Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Lingkaran Kedua Kehidupan

Fadhil_Sabilul
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
15
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1 Awal yang Tidak Terduga

Langit malam itu dipenuhi oleh jutaan bintang, berkilauan seperti serpihan kristal di atas permukaan air. Di sebuah desa kecil di tepi hutan bernama Valtherin, seorang pemuda bernama Kael melangkah ke tengah lapangan kosong. Di tangannya, ia menggenggam sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk lingkaran yang sudah usang, warisan terakhir dari ