Kota itu, yang dulunya penuh dengan kehidupan, kini berubah menjadi reruntuhan yang menyayat hati. Suara riuh para pedagang dan langkah-langkah penuh semangat yang menghiasi jalanan kini tergantikan oleh desah kesunyian, serpihan bangunan, dan jejak darah. Asap hitam membumbung tinggi, menutupi langit yang telah lama kehilangan warna. Di kejauhan, jeritan ketakutan bersahutan dengan derap langkah orang-orang yang melarikan diri dari kehancuran yang melanda tanpa ampun.
Di tengah puing-puing yang menjadi saksi kebiadaban, Ian berdiri kaku. Matanya terpaku pada reruntuhan rumah yang dulu menjadi tempat penuh kenangan. Di sanalah ia tumbuh, bersama kasih sayang ibunya, Gaia, dan perlindungan teguh ayahnya, Gram. Kini, semua itu hanya tinggal bayangan yang terhapus oleh kenyataan pahit. Keduanya telah tiada, terenggut dalam kerusuhan yang lahir dari kekejaman Kerajaan Veldron, sebuah kekuasaan yang semakin kehilangan arah.
Hati Ian terasa hampa. Kehilangan itu seperti luka yang tak akan pernah sembuh, menggerogoti setiap sisi dirinya. Orangtuanya, yang selalu mengajarinya tentang keberanian dan kebaikan, kini menjadi korban ketidakadilan. Mereka terjebak di tengah permainan kekuasaan yang korup, sebuah tirani yang telah menghancurkan dunia mereka. Namun, di balik rasa sakit yang menyesakkan, perlahan muncul sesuatu yang lebih kuatākeinginan untuk membalas dendam. Ian bersumpah dalam hatinya bahwa ia tidak akan membiarkan kerajaan itu berdiri tanpa menerima balasan atas apa yang telah mereka lakukan.
Namun, Ian tidak sendiri. Di sisinya berdiri Gerude, kakaknya, seorang wanita yang tegar meski kesedihan terlihat samar di balik matanya. Gerude adalah satu-satunya alasan Ian tetap bertahan. Bukan hanya keberanian yang ia pancarkan, tetapi juga harapanāharapan bahwa mungkin masih ada jalan keluar dari kehancuran ini.
"Bertahanlah, Ian," kata Gerude dengan suara yang tenang namun penuh ketegasan. "Kita harus pergi. Masih ada yang harus kita perjuangkan."
Ian menoleh, matanya dipenuhi kebingungan dan rasa kehilangan. "Tapiā¦ Ayah dan Ibuā¦ merekaā¦"
"Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mereka sekarang," potong Gerude, menggenggam tangan Ian dengan erat. "Kita harus bertahan, untuk mereka. Untuk masa depan."
Tanpa pilihan lain, Ian mengikuti Gerude. Mereka berlari menyusuri jalan yang telah menjadi medan kehancuran. Asap dan bara api menyelimuti mereka, sementara suara bentrokan terdengar semakin dekat. Namun, langkah mereka terhenti ketika seorang wanita muncul dari bayang-bayang reruntuhan di hadapan mereka. Ia berpakaian serba hitam, dengan rambut panjang tergerai dan mata yang memancarkan aura misterius.
Elara, penyihir yang pernah mereka temui, berdiri di depan mereka dengan tatapan penuh keyakinan. Ian tertegun melihatnya di tengah kekacauan ini. Elara adalah tamu yang diundang oleh orangtua mereka beberapa bulan yang lalu, dalam salah satu makan malam keluarga yang terakhir sebelum kekacauan Kerajaan Veldron semakin memuncak. Gaia dan Gram, meskipun hidup sederhana, dikenal sebagai tuan rumah yang ramah dan sering menjamu tamu istimewa.
"Aku datang karena keluarga kalian penting," kata Elara saat itu, suaranya lembut namun sarat makna. "Ada kekuatan besar yang ingin menghancurkan tatanan dunia ini. Kalian perlu bersiap."
Meskipun saat itu peringatan Elara tampak seperti kabar buruk yang terlalu jauh, kini semuanya masuk akal. Kerajaan Veldron telah lama menjadi ancaman, dan hari ini ancaman itu mewujud dalam bentuk kehancuran yang tak terhindarkan.
"Kalian tidak bisa tinggal di sini," ucap Elara sekarang, suaranya rendah namun tegas. "Kerajaan Veldron telah kehilangan akal. Mereka tidak akan berhenti berburu korban."
Gerude mengangguk pelan, sepenuhnya memahami maksud Elara. Namun, Ian, yang masih berusaha memahami kekacauan yang melanda, bersuara dengan nada putus asa. "Tapiā¦ kita akan ke mana? Di luar kota iniā¦ tidak ada tempat yang aman."
"Aku akan membawa kalian ke tempat yang lebih aman," jawab Elara tanpa ragu. "Tapi kalian harus percaya padaku."
Tanpa membuang waktu, mereka bertiga meninggalkan reruntuhan kota yang hancur. Jalanan yang mereka tempuh kini lengang, sepi dari kehancuran yang masih bergema di belakang mereka. Namun, meski mereka telah keluar dari kota itu, bayang-bayang tragedi masih mengikut mereka. Ian tahu bahwa ini bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan mereka yang lebih besar.
Harapan itu belum sepenuhnya padam. Ian dan Gerude menyadari, meski kehilangan telah melumpuhkan mereka, ada hal yang lebih besar yang harus mereka perjuangkanākehidupan mereka sendiri dan masa depan yang masih bisa mereka bangun. Dunia di sekitar mereka mungkin telah berubah menjadi tempat yang kejam, penuh bayang-bayang ancaman, tetapi mereka tidak akan menyerah. Langkah mereka kini diarahkan oleh satu tujuan: bertahan hidup dan melawan kerajaan yang telah merusak segalanya.
**
Kehilangan yang mereka alami bukan sekadar kepergian orangtua mereka. Di tengah kekacauan, Gorgoyle, saudara laki-laki Ian, dan Siccyl, adik perempuan mereka yang masih kecil, menghilang tanpa jejak. Tidak ada tanda-tanda, tidak ada petunjuk, mereka tiba-tiba hilang. Seakan lenyap di telan kemalangan. Setiap kali Ian melangkah, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang terus mengganggunya: Di mana mereka sekarang? Apakah mereka masih hidup? Pertanyaan itu menggema, menguatkan rasa bersalah yang ia coba sembunyikan di balik wajahnya yang tegar.
Elara, penyihir misterius yang kini menjadi pemandu mereka, bergerak dengan ketenangan yang menenangkan. Ia membawa mereka menjauh dari pusat kehancuran, melalui lorong-lorong gelap dan jalanan sunyi yang diliputi reruntuhan, buah tangan prajurit Kerajaan Veldron yang beringas.
"Kita harus terus berjalan," katanya pelan namun tegas, suara lembutnya menjadi penuntun di tengah kebisuan malam. Namun, setiap langkah yang mereka ambil terasa berat, seolah kaki mereka terikat oleh kenangan yang masih membakar di belakang, yang sebentar lagi akan mereka buang dan tinggalkan.
Ketika mereka mendekati pinggiran kota yang dipenuhi puing-puing, keheningan yang menenangkan tiba-tiba pecah. Dari balik bayangan pepohonan, muncul suara langkah kaki berat yang semakin mendekat. Ian berhenti, tubuhnya tegang. Gerude berdiri di sisinya, wajahnya mengguratkan kewaspadaan. "Apakah itu prajurit Kerajaan Veldron?," bisiknya.
Dari kegelapan, pasukan kerajaan muncul. Menjawab pertanyaan Gerude. Belasan prajurit bersenjata lengkap dengan wajah dingin yang penuh niat membunuh muncul. Mereka mengepung. Langkah mereka perlahan namun pasti, seperti pemangsa yang hendak mengunci mangsanya. Ian menelan ludah, tangannya mengepal, sementara Gerude mencengkeram pergelangan tangannya dengan lembut, seolah memberi isyarat untuk tidak bertindak gegabah.
Elara melangkah maju, menghalangi mereka dari pandangan prajurit. "Kalian tidak perlu bertarung," katanya pelan, suaranya tetap tenang namun sarat dengan ancaman yang tersembunyi. "Pergilah, atau kalian tidak akan keluar dari sini hidup-hidup." Ancam Elara kepada segerombolan prajurit itu.
Para prajurit tertawa mengejek. "Penyihir atau bukan, kau tidak akan bisa menghadapi kami semua," ujar salah seorang dengan nada meremehkan.
Namun, Elara tidak bergeming. Ia mengangkat tangannya perlahan, dan udara di sekitar mereka berubahādingin, berat, penuh dengan energi yang tak terlihat namun terasa menusuk. Cahaya redup memancar dari matanya, dan dalam sekejap, dia mengayunkan tangannya ke depan. Sebuah gelombang energi melesat, menghantam para prajurit dengan kekuatan yang tak tertahankan. Mereka terlempar, senjata mereka terlepas, dan beberapa langsung pingsan tanpa sempat melawan.
Suara benturan itu memecah kesunyian, diikuti oleh jeritan tertahan. Elara berdiri tegak, wajahnya tak menunjukkan belas kasihan. Hanya satu prajurit yang tersisa, gemetar di tempatnya, lalu ia melemparkan senjatanya dan berlari menjauh tanpa menoleh lagi.
Gerude menarik napas panjang, mengalihkan pandangannya dari tubuh-tubuh yang tergeletak. Ian tetap terpaku di tempatnya, matanya membelalak melihat apa yang baru saja terjadi. "Bagaimanaā¦" katanya pelan, suaranya hampir tidak terdengar.
"Kita harus pergi," potong Elara tanpa memberi penjelasan, suaranya kembali lembut namun penuh urgensi. "Ini baru permulaan. Mereka akan kembali dengan lebih banyak pasukan."
Ian menatap Elara sejenak sebelum mengangguk. Mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat. Namun, meskipun tubuh mereka terus maju, pikiran Ian terus kembali ke apa yang baru saja ia saksikan. Kekuatan Elara begitu luar biasa, lebih dari yang pernah ia bayangkan. Siapa sebenarnya wanita ini? Dan mengapa ia begitu bersikeras melindungi mereka?
Saat mereka menjauh dari kota, kegelapan malam mulai meluntur, digantikan oleh cahaya fajar yang samar di cakrawala. Udara di luar kota terasa lebih segar, meskipun bayang-bayang kehancuran masih mengikuti mereka.
Perjalanan ini baru saja dimulai. Ian dan Gerudeākedua kaka beradik ini,Ā tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil akan dipenuhi bahaya. Namun, ia juga mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik semua iniāsesuatu yang melibatkan dirinya, keluarganya, dan mungkin, takdir dunia yang sedang bergeser menuju pintu malapetaka.