkan aku ke kereta dan memberiku beberapa makanan serta minuman yang cukup di dalam sebuah kantong kecil. "Silakan, petualang," katanya dengan nada sopan.
Setelah aku mendapat makanan dan minuman yang diberikan oleh anak buah pedagang tadi, aku berjalan menuju kereta pertama yang ditunjukkan kepadaku. Begitu aku melangkah masuk, aku disambut oleh sekelompok petualang yang tampaknya sudah lebih dahulu berada di dalam. Mereka berjumlah lima orang, duduk tersebar di dalam kereta, dengan beberapa di antaranya tampak terlelap dalam perjalanan yang jauh.
Aku memilih tempat kosong di dekat jendela dan duduk. Kereta ini cukup nyaman, meskipun terlihat sudah agak usang. Beberapa petualang yang duduk di dekatku memberikan pandangan sekilas, mungkin penasaran dengan penampilanku yang tampaknya jauh dari penampilan seorang petualang berpengalaman. Aku tidak merasa terganggu, karena aku juga sedang terlalu lelah untuk peduli tentang itu.
Aku mulai membuka kantongku dan mengeluarkan makanan yang diberikan oleh anak buah pedagang tadi. Sejenak aku menikmati makanan yang sederhana, sambil merasakan kenikmatan dari sesuatu yang tidak harus aku buat sendiri. Setelah beberapa suapan, tiba-tiba salah satu dari petualang yang duduk di sebelahku mendekat.
Dia seorang pria berusia sekitar 30-an, dengan penampilan seperti warrior yang sedang beristirahat. Tubuhnya besar, dan di punggungnya terpasang pedang besar yang terlihat berat. Wajahnya tampak ramah, meskipun ada garis-garis kelelahan di matanya, yang mengindikasikan bahwa dia sudah sering berpergian jauh.
"Kamu juga mau ke kota, yah?" tanyanya sambil tersenyum kecil, seakan memecah keheningan di antara kami.
Aku menatapnya sebentar, mengunyah makanan dalam mulutku, sebelum akhirnya menjawab, "Iya, aku terpisah dari rombonganku saat perjalanan."
Aku berusaha terdengar alami, berharap tidak ada sesuatu yang terdengar mencurigakan dari penjelasanku. Sejujurnya, aku tidak suka berbohong, tapi saat ini tidak ada pilihan lain. Aku harus menjaga jarak dan memastikan orang-orang ini tidak terlalu banyak tahu tentangku.
"Ah, jadi kamu juga seorang petualang, ya?" dia melanjutkan, lalu duduk di sebelahku. "Kebetulan sekali, kami juga petualangan, kami di bayar untuk menjaga karavan ini."
"Ah, jadi begitu. " Balas ku sambil menyodorkan sebuah roti dalam kantung makanan.
Pria itu terkekeh kecil dan mengambil roti yang akun tawarkan, kemudian dia lanjut berbicara, "kau tau tujuan karavan ini? "
"Tidak," Balas ku sambil lanjut memakan roti.
"Sekarang kita sedang menuju kota Cinderfall, "
Aku sedikit terkejut mendengar nama itu. 'Cinderfall...' aku ingat nama itu. Itu adalah sebuah desa kecil yang dulu aku bantu selamatkan dari bencana vulkanik yang hampir menghancurkannya. Tanpa sadar, pikiranku melayang sejenak, mengenang kejadian-kejadian itu. Tapi aku cepat menyadarkan diri dan kembali fokus.
"Sepertinya kota itu sudah berkembang pesat," jawabku, mencoba menghindari detail lebih lanjut. "Aku sempat ke sana beberapa waktu yang lalu. Ada banyak perubahan."
Pria itu mengangguk dengan penuh perhatian. "Iya, Cinderfall memang berubah. Dulu hanya sebuah desa yang sering terancam bahaya beberapa tahun terakhir, tapi sekarang sudah menjadi pusat perdagangan yang penting. Semua karena guild perdagangan besar membangun salah satu cabang mereka di sana. "
Aku hanya mengangguk perlahan, berpura-pura tidak terlalu peduli. "Menarik. Sepertinya banyak yang telah berubah," kataku, meskipun aku tidak terlalu banyak tahu tentang keadaan sekarang. Aku hanya ingin tetap berada dalam percakapan dan menjaga suasana tetap ringan.
