Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram duduk Arfan, seorang pemuda dengan rambut sedikit berantakan yang tergerai ke tengah, mencerminkan sisi kasual dirinya. Matanya tertuju pada langit malam, seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang yang berkelip. Arfan adalah tipe orang yang lebih suka menyendiri, seringkali tenggelam dalam pikiran dan dunia yang hanya dia mengerti. Ketenangan yang dia rasakan saat melihat langit malam ini adalah yang selalu dia cari—sebuah ruang yang bebas dari kebisingan dunia. Dengan sekaleng kopi hitam yang ia genggam membuat ia semakin larut kedalamnya. Di balik ketenangan itu, riuhnya isi kepala menjadi satu di dalam pikirannya. Sebuah pertanyaan yang tak pernah menemukan jawaban, seakan tersembunyi di balik kelap-kelip bintang malam. Arfan tak pernah tahu mengapa langit selalu membuatnya merasa damai. Mungkin karena di tempat ini, dia bisa melarikan diri dari kenyataan yang terlalu menyesakkan.
Di bawah gemerlap rembulan, terdengar suara lembut, seperti denting bintang yang jatuh. Dari selasar jalan yang sepi itu, seorang gadis muncul perlahan, langkahnya ringan, menyatu dengan keheningan malam. Rambutnya tergerai, berwarna coklat muda, berkilauan seperti helaian cahaya. Tatapan matanya teduh, memancarkan kehangatan yang menenangkan, seolah menjadi bagian dari langit malam itu.
"Langitnya indah sekali, bukan?" tanyanya, suaranya selembut bisikan angin malam.
Arfan, yang semula tenggelam dalam pikirannya, menoleh perlahan. Kehadiran gadis itu seperti membawa sinar hangat ke dalam malamnya yang sunyi. Ia tersenyum kecil, sedikit gugup.
"Indah... sangat indah. Langit selalu punya cara membuatku merasa kecil, tapi juga berarti." Gadis itu mendekat, membawa aroma malam yang mengingatkan pada rasa damai.
"Bolehkah aku duduk di sampingmu, Tuan?" tanyanya dengan nada lembut, hampir seperti melodi yang menyentuh hati.
Arfan menatapnya sejenak, hatinya merasa hangat oleh kehadirannya. Ia mengangguk pelan. "Tentu," jawabnya singkat, sambil memberikan ruang di bangku panjang itu.Malam yang semula biasa saja berubah menjadi istimewa, saat dua jiwa yang asing berbagi keheningan di bawah langit yang sama.
Elaina duduk di samping Arfan, memandang langit malam yang seolah memancarkan sinar lembut untuk mereka. Setelah beberapa saat hening, ia menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya.
"Maaf, jika aku lancang menghampirimu, aku Elaina," katanya sederhana, tetapi suara itu membawa kehangatan yang tidak biasa. "Kamu?"
Arfan, yang tadinya masih sibuk dengan pikirannya, menoleh perlahan. "Arfan," jawabnya singkat, kemudian menambahkan, "Nama yang indah, Elaina. Seperti cahaya bintang."
Elaina tertawa kecil. "Kamu sering memikirkan hal seperti itu? Bintang, langit, semuanya?"
Arfan mengangguk, tangannya masih memegang kaleng kopi yang sudah mulai dingin. "Malam itu seperti pelarian untukku. Aku suka berada di sini, di bawah langit yang selalu sama, meskipun segalanya berubah."
Elaina menatapnya sejenak, lalu memalingkan pandangannya ke atas. "Aku juga merasa seperti itu. Langit malam... seperti sahabat lama yang tak pernah pergi."
Arfan menatap langit lagi, matanya mencari bintang-bintang yang tersembunyi di balik awan tipis. "Aku sering merasa... kesepian, bahkan di tengah keramaian," katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Elaina menoleh, mendengarkan dengan penuh perhatian. "Kesepian?" tanyanya lembut. "Tapi malam ini, kamu tidak sendirian, bukan?"
