"uhhhhh" ungkap gadis itu lirih.
"Apa kamu suka ?" tanya Ayah, menatapnya dalam.
"Iya, suka banget," balasnya sambil tersenyum. "Kamu sungguh luar biasa... membuatku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya."
"Sudah pasti. Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu," jawabnya dengan senyuman hangat.
Gadis itu mengamati sosok di hadapannya, takjub dengan bentuk tubuhnya. "Abang benar-benar atletis, ya. Ototmu terlihat kokoh dan kekar," puji gadis itu.
"Sudah pasti, aku adalah milikmu. Silahkan jika kamu penasaran" tawar Ayah, masih tersenyum. "Aku akan memberikan yang terbaik untuk mu, kamu akan bahagia bersama ku"
Aku terkejut saat membawa makanan untuk Ayah yang sedang sakit. Rumahnya kebetulan tidak terkunci, sehingga aku dengan mudah memasuki rumah itu pada malam itu sekitar pukul delapan. Rumah kita memang terpisah hanya beberapa meter saja karna memang rumah yang di tempati oleh Ayahku adalah rumah ruko. Di bawahnya itu membuka usaha tempat gym, sehingga Ayah lebih sering tidur di sana.
Setelah memasuki rumah, suara percakapan tak biasa membuat hatiku berdegup kencang. Aku pun mencari sumber suara yang ternyata berasal dari kamar Ayahku. Dengan langkah kaki yang hati-hati dan perlahan, akhirnya aku melihat pemandangan yang sangat menggemparkan; Ayah yang seharusnya istirahat malah sedang bercinta dengan wanita yang tak dikenal. Aku terpana dan ingin segera pergi, namun mata tak tega berpaling dari sosok ayah yang memiliki tubuh kekar dan pahatan otot yang sempurna.
Tapi, pemandangan Kon tol ayahku yang sangat besar, panjang, hitam dan berurat
membuatku menarik nafas dalam-dalam dan segera ingin pergi dari situ. Namun, saat aku hendak pergi, pandangan mata ayah menangkap keberadaan ku, membuat kita berdua terperanjat. Hatiku berdebar kencang, aku meletakkan makanan dan diletakan di atas meja, dan buru-buru meninggalkan rumah itu dengan langkah tergesa-gesa.
Setelah sampai di rumah, nafas ku tersengal-sengal akibat pemandangan yang membuat jantungku berdebar kencang.
"Kamu kenapa lari-lari gitu, Laura ?" tanya Ibu dengan wajah terkejut. "Makanannya sudah diberikan pada ayahmu kan ?"
"Su-sudah, Bu... Tadi saya buru-buru pulang karena melihat seekor anjing," aku berbohong untuk menyembunyikan kebenaran.
Ibu menghela napas lega, "Kirain kenapa. Gimana keadaan ayahmu ? Apa dia sudah mendingan ?"
"Sudah, Bu. Sepertinya ayah sudah benar-benar pulih, karena tadi juga sedang berolahraga di kamarnya," jawab ku berusaha meyakinkan.
"Baguslah kalau gitu. Ayo, kita makan malam dulu!" ajak Ibu sambil tersenyum.
"Iya, Bu," sahut ku, berusaha menyembunyikan keguncangan hatiku setelah melihat pemandangan yang mengejutkan tadi.
Sejak peristiwa itu, aku tak bisa berhenti membayangkannya dalam benakku. Hatiku bergolak, dendam terpendam pada Ayah yang tampan dan gagah merasuki jiwaku. Di usianya yang telah menginjak kepala empat, Ayah masih terlihat awet muda dan gagah, tak heran jika Ibuku sangat mencintainya.
Kisah ini bermula saat aku duduk di bangku SMA kelas 3, pada saat itu, Ayahku atau ayah tiriku sebelum menikah dengan Ibu dikenal sebagai playboy karena dekat dengan berbagai wanita. Keluarga ku sendiri memang terkenal sebagai atlet binaragawan, mulai dari ayahku yang sudah meninggal, Kakek, Paman, Kakak, dan sekarang ayah tiriku. Maka, tidak heran bagiku melihat pria berotot setiap hari sejak kecil.
Namun, ada yang berbeda pada ayah tiriku ini yang aku cintai. Dibalik paras tampan dan otot kekar yang memukau, tersimpan rahasia yang tak pernah aku duga. Dan kini, aku terperangkap dalam konflik antara cinta terlarang dan kebenaran yang mencengkeram hatiku. Memang, aku telah menyukainya sejak awal tapi aku berusaha untuk melupakan perasaan ini.
Kini, aku tengah menjalani semester 2 kuliahku sebagai mahasiswi. Kata orang aku orangnya cantik dan pintar, aku mendapatkan banyak pengagum baik di kampus maupun di lingkungan sekitarku. Tak jarang para pria bersaing untuk meraih hati ku. Namun siapa sangka, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku telah menyimpan rasa cinta sejak lama kepada ayahku sendiri, namun tak pernah aku ungkapkan. Meskipun pernah memiliki beberapa mantan pacar yang singgah dalam hidupku, kini aku kembali menjalani masa-masa sendiri.
Aku sadar bahwa cintaku pada ayahku takkan pernah kesampaian, tetapi aku tak ingin diejek oleh teman-temanku karena masih jomblo. Aku berusaha mencari tambatan hati baru untuk melupakan perasaan yang terlarang itu. Sebelum kita melihat lebih jauh kisah cinta ku, mari kita kembali mengenang masa SMA ku.
Izinkan aku memperkenalkan diri, namaku Cyesa Laura Augustin, tapi orang-orang lebih suka memanggilku Laura. Berusia 17 tahun, aku saat ini menempuh pendidikan di SMAK Penabur. Kata orang, aku memiliki kepribadian yang menarik—cantik, pintar, ramah, dan selalu ceria. Dalam beberapa bulan ke depan, aku akan segera menyelesaikan masa SMA-ku dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Ayah kandungku Adrian Cornelius, yang kini berusia 44 tahun, sangat mengharapkan agar aku menempuh pendidikan setinggi mungkin agar kelak dapat meraih kesuksesan. Sementara itu, Ibuku, Christine Sinaga, yang telah menginjak usia 37 tahun, juga memberikan dukungan tak terbatas bagiku.
Aku memiliki seorang kakak laki-laki, Steven Laurents Alfredo, yang telah berusia 20 tahun dan saat ini menuntaskan studi di perguruan tinggi dengan menjalani semester ke-6. Selain itu, di rumahku juga tinggal Kakek dari pihak Ayahku, John Khenedy, yang meskipun sudah berusia 63 tahun, tetap terlihat bugar dan sehat berkat rutinitas olahraga yang terjaga.
Ayahku memiliki adik laki-laki bernama Martin Immanuel yang berusia 41 tahun. Paman Martin, yang sampai saat ini masih melajang, tinggal seorang diri di rumahnya. Orangnya tampan dan gagah, walaupun telah berkepala empat, usia yang tak pernah tampak pada wajah dan sosoknya. Sejak dulu, aku hanya punya Kakek dari pihak Ayah, mengingat Nenek sudah lama tiada. Sementara kedua orangtua dari pihak Ibuku juga telah meninggalkan kita semua.
Secara turun-temurun, keluarga kami memang dihuni oleh para atlet binaragawan yang gagah perkasa, mulai dari Kakek, Ayah, Kakak, hingga pamanku. Sungguh, bukanlah hal yang aneh bagiku untuk menyaksikan tubuh kekar para lelaki ini, sebab sejak kecil, aku telah terbiasa dengan lingkungan semacam itu. Hingga aku suka dengan pria bertubuh kekar berotot seperti mereka, itu merupakan kriteria cowok idaman ku.
Sejak kecil, hubungan Ayah dan aku sangat dekat karena memang biasanya anak perempuan lebih dekat dengan Ayah, sedangkan anak laki-laki dekat dengan Ibunya. Ayah selalu memanjakan dan melindungiku, bahkan aku tak pernah merasakan murka dari Ayah. Betapa eratnya ikatan kami, hingga berusia 17 tahun, kami kerap tidur bersama. Mungkin itulah sebabnya, aku selalu tertarik pada pria berbadan atletis, yang mengingatkanku pada Ayahku. Suatu hari, Ayah sedang menghabiskan waktu di halaman belakang rumah, sibuk membaca koran sambil menyesap kopi.