Kami melanjutkan percakapan itu dengan lebih ringan, berbicara tentang perjalanan dan pengalaman masing-masing. Ternyata, pria ini, yang bernama Haldor, adalah seorang warrior yang telah berkeliling ke banyak tempat. Dia bersama empat petualang lainnya dalam satu tim, menjelajahi berbagai daerah untuk mencari artefak dan menyelesaikan misi yang diberikan.
Aku hanya mengangguk beberapa kali dengan beberapa pembicaraan kami, berusaha tidak terdengar terlalu tertarik. Aku masih terfokus pada tujuanku untuk mencari tahu lebih banyak tentang apa yang telah terjadi selama dua ratus tahun terakhir. Aku tidak ingin terlibat dalam urusan orang lain lebih lama lagi. Aku perlu memastikan bahwa aku bisa menemukan informasi yang aku butuhkan, tanpa terlalu terikat dengan orang-orang ini.
Mungkin aku harus memeriksa sendiri keadaan Cinderfall nanti. Segel yang kubuat di gunung itu pasti masih ada, tetapi apakah ia tetap berfungsi dengan baik? Aku harus memastikan semuanya tetap aman. Dengan berpikir begitu, aku merasa lebih tenang meskipun masih banyak hal yang perlu dipahami.
Tiba-tiba, Haldor berbicara lagi, seakan menawarkan kesempatan untuk bergabung dengan mereka. "Kita akan tiba di Cinderfall dalam sehari perjalanan. Kalau kamu ingin bergabung dengan kami, kami akan senang sekali. Kami sedang mencari artefak langka di sekitar wilayah itu, dan kami tahu ada beberapa tempat yang perlu dijelajahi di sana."
Aku melirik Haldor sejenak, kemudian menggeleng perlahan. "Terima kasih atas tawarannya, tapi Aku sendiri ada beberapa urusan yang lebih mendesak. Maaf aku tidak bisa menerima tawaranmu"
Haldor mengangguk, tampak sedikit kecewa tapi tetap menghormati jawabanku. "Ah, paham. Tentu, urusan pribadi lebih penting. Kalau ada yang bisa kami bantu, jangan ragu untuk menghubungi kami."
Aku tersenyum tipis. "Terima kasih, aku akan mengingatnya."
Percakapan itu berakhir dengan tenang, dan aku melanjutkan perjalanan dalam kereta, duduk diam sambil merenung. Aku masih harus mencari tahu apa yang telah terjadi selama dua abad ini, dan menemukan petunjuk tentang segala perubahan yang terjadi di dunia ini. Cinderfall mungkin hanya bagian kecil dari perjalanan panjang yang harus kulalui.
Malam tiba lebih cepat dari yang aku perkirakan. Di luar, udara yang dingin mulai menyentuh kulit, dan aroma hutan yang sejuk menyelimuti karavan yang sedang berhenti. Para petualang mulai bergerak dengan sigap, mendirikan tenda dan menyiapkan tempat untuk beristirahat. Beberapa dari mereka, yang bertugas sebagai pelindung, memeriksa sekitar untuk memastikan keamanan perjalanan kami.
Aku tidak ikut bergabung dalam tugas jaga, sebaliknya, aku memilih untuk membantu dengan mencari kayu bakar untuk api unggun. Sambil mengumpulkan ranting-ranting kering dan memecah beberapa batang kayu, pikiranku tak bisa berhenti berputar. Banyak hal yang telah berubah selama dua abad terakhir, dan aku merasa cemas untuk menyelami lebih dalam tentang keadaan dunia ini.
Selama perjalanan tadi, aku sempat berbicara dengan beberapa petualang yang tampaknya cukup berpengalaman. Dari percakapan kami, aku mengetahui bahwa dunia sudah mengalami perubahan besar. Ras iblis yang dulu begitu kuat telah dipukul mundur ke utara, setelah banyak pertempuran sengit dengan ras-ras lain. Bahkan ada perjanjian damai antar ras yang dulu sering berselisih. Sepertinya perdamaian itu yang memungkinkan berbagai ras, termasuk demihuman, untuk hidup berdampingan.
