Chereads / Pembalasan Tuan Muda Saputra / Chapter 1 - Kembalinya Putra Hilang

Pembalasan Tuan Muda Saputra

🇮🇩Daoistovzdb
  • 7
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 35
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Kembalinya Putra Hilang

Setelah dua puluh dua tahun, PT Saputra Jaya Grup kembali mencapai puncak performanya. Berdasarkan valuasi pasar, perusahaan yang berdiri lebih dari seabad ini kini berada di puncak popularitas, setelah mengalami kenaikan laba hampir seratus persen dan merebut pangsa pasar di berbagai sektor bisnisnya.

Proyek terakhir mereka, yang oleh banyak pihak dianggap "gila", berhasil mendobrak pasar yang sangat kompetitif.

Kabarnya, sosok baru di Grup Saputra memegang peranan penting dalam keberhasilan ekspansi bisnis tambang dan tembaga. Sosok misterius ini berhasil membalikkan keadaan perusahaan yang diprediksi akan gulung tikar dalam waktu kurang dari delapan tahun. Ia berhasil membawa perusahaan melewati badai krisis yang menerjang.

Banyak pihak penasaran dengan identitas orang di balik kesuksesan proyek besar tersebut. Selama ini, hanya keluarga Saputra yang mampu menciptakan perubahan sebesar itu. Apakah itu Tuan Muda Pratama? Atau justru Tuan Besar Pratama sendiri? Ataukah sosok lain yang identitasnya masih dirahasiakan?

----

Berita tentang kebangkitan Grup Saputra di kancah bisnis global menjadi headline utama.

Perusahaan yang pernah berjaya di bawah kepemimpinan Tuan Arjun Saputra, kini hampir menyamai kejayaannya di masa lalu.

Keluarga Pratama, yang telah memimpin perusahaan selama dua puluh dua tahun, bungkam soal identitas sosok di balik keberhasilan tersebut.

Bahkan, sejumlah pebisnis menawarkan hadiah besar kepada siapa pun yang berhasil mengungkap identitas orang tersebut.

"Ck, seharusnya Kakek bilang kalau Tuan Muda Azzam ada di belakang!"

BUAK! (Suara pukulan keras)

"Aaaaa... Sakitnya! Siapa ini?! Dasar kurang ajar!"

Pria muda itu cengir, tak gentar melihat wanita paruh baya yang sudah berkacak pinggang di hadapannya. Tatapan tajam sang wanita seakan menusuknya.

"Otak dangkal sepertimu mau mengklaim hal itu? Ayolah, Zam, sadar diri!" Nada suara wanita itu tajam, penuh amarah.

"Aduh, Ma... Mama jahat banget sih. Sakit tau!" Pria muda itu meringis, pura-pura sedih.

Seharusnya, Nyonya Amanda Rafania Zharifa yang kini duduk di sofa yang tadi ditempati putranya. Tatapannya tajam, tertuju pada Azzam.

"Azzam! Jika kau ingin menyamai kakakmu, belajarlah! Ayahmu berkali-kali menawarkanmu untuk bergabung dengan perusahaan. Tapi kau? Pemalas!" Suaranya tegas, penuh kekecewaan.

Azzam Putra Pratama. Putra sulung Tuan Dzaka Pratama dan Nyonya Amanda Rafania Zharifa. Delapan belas tahun lebih muda dari Rizal Yasa Saputra. Ironisnya, Rizal-lah yang kini menjadi pusat perhatian para pebisnis.

Meskipun berada di London, Rizal mampu menyelesaikan proyek jutaan dolar tersebut. Kemampuannya yang luar biasa itu menjadi bukti nyata kerja kerasnya.

Pria tiga puluh tahun itu, berkat kegigihannya dan sedikit bantuan dari ibu asuhnya, berhasil mengembangkan ide cemerlang untuk perusahaan peninggalan keluarga.

Selama dua puluh dua tahun di London, Rizal menjalani pengobatan intensif di bawah perawatan Dokter Harry. Meskipun telah pulih, Tuan Daffa memintanya tetap tinggal di sana.

Selain pemulihan, Rizal juga menempuh pendidikan di London, meninggalkan nama marga Saputra untuk sementara waktu. Ia fokus belajar dan mengasah kemampuannya.

Di bawah bimbingan Nyonya Belvina dan Tuan Aswin, Rizal tumbuh menjadi pria yang kuat dan cerdas.

Di bawah bimbingan Tuan Aswin, Rizal diasah kemampuannya, termasuk kemampuan bela dirinya. Didikan tegas Tuan Aswin membentuk Rizal menjadi pria gagah dan memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni.

"Azzam! Apa yang kau lakukan? Belum juga pergi?" Nyonya Amanda sudah kehilangan kesabaran. Azzam selalu menghabiskan waktu tanpa melakukan hal yang berguna.

"Ma, aku malas. Papa selalu memukul bokongku pakai rotan," jawab Azzam dengan santainya.