Arfan tersenyum tipis. "Ya, aku tahu. Tapi terkadang, meskipun ada banyak orang dalam hidupku, tetap saja ada ruang kosong dalam hati yang sulit terisi. Rasanya seperti apa pun yang kulakukan tidak pernah benar-benar cukup."
Elaina terdiam, matanya kembali mengarah pada langit malam. "Aku mengerti," katanya pelan.
"Kadang, kita mencari sesuatu yang lebih... sesuatu yang tak bisa kita lihat, tapi hanya bisa kita rasakan di dalam hati."
Arfan menoleh padanya, sedikit terkejut. "Kamu juga merasa begitu?"
Elaina mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Mungkin kita semua punya kekosongan itu. Tapi, kurasa itu bukan hal yang buruk. Mungkin itu cara kita untuk tumbuh... untuk memahami apa yang benar-benar kita cari."
Arfan memandangnya lama, seperti mencari kebenaran dalam setiap kata yang diucapkannya. Malam semakin larut, namun ada kehangatan yang perlahan tumbuh di antara mereka, meski dingin angin malam menyentuh kulit.
"Terima kasih," kata Arfan akhirnya, suaranya lebih kepada dirinya sendiri. "Kamu tahu, terkadang kata-kata sederhana seperti itu bisa membuat beban di hati terasa lebih ringan."
Elaina menoleh padanya, senyumnya tulus, penuh kehangatan. "Tidak masalah. Aku percaya, setiap orang punya cerita yang layak didengar. Sayangnya, tidak semua dari kita punya seseorang untuk mendengarnya."
Hening melingkupi mereka, hanya diiringi bisikan lembut dedaunan yang tertiup angin. Elaina menatap langit dengan mata penuh harap, lalu mengalihkan pandangannya pada Arfan.
"Menurutmu, bintang-bintang itu menyimpan cerita apa?" tanyanya, senyumnya tipis namun sarat makna.
Arfan terdiam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Mungkin, cerita tentang manusia yang duduk di bawahnya, mencoba memahami dunia. Seperti kita sekarang."
Elaina tertawa kecil, suaranya seperti melodi yang menyatu dengan malam. "Aku senang bisa melihatnya dari sini. Bersamamu."
Arfan menoleh, tak menyangka kata-kata itu terucap dari bibirnya. Tapi sebelum ia sempat berkata apa pun, Elaina bangkit berdiri, menggenggam ujung rambutnya yang tertiup angin. "Sudah malam. Aku harus pergi."
"Pergi? Ke mana?" tanya Arfan, nada terkejut tak mampu sepenuhnya ia sembunyikan
Elaina menoleh padanya, senyum itu kembali menghiasi wajahnya. "Siapa tahu, semesta akan membawa kita bertemu lagi."
Langkahnya perlahan menjauh, menyisakan jejak samar di jalan setapak. Arfan hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menghilang di balik bayangan. Di bawah bintang-bintang yang gemerlap, ia merasakan sesuatu yang tak ia mengerti, namun begitu kuat menariknya.
Malam itu terasa berbeda. Lebih hidup.
Arfan kembali duduk di bangku, matanya kini tidak lagi tertuju pada bintang-bintang di langit, melainkan pada sepi yang mengisi hatinya. Kata-kata Elaina terngiang di telinganya, "bersamamu." Kalimat itu terasa begitu sederhana, tetapi entah mengapa, ada semacam beban yang terbawa bersamanya.
Langit malam tak lagi sekadar langit bagi Arfan. Ia merasa seakan-akan ada lebih banyak hal yang tersembunyi di baliknya, lebih dari yang pernah ia pikirkan.
Dengan perlahan, ia bangkit berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan tempat yang sebelumnya menjadi pelarian baginya. Tapi kali ini, langkahnya terasa lebih berat. Ada perasaan asing menyelimuti dadanya—suatu perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan yang mungkin hanya bisa dijelaskan oleh bintang, yang entah mengapa, malam itu tampak lebih cerah dari biasanya.