"Hei, Ayah, tumben sekali tidak pergi ke gym hari ini ?" tanyaku.
"Ah, iya Nak. Ayah memutuskan untuk pergi gym sore nanti, karena rencananya mau mendaftar bareng teman untuk mengikuti kontes bodybuilding," jawab Ayah tanpa menoleh dari korannya.
"Teman Ayah yang menjadi pelatih gym itu, bukan ? Om Daniel namanya, kan ?" tanyaku lagi.
"Iya, si Daniel. Dia yang mendorong Ayah untuk ikut serta, supaya dia punya teman saat kontes nanti," ucap Ayah.
Aku menjadi penasaran, "Eh, ya, Om Daniel sudah lama jadi duda seperti Om Martin, tapi bedanya Om Martin belum pernah menikah"
Memikirkan nasib Om Daniel yang menunda kebahagiaan baru, aku mulai merasa tergerak untuk memikirkan hidup yang ada di depan mata. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari. Namun, dalam hati, aku bersyukur masih memiliki Ayah yang mencintaiku sepenuhnya dan membentuk karakter pribadiku menjadi wanita yang kuat dan penuh kasih.
"Iya, mereka berdua memang betah hidup sendiri, meskipun sebenarnya keduanya memiliki sisi nakal yang sama," kata Ayah."Mereka sering kali main perempuan. Om Martin pun punya banyak teman wanita, tapi sifat penyayangnya selalu ada. Kalau suatu saat nanti dia menemukan perempuan yang benar-benar dicintainya, aku yakin sifat playboynya akan hilang dengan sendirinya."
"Ternyata, sifat playboy Om Martin menurun, ya ? Ayah juga dulu playboy kan ? Ibu bilang Ayah punya banyak mantan," celetukku, berusaha meredam rasa cemburuku.
Ayah tertawa kecil sambil menutup koran yang sedari tadi dibacanya. "Haha, enggak kok. Ayah nggak terlalu playboy, yang parah itu Om Martin. Mungkin memang benar, sifat itu turunan dari Ayah."
"Ayah ? Maksudnya Kakek ?"
"Iya, Kakek kamu itu memang dulunya playboy. Kamu sendiri bisa saksikan, kan ?" Sejak nenek meninggal, Kakek tinggal sendirian di rumah. Namun, ada seorang perempuan muda yang kerap terlihat masuk ke rumah Kakek" Ayah membuka rahasia.
"Perempuan muda yang sering keluar-masuk rumah Kakek itu..."
"Iya, eh ini rahasia ya, hanya kamu yang tahu. Kakekmu memang kerap mengajak perempuan ke rumahnya."
"Wah, sungguh tak disangka ! Di usia hampir 70 tahun, Kakek masih memiliki tubuh kekar dan tak banyak keriput. Meski rambutnya mulai memutih, tapi mungkin karena Kakek seorang binaragawan ya, Ayah ? Hingga kini pun, dia masih rajin berolahraga di gym."
"Itulah Kakekmu. Tapi ingat, jangan pernah ikut campur urusan Kakek, ya. Kita sebagai anaknya pun tak bisa berbuat banyak. Sudah banyak yang mencoba menasehati, tapi Kakek memang keras kepala."
"Mmm, jadi itulah alasannya Ayah melarang aku pergi ke rumah kakek."
"Iya, takutnya nanti kamu melihat sesuatu yang tak patut. Eh, kok kamu gak pacaran hari ini?" tanya Ayah heran.
"Pacarku lagi tanding basket, Yah. Eh, Ayah juga dulu playboy, kan ? Tapi kak Steven juga memang agak playboy sih," aku bergurau.
"Aduh, jangan gitu ! Ayah kan sudah punya Ibu kamu dan punya anak-anak Ayah. Mungkin sudah mendarah daging, jadi kakak kamu juga sama. Kamu juga awas jangan jadi playgirl !" Ayah bercanda.
"Enggak kok, pacar aku cuma satu. Ayah, kalau gak ada acara, temani aku ke mall yuk ! Aku pengen beli sepatu, tapi gak ada temen karena semuanya sedang ada acara masing-masing," pintaku manja.
"Kenapa gak sama Ibu kamu aja ? Ibu kamu kan lagi santai," usul Ayah.
"Ibu suka pelit, kalau aku lama-lama shopping, suka cerewet. Kalau Ayah kan baik. Ayo dong, Yah ! Please..." aku menggoda.
"Ya udah, iya. Bentar Ayah ganti pakaian dulu !" Ayah menyerah.
"Yeeeeeee ! Ayah memang terbaik !" aku langsung memeluknya sambil tersenyum puas.
Ayah dan om Martin mukanya agak mirip karena memang mereka kakak beradik, cuma memang lebih tampan om Martin. Aku dan Ayah seperti sahabat, aku sering curhat dan jika ada apa-apa aku cerita pada Ayah. Setiap punya rahasia hanya Ayah yang tahu, begitu juga sebaliknya jika Ayah punya rahasia akan memberitahukannya padaku.
Aku memiliki kekasih yang tak lain adalah teman sekelas ku bernama Ricky Pratama. Memang, dia bukan atlet binaraga, tapi ia tetap gagah berkat keahliannya dalam tim basket. Selain tampan dan gagah, memiliki pacar membuatku tak diejek sebagai jomblo oleh teman-temanku. Namun, suatu ketika saat aku berada di sekolah, tiba-tiba teleponku berdering dari Ibu.
"Hallo, Bu ?" jawabku dengan ragu.
"Laura, bisakah kamu pulang sekarang ?" Suara Ibu terdengar serak, seperti menahan tangis.
Aku mengerutkan dahi, panik menyerangku. "Pulang ? Ada apa, Bu ? Ibu kenapa, kok kayaknya menangis ? Jangan bikin aku cemas, Bu !"
Ibu menghela nafas dalam-dalam. "Kamu pulang dulu saja, Nak. Izin dulu dan bilang ada keperluan penting."
"Baiklah, Bu," aku merasa gelisah. "Aku pulang sekarang"
"Hati-hati, ya."
Tak tahan menunggu lebih lama, aku buru-buru mengurus izin untuk meninggalkan sekolah. Jantungku berdebar tak karuan, pikiran terburuk menerpa satu per satu dalam benakku. Aku tahu aku harus segera pulang, menemui Ibu, untuk memastikan kondisinya. Setelah tiba di depan rumah, aku menemukan banyak orang berdatangan. Jantungku kian berdegup kencang, sesuatu pasti terjadi.
Dengan langkah gontai dan penuh kekhawatiran, aku berlari masuk ke dalam rumah. Semua tatapan tertuju padaku saat melangkah masuk lebih jauh. Tepat di tengah ruangan, terlihat peti jenazah yang menghujamkan kecemasan di hati ku. Di sana ada Ibu, kakak, Om Martin, dan kerabat-kerabat lainnya. Aku mencoba menahan air mata saat melihat Ibuku menangis. Ibuku berdiri lalu mendekat, mencoba menguatkan diri untuk memberikan kabar duka.
"Siapa itu, Bu ? Siapa yang sedang berbaring ?" Suara ku serak dan tertahan.
Namun, Ibuku tidak mampu berkata apa-apa, wajahnya terlihat hancur oleh kesedihan yang mendalam. Aku kemudian mendekati peti jenazah itu dan terpana melihat wajah yang begitu aku kenal dengan baik, dalam diam membisu tak lagi bernyawa.
"Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaahhh...!" Isak tangis ku memecah kesunyian di ruang tengah rumah.
Tubuh ayah tak bernyawa terbujur kaku di dalam peti, dikenakan jas rapi. Tangan ayah melingkar di perutnya, dingin dan tak bergeming. Seketika, Ibuku mendekat dan memeluk ku erat, berusaha memberi kekuatan dalam menghadapi kenyataan ini.
"Kamu harus sabar, Nak. Ayahmu sudah tenang di alam sana," ujar Ibuku lembut, mencoba menenangkan hati ku yang hancur.
"Apa yang terjadi pada Ayah, Bu ? Kenapa begitu cepat Ayah meninggalkan kita ?" tanya ku terisak, linangan air mata tak henti mengalir.