"Banyak alasan!" Nyonya Amanda mendengus.

Klotak... Klotak... Klotak...

Seorang pria paruh baya menuruni tangga menuju ruang keluarga tempat Nyonya Amanda dan Azzam berada.

"Ada apa ini? Kalian selalu berteriak setiap pagi. Adikmu masih butuh istirahat. Dia begadang mengerjakan tugas kuliah."

Tuan Dzaka meraih gelas teh hangat di meja, lalu duduk di samping Nyonya Amanda. Ia lembut menepuk pundaknya yang terasa nyeri.

"Ada apa? Pundakmu sakit lagi?" tanya Nyonya Amanda dengan lembut, khawatir.

"Tanyakan saja pada anakmu itu! Dia kebut-kebutan sampai menabrak mobilku sendiri! Dasar anak berandal!" Tuan Dzaka mengaduh, memegang pundaknya yang semakin sakit.

Azzam hanya nyengir. Hobi ekstremnya memang sudah terkenal, tetapi baginya itu wajar. Ia masih muda dan ingin bebas. Dokumen kantor dan hal-hal yang membuat otaknya "mengembang" belum menarik baginya.

"Pa, jangan salahkan aku. Salahkan darah Amanda Rafania Zharifa yang mengalir di tubuhku. Aku begini karena Ibu juga seperti ini waktu muda," kata Azzam, menantang.

Nyonya Amanda melotot. "Dasar anak nakal! Semoga kau jadi ikan pesut baru tahu rasa!"

"Ssttt... Putriku tidur! Jangan berisik!" Tuan Dzaka menegur, kesal.

"Pa! Sudah jam delapan! Mana ada gadis tidur siang begini? Nanti suaminya malas!" Azzam sengaja berteriak agar Azzura bangun.

BUAK! Sebuah bantal mengenai wajah Azzam. Kali ini, lemparan dari ayahnya.

"Ck, dasar anak Ayah!" gerutu Azzam, kesal.

----

Grrrrreeeeettttt..... Suara roda koper bergema pelan.

Sebuah koper besar diseret dengan santai. Pria itu mengenakan topi, masker, dan earphone. Ia berjalan tenang di tengah keramaian bandara, aura misterius terpancar darinya.

Perawakannya tegap, kulit kuning langsat, mata tajam, rahang tegas, dada bidang, dan tubuh atletis. Ia melewati para gadis yang terpana melihatnya sekilas. Meskipun wajahnya tertutup, pesona terpancar dari setiap langkahnya. Aroma parfum mahal memenuhi udara di sekitarnya.

"Silakan, Tuan."

Pintu mobil terbuka. Pria itu masuk, duduk tenang, dan membiarkan mobil membawanya pergi. Ke mana ia akan pergi? Misteri itu menambah daya tarik sosoknya.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menembus jalanan ibu kota yang lama tak ia singgahi. Bayangannya tentang kota ini ternyata jauh berbeda. Suasana telah berubah drastis, seakan ia berada di dunia lain—dunia dalam mimpinya setiap malam.

Mobil berhenti. Sopir turun untuk mengambil bunga pesanan Tuannya, lalu kembali melanjutkan perjalanan.

Deg. Deg. Deg.

Rintik hujan sore itu bagai menyambut kepulangannya. Reuni setelah sekian lama. Bunga di tangannya diletakkan di atas dua pusara.

Tes… Air mata jatuh. Reuni yang menyedihkan sekaligus membahagiakan.

"Ma, Pa… Rizal pulang."

Menyedihkan karena baru sekarang, setelah dua puluh dua tahun, ia bisa kembali ke tanah air, menyapa orang tuanya. Pulang ke tanah kelahiran, menyapa mereka, dan membalas semua yang terjadi pada keluarganya.

Rasa sesak memenuhi dada Rizal, menyadarkannya betapa drastis perubahan hidup yang dialaminya.

Ia merogoh saku, mengeluarkan kotak kecil, lalu membukanya…

Empat butir obat langsung ditelannya. Demi hidup, ia rela menelan semua pahitnya seorang diri.

Ia tumbuh menjadi pribadi yang tak mudah percaya, hanya percaya pada dirinya sendiri, meski dikelilingi orang-orang yang peduli.

"Tuan, hujan semakin deras. Sebaiknya kita segera menuju kediaman," kata sang supir yang menemaninya sejak bandara.

Rizal mengangguk, lalu mengambil alih payung dari tangan supirnya.

Tanpa menoleh, ia melangkah teguh, bertekad tak lagi larut dalam kesedihan masa lalu. Masa depan menanti, dan ia berjanji akan mengembalikan semuanya pada tempatnya.

Termasuk mengungkap teka-teki peristiwa mengerikan itu. "Aku akan menemukan mereka. Cepat atau lambat… Dengan tanganku sendiri, aku akan membalas mereka."