Aku mendengarkan semua itu dengan seksama. Dulu, tidak ada kesempatan untuk duduk bersama dengan ras lain. Kami selalu berada di posisi yang saling bertentangan. Tapi setelah Raja Iblis memulai invasi besar-besaran ke seluruh benua, perpecahan itu menjadi hal yang tidak bisa dipertahankan lagi. Semua ras akhirnya bersatu untuk menghadapi ancaman yang lebih besar, dan, berkat pengorbanan banyak orang, dunia kini berada dalam masa damai. Setidaknya selama dua abad terakhir, itu adalah waktu yang penuh dengan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Banyak hal yang aku pelajari selama perjalanan ini, dan meskipun dunia telah berubah begitu banyak, satu hal tetap sama, aku masih merasa ada yang hilang dalam diriku. Aku masih belum mengerti sepenuhnya mengapa aku dibawa ke sini. Kenapa Tiaris yang membawaku? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang membuatnya sampai ke titik ini?
Sambil duduk di dekat api unggun, aku mengingat masa lalu. Suara api yang crackling dan panasnya yang menyentuh wajahku membangkitkan kenangan lama. Aku merasa sedikit melankolis, teringat tentang teman-temanku yang sudah tiada. Mereka semua adalah bagian dari masa lalu yang tak akan pernah kembali, dan meskipun dunia sekarang tampak damai, aku merasa ada sesuatu yang hilang.
Kami semua berjuang untuk perdamaian ini, tetapi entah mengapa, aku merasa bahwa dunia ini belum benar-benar damai. Masih ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, sesuatu yang tersembunyi jauh di dalam bayang-bayang. Jika semua ini telah berubah begitu banyak, apakah kedamaian ini benar-benar akan bertahan? Atau apakah ada ancaman lain yang masih bersembunyi, menunggu untuk meledak?
Aku menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk menyingkirkan kegelisahan itu untuk sementara. Hari sudah cukup panjang, dan aku tahu besok aku harus berpikir lebih jernih. Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang keadaan dunia ini, terutama tentang kekaisaran tempat aku berada sekarang. Kekaisaran Tiger Empire. Aku mendengar banyak hal tentang tempat ini, dan aku ingin tahu bagaimana keadaan sesungguhnya.
Setelah beberapa lama merenung, aku berdiri dan berjalan menuju kereta. Aku merasa lelah dan perlu beristirahat untuk melanjutkan perjalanan besok. Meskipun banyak hal yang belum aku ketahui, aku sadar bahwa tidur malam ini akan memberiku kesempatan untuk memulihkan tenaga dan mempersiapkan diri untuk perjalanan yang lebih jauh.
Sementara itu, di sisi lain dunia, jauh di utara, suasana di dalam ruangan kastil terasa penuh dengan kegelapan. Sebuah sosok yang tampaknya samar-samar muncul dari bayang-bayang, menyentuh ruang yang tak tampak oleh manusia biasa. Suara tawa rendah menggema di ruangan itu, gelap dan menakutkan.
"Lyon... akhirnya aku bisa merasakan kehadiranmu," suara itu terdengar penuh dengan kebencian dan dendam, menggetarkan udara yang dingin di sekitar kastil yang terpencil.
Sosok itu perlahan menyingkap bayangannya, tampak seperti makhluk humanoid yang memiliki aura gelap. Sebuah senyum jahat muncul di wajahnya, seolah menyadari bahwa apa yang telah lama ia tunggu akhirnya datang.
"Pangeran Nachtos," suara itu melanjutkan, dan dari bayang-bayang, muncul seorang pria berkulit gelap dan bermata merah menyala. Pangeran Nachtos, pemimpin salah satu faksi iblis yang paling kuat, berlutut di hadapan sosok samar itu.
"Utus seseorang," perintah sosok itu, suaranya begitu dingin dan penuh kuasa.
Pangeran Nachtos mengangguk, tanpa ragu sedikit pun. Ia tahu betul apa yang harus dilakukan. "Baik, tuanku. Saya akan menemukan orang yang tuan maksud."
"Jangan terburu-buru," suara itu menjawab dengan nada yang lebih santai. "Lagi pula, kami pasti akan bertemu lagi... takkan lama lagi."
Dengan senyum jahat yang mengembang di wajahnya, "Aku lelah, aku serahkan semuanya padamu." Kemudian sosok itu perlahan menghilang, menyatu dengan kegelapan di sekitarnya. Ruangan itu kembali menjadi sunyi, hanya tersisa angin dingin yang menyusup melalui celah-celah kastil tua. Pangeran Nachtos tetap berlutut, "Baik, tuanku, selamat beristirahat." Setelah menerima titah dari sosok bayangan itu Nachtos tersenyum, "Akhirnya dia kembali."
Bersambung...