Kisah tentang kematian ayahku lalu diceritakan ibu. "Saat akan pergi mengikuti kontes binaraga tadi pagi, Ayahmu tiba-tiba saja pingsan. Kita semua membawanya ke rumah sakit, tapi ternyata nyawanya sudah tidak tertolong. Ayahmu mengalami serangan jantung. Memang Ayah punya riwayat penyakit jantung, tapi belakangan ini tidak pernah kambuh. Dokter mengatakan bahwa dia terlalu lelah, hingga sesak nafas akhirnya melandanya."
"Tidak, Bu... Ayah tak boleh pergi... Aku..." Ucapan ku terhenti saat tubuhku melemah dan kesadaranku perlahan memudar.
Orang-orang di sekitar segera menolongku yang jatuh pingsan, menggendong tubuhku dengan hati-hati dan menempatkannya di atas sofa agar bisa beristirahat sejenak. Kehilangan yang begitu mendalam sungguh menjadi luka teramat dalam hati ku dan keluargaku. Aku akhirnya sadar dari pingsan, mataku berat terbuka.
"Apa yang terjadi ?" Tanyaku lemah, tanganku bergetar di keningku.
"Kamu tadi pingsan, Nak," bisik Ibu, suaranya lirih namun mencoba tegar untuk menyembunyikan kesedihannya.
Mendengar jawaban Ibu, aku mengingat kembali saat sebelum dia pingsan. Kehilangan Ayah yang aku cintai.
"Ayaaahhhh... Ayaaahhh, di mana, Bu ?" Tubuh ku terasa berat saat berbicara.
"Kamu harus ikhlas, Nak. Ayah sudah tenang di alam sana," ujar Ibu dengan air mata berlinang.
"Tidaaaaakkkk, ini semua pasti bohong !" Aku berdiri secepat kilat dan melangkahkan kakiku dengan berlari mencari keberadaan Ayahku.
Peti jenazah yang ada di ruang tengah rumah sudah tidak ada. Panik mengambil alih pikiran ku, dan aku lupa mengenakan sandal saat berlari keluar rumah. Kakiku mencapai langkah demi langkah menuju kuburan yang tak terlalu jauh dari rumah ku. Ternyata, prosesi pemakaman Ayah sudah hampir selesai.
"Ayaaaaaaahhhh... !" Teriak ku, hatiku seolah mau tercabik-cabik dan tangis ku tak terbendung.
Aku berlari sekencang mungkin, seolah bisa menghentikan waktu. Namun, aku terjatuh. Tubuhku merosot di tanah basah oleh hujan yang baru saja reda. Pakaian yang dikenakannya penuh dengan lumpur. Sementara itu, peti jenazah Ayahku dimasukkan ke dalam liang lahat. Aku berteriak, terus memanggil Ayah sampai suaraku serak dan nyaris hilang. Rasa sakit, kehilangan, dan keputusasaan memenuhi jiwa dan ragaku. Dunia seolah runtuh dalam sekejap, dan aku tak tahu bagaimana menghadapi kenyataan yang begitu pahit.
"Ayaaaahhhhh... Ayaaaaaaaahhhh...!"
Aku terus meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman kakak dan om Martin yang berusaha mencegahku melompat ke liang lahat. Tubuh mungilku menggeliat tanpa henti, penuh dengan luka yang menganga di hati yang tak kunjung sembuh.
"Kamu harus sabar, Ra. Ikhlaslah dengan kepergian Ayah," ucap om Martin dengan nada yang sedih dan penuh kekhawatiran.
Ia merasa prihatin melihat ku yang begitu sedih hingga tak terkendali.
"Iya, kamu harus kuat, adikku. Kakak juga merasa sangat sedih dan kehilangan. Tapi ini semua takdir yang tidak bisa kita hindari," timpal kak Steven sambil berusaha menenangkan ku yang terus menangis hingga mataku sembab.
"Ayaaaahhhh... !" Isak tangis ku terus terdengar sayup menggema, hingga kelelahan mengejar dan lantas aku kembali pingsan dalam rangkulan om Martin.
Aku sangat dekat dengan Ayah. Ayah selalu memanjakan ku, menjadi pendengar setia untuk segala keluh kesahku, menjadikan aku sangat tergantung padanya. Kini, kematian Ayah meninggalkan luka mendalam yang mengoyak hatiku. Hancur dan tak tersisa, aku merasa tak mampu melanjutkan hidup tanpa Ayah di sisiku.