Chereads / Dr. Rama The Bacterial Hero / Chapter 10 - Pasir Kemenangan

Chapter 10 - Pasir Kemenangan

kepulan asap dan suara ledakan kecil terus terdengar di sudut-sudut ruangan. Dr. Rama berdiri di tengah pertarungan, tubuhnya sudah mulai terasa berat akibat serangan ledakan nano yang tiada henti. Di sisi lain, Dr. Surya tampak masih penuh energi, tersenyum mengejek sambil terus menghilang dan muncul di tempat yang berbeda.

"Kau terlihat lelah, Rama," kata Surya, muncul di salah satu sudut ruangan. "Berapa lama lagi kau bisa bertahan? Aku bisa melakukan ini sepanjang hari."

Rama tidak menjawab, hanya memandang tajam ke arah Surya. Ia sudah mulai memahami pola serangan lawannya. Rahasia kekuatan Surya bukan hanya pada bom nano yang bisa meledakkan bakterinya satu per satu, tetapi juga pada penglihatan mikroskopisnya yang memungkinkan dia melacak setiap gerakan bakteri secara detail.

"Pantas saja bakteriku musnah begitu cepat," pikir Rama. "Dia bisa melihat mereka, bahkan dalam ukuran mikroskopis."

Namun, masalahnya tidak berhenti di situ. Ledakan kecil milik Surya ternyata berasal dari mesin canggih yang terhubung ke komputer di balik punggungnya. Mesin itu tidak terlihat oleh mata biasa maupun melalui bantuan bakterinya, karena Surya telah merancangnya dengan teknologi khusus yang memancarkan sinyal optik pembiasan, membuatnya seolah tak kasatmata.

Rama menyadari bahwa jika ia ingin menang, ia harus menghentikan mesin itu terlebih dahulu.

Di tengah gempuran serangan Surya, Rama mulai mengubah strategi. Ia menggunakan kekuatan penguraian tubuhnya untuk mengurai seluruh bangunan di sekitarnya menjadi pasir. Plafon, dinding, bahkan lantai tempat mereka berpijak perlahan berubah menjadi butiran halus yang jatuh dari atas seperti hujan debu.

Surya berhenti sejenak, tampak sedikit kebingungan. "Apa yang kau lakukan, Rama?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Rama tidak menjawab. Ia terus fokus mengendalikan penguraian struktur bangunan hingga seluruh ruangan dipenuhi pasir halus yang menyebar ke segala arah.

"Apa pun rencanamu, itu tidak akan berhasil," kata Surya, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. Ia mulai bergerak lebih cepat, menghilang dan muncul kembali di berbagai sudut untuk menghindari jebakan. Namun, Rama tahu bahwa kali ini pasir adalah kunci untuk membalikkan keadaan.

"Surya," kata Rama dengan suara tegas, "kau mungkin memiliki teknologi paling canggih, tetapi kau lupa satu hal penting. Alam selalu punya cara untuk mengalahkan ambisi manusia."

Surya terkekeh. "Kata-kata filosofis itu tidak akan menyelamatkanmu. Teknologiku tidak akan terhentikan oleh pasir bodoh ini."

Namun, Rama tetap tenang. Ia tahu bahwa pasir yang menyebar ke seluruh ruangan memiliki kemampuan khusus: menyerap panas dan memantulkan cahaya dalam berbagai arah. Ini membuat kemampuan menghilang Surya mulai terganggu, karena sinyal optik pembiasan dari mesinnya tidak dapat bekerja dengan sempurna di tengah kepungan butiran pasir.

Surya mulai menyadari ada yang salah. Tubuhnya yang biasanya tak terlihat mulai muncul sebagian, terdeteksi oleh pantulan pasir. "Apa ini?" tanya Surya dengan nada panik.

Rama tersenyum tipis. "Kau meremehkan kekuatan sederhana."

Surya mencoba melancarkan serangan dengan bom nano miliknya, tetapi pasir yang tersebar di seluruh ruangan membuatnya sulit menentukan target. Setiap ledakan kecil hanya menghasilkan debu dan mengurangi visibilitasnya lebih jauh.

Rama memanfaatkan momen ini untuk menyerang balik. Dengan mengeraskan tubuhnya seperti intan, ia meluncur cepat ke arah Surya, menghantam mesin kecil yang terpasang di punggungnya. Mesin itu terhempas dan jatuh ke lantai, sebagian komponennya hancur.

"Tidak!" Surya berteriak. Ia mencoba mengambil kembali mesinnya, tetapi Rama sudah menginjaknya hingga remuk.

"Tanpa mesin itu, bom nanomu hanyalah serpihan logam tanpa fungsi," kata Rama dengan nada dingin.

Surya mundur beberapa langkah, wajahnya penuh kemarahan. "Kau pikir ini sudah berakhir? Aku masih bisa melawanmu!"

Namun, Rama sudah memegang kendali. Ia menggunakan butiran pasir yang tersisa untuk menciptakan jebakan di sekitar Surya, membatasi ruang geraknya.

"Kau kalah, Surya," kata Rama. "Teknologimu mungkin canggih, tetapi ambisimu telah membutakanmu. Kau tidak akan pernah bisa melawan kehendak alam."

Surya mencoba melawan hingga detik terakhir, tetapi tanpa mesinnya, ia kehilangan keunggulan. Rama berhasil melumpuhkannya dengan serangan langsung yang membuat tubuh Surya terhempas ke dinding.

Terengah-engah, Surya menatap Rama dengan tatapan penuh kebencian. "Kau hanya menunda yang tak terhindarkan, Rama. Akan selalu ada orang seperti aku, yang tidak peduli pada moralitas dan hanya fokus pada hasil."

Rama mendekatinya perlahan. "Dan akan selalu ada orang seperti aku, yang berjuang untuk melindungi kehidupan, meskipun harus melawan dunia."

Surya tidak menjawab. Ia hanya terdiam ketika Rama mengurungnya dengan lapisan pasir yang keras, memastikan bahwa ia tidak akan bisa melarikan diri.

Pertarungan usai, tetapi Rama tahu bahwa ini bukan akhir dari perjuangannya. Masih banyak musuh lain yang akan muncul, membawa ambisi dan ancaman baru bagi alam dan kehidupan.

Ia memandang ruangan yang kini dipenuhi pasir, menarik napas panjang, dan berkata pada dirinya sendiri, "Ini hanya awal dari perang yang lebih besar."

Ruangan itu sunyi setelah pertarungan sengit antara Dr. Rama dan Dr. Surya.

Tubuh Surya yang kelelahan bersandar di dinding yang sudah hancur,

Sementara Rama berdiri di depannya,

Memandang dengan tatapan penuh kewaspadaan.

"Sudah cukup, Surya" kata Rama tegas.

"Katakan alasanmu. Mengapa kau melakukan semua ini? Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

Surya terkekeh lemah, darah mengalir dari sudut bibirnya. "Kau benar-benar ingin tahu Rama? Baiklah... Kau pantas mengetahuinya sebelum semuanya berakhir'"

Surya mulai bercerita, matanya menerawang, mengingat masa lalunya.

"Dahulu, aku hanyalah seorang ilmuwan biasa yang tertarik pada fisika nuklir dan teknologi atom, Aku pernah bermimpi ingin menciptakan sumber energi baru untuk menyelamatkan dunia dari krisis energi.

Namun,mimpi itu berubah menjadi mimpi buruk ketika aku direkrut oleh sekelompok pejabat dan investor.

Mereka tidak ingin energi, mereka ingin senjata"

Rama mengerutkan keningnya. "Oknum pejabat korup.. mereka selalu saja menjadi akar dari kehancuran di negeri ini"

Surya melanjutkan, suaranya dipenuhi penyesalan. "Aku dipaksa untuk menciptakan bom atom mini. Awalnya aku menolak, mereka mengancam nyawaku dan juga keluargaku. Aku tidak punya pilihan lain, selain mematuhi mereka." Ia berhenti sejenak, sambil menelan ludah. "Namun di tengah eksperimen, Aku tidak sengaja menemukan bahwa ledakan atom bisa diperkecil menjadi partikel nano. Sebuah bom kecil yang tak terlihat, Tapi mampu menghancurkan struktur apapun di tingkat molekuler."

Rama terdiam, mencoba mencerna informasi tersebut.

"Teknologi itu".. Surya menunjuk mesinnya yang sudah hancur di bawah kaki rama, "adalah hasil dari penemuan ku. Tapi itu belum cukup bagi mereka. Mereka menginginkan lebih dari itu.

Mereka memaksaku mengembangkan teknologi penglihatan mikroskopis agar mereka bisa mengontrol dunia tanpa terlihat.

Surya menatap Rama dengan mata penuh kebencian. "Aku sadar, Rama, dunia ini penuh dengan kebohongan.

Mereka para oknum pejabat dan investor itu adalah parasit sejati. Mereka tidak peduli pada kehidupan, mereka hanya peduli pada kekuasaan. Jadi aku memutuskan untuk bekerja sama dengan mereka,tetapi dengan tujuan berbeda.

"Apa tujuanmu?" Tanya Rama tajam,

"Aku ingin menguasai dunia ini sendirian"

Surya tertawa keras meskipun tubuhnya bergetar karna sudah lemah. "Jika mereka ingin senjata, aku akan memberikan senjata. Tapi aku akan memastikan bahwa akulah yang memegang kendali. Dengan kekuatanku, aku bisa menciptakan dunia baru di bawah aturanku."

Rama menggelengkan kepala. "Itu gila, Surya. Kau mengorbankan nyawa dan alam demi ambisi yang hanya akan membawa kehancuran"

Surya membalas dengan nada tajam.

"Dan apa yang kau lakukan,Rama? Kau bermain sebagai pahlawan yang tidak dikenal oleh siapapun, Bersembunyi di balik bakteri kecilmu.

Kau pikir kau berbeda dariku? Kita sama saja,hanya saja aku berani mengambil tindakan yang nyata."

Sebelum Rama bis menjawab pernyataan Surya, langkah-langkah kaki terdengar mendekat. Pintu bangunan yang sudah runtuh terbuka, dan sekelompok pasukan bersenjata lengkap masuk, wajah-wajah mereka tertutup menatap tajam Surya, dan senjata mereka langsung mengarah ke Surya.

"Surya", kata salah satu dari mereka,

Seorang pria berbadan besar dengan suara berat. "Maaf, tapi ini perintah dari atasan. Kau telah gagal, Dan kau tahu apa artinya itu?"

Wajah Surya langsung berubah. "Apa?

Tidak, Aku masih punya rencana lain.. Aku masih bisa...

Pria itu mengangkat tangannya,

Dan memberi tanda kepada pasukannya.

Sebelum Surya bisa melanjutkan, Seketika peluru tajam langsung menembus tubuhnya berkali-kali. Surya terjatuh, Darah mengalir deras dari luka-lukanya.

Rama terkejut dan segera melangkah maju, Tapi pasukan itu langsung mengarahkan senjata mereka kepada Rama.

"Ini urusan kami, Kau tidak berhak ikut campur, Sebaiknya kau pergi dari sini secepat mungkin, Kalau tidak.." Kata pria berbadan besar itu.

Rama terdiam tak bergerak, Namun kemarahan memenuhi dirinya. "Atasan kalian adalah dalang di balik semua ini.

Mereka memanfaatkan kalian dan Surya,

Dan kalian membunuhnya untuk menghilangkan jejak atasan kalian?"

Pria itu tersenyum sinis. "Kami hanya menjalankan perintah, Dan Surya sudah tau resikonya."

Rama mengepalkan tangannya, Dan tubuhnya mulai bersinar dengan energi bakteri yang ia kendalikan, "Kalian tidak akan kubiarkan pergi dari sini hidup-hidup."

Dengan kekuatan penuh, Rama memulai untuk mengurai seluruh pasukan tersebut.

Tubuh mereka terurai menjadi partikel-partikel kecil, Dan Rama tidak memberi kesempatan sedikitpun bagi siapapun untuk melarikan diri. Dalam hitungan detik, Ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi, Hanya ada dr.Rama dan Tubuh Surya yang tergeletak.

Rama mendekati Surya yang sekarat,

Dengan nafas terakhirnya, Surya tersenyum lemah, "Sepertinya aku kalah,

Rama... Kau harus berhati-hati..

Mereka yang ada di balik layar itu jauh lebih berbahaya daripada aku, Kau hanya melihat permukaannya saja..

Sebaiknya kau persiapkan diri, Dan maaf.....

Mata Surya Tertutup tanpa menyelesaikan pembicaraannya, Dan meninggalkan banyak pertanyaan di pikiran Rama. "Surya.. Surya... Ucap Rama, Sambil menyesali karena tidak sempat melindunginya saat itu.

Setelah semua selesai, Rama meninggalkan tempat itu, dan memastikan bahwa tidak ada jejak dirinya yang tertinggal.

Namun, peristiwa tersebut tidak bisa disembunyikan sepenuhnya, Ledakan, Pasukan yang hilang dan Kerusakan besar di lokasi itu menarik perhatian media.

Berita tentang kehancuran bangunan tersebut menyebar ke seluruh indonesia bahkan dunia, Publik mulai berspekulasi tentang keberadaan pahlawan misterius yang telah menghentikan ancaman besar, Tapi tidak ada satupun yang tahu siapa dia.

Dr. Rama, seperti biasa menyembunyikan identitasnya. Ia tidak ingin dikenal, Hanya ingin melindungi dunia dari bayangan, tanpa sorotan, tanpa pengakuan.

Namun, Ia tahu, ini hanya langkah permulaan.

Dibalik layar, Para pejabat korup dan ilmuwan jahat masih bergerak, Dan ancaman yang lebih besar mungkin akan menunggu di depan.

Setelah semua kejadian yang mengguncang Kalimantan, kota kecil di Jawa Barat, dan kejatuhan Pak Hermawan—salah satu pejabat korup besar yang akhirnya dijebloskan ke penjara—nama "Pahlawan Bakteri" mulai terdengar di seluruh penjuru negeri. Masyarakat berbicara dengan kagum tentang sosok misterius yang muncul di saat krisis, menyelamatkan alam dan manusia tanpa meninggalkan jejak atau meminta pengakuan.

Di berita, media menyebutnya sebagai "penjaga bayangan," pahlawan tanpa nama yang memilih untuk tetap anonim meski tindakannya telah mengubah arah negeri. Tidak ada yang tahu siapa dia, dari mana asalnya, atau mengapa ia melakukan semua itu. Namun, satu hal pasti: ia adalah simbol harapan di tengah kehancuran.

Dr. Rama menyaksikan semua ini dari layar monitornya di laboratorium tersembunyi di Jakarta. Ia melihat berita-berita yang menyoroti aksinya, spekulasi liar tentang siapa dirinya, bahkan teori-teori konspirasi yang mencoba menghubungkannya dengan berbagai organisasi rahasia. Rama hanya tersenyum tipis.

"Aku hanya seorang ilmuwan biasa," gumamnya pada diri sendiri, tangannya sibuk mengetik di komputer. Di depannya, layar penuh dengan data tentang perkembangan bakteri baru yang ia kembangkan untuk mengatasi ancaman lebih besar.

Ia tahu, pekerjaannya belum selesai. Masih banyak kejahatan yang bersembunyi di balik wajah-wajah tersenyum para pejabat, korporasi rakus, dan ilmuwan yang tidak bertanggung jawab. Dunia ini membutuhkan penjagaan, dan Rama telah memutuskan untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk tujuan itu.

Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasa sedikit beban. Popularitas "Pahlawan Bakteri" membuatnya sedikit khawatir. Semakin terkenal namanya, semakin besar risiko dirinya terungkap. Rama tidak menginginkan pengakuan, hanya ingin dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Di sebuah pasar tradisional di Bandung, para pedagang dan pembeli berbincang seru.

"Pahlawan Bakteri itu benar-benar luar biasa," kata seorang ibu penjual sayur. "Dia menyelamatkan kota kita tanpa pamrih. Kalau bukan karena dia, sungai kita pasti sudah tercemar habis-habisan."

"Betul," sahut seorang pria tua. "Orang seperti dia jarang sekali ada . Seandainya saja semua pemimpin kita punya hati seperti dia."

Pembicaraan seperti ini terdengar di mana-mana. Nama "Pahlawan Bakteri" menjadi simbol harapan bagi rakyat kecil yang selama ini tertindas oleh sistem korup.

Malam itu, Rama berdiri di balkon laboratoriumnya, memandang gemerlap lampu Jakarta yang seakan tidak pernah tidur. Angin malam yang sejuk mengibarkan jas putihnya. Di tangannya, ia memegang botol kecil berisi bakteri baru yang telah ia ciptakan.

"Aku tidak butuh nama," katanya pelan. "Tidak butuh sorotan. Selama aku bisa melindungi alam ini, melindungi mereka yang tidak bersalah... itu sudah cukup."

Namun, ia tahu, musuh-musuhnya semakin menyadari kehadirannya. Mereka tidak akan tinggal diam. Di balik layar, pejabat korup dan ilmuwan jahat lainnya pasti sedang merencanakan sesuatu.

Rama mengepalkan tangan. "Apa pun yang terjadi, aku akan selalu menjadi bayangan yang melindungi dunia ini."

Di layar televisi, sebuah wawancara dengan seorang anak kecil yang tinggal di kota kecil Jawa Barat, menarik perhatian banyak orang.

"Pahlawan Bakteri itu kayak malaikat," kata anak itu dengan polos. "Dia datang pas kita semua takut. Dia nggak ngomong apa-apa, tapi dia selamatin semua orang. Aku pengen ketemu sama dia dan bilang makasih."

Rama menonton wawancara itu dari laboratoriumnya. Sebuah senyuman lembut menghiasi wajahnya. Ia merasa puas, bukan karena pengakuan, tetapi karena tahu bahwa tindakannya benar-benar membawa perubahan.

Langit malam itu cerah, bintang-bintang bersinar terang di atas Jakarta. Rama kembali ke dalam laboratoriumnya, melanjutkan pekerjaannya dengan tekad yang tidak tergoyahkan.

Sementara itu, di tempat lain, jauh dari pandangan publik, para musuhnya mulai bergerak. Mereka tahu, jika ingin melanjutkan rencana-rencana jahat mereka, "Pahlawan Bakteri" harus dihentikan—apa pun caranya.

Namun untuk saat ini, dunia bisa tidur dengan tenang, karena sang penjaga bayangan masih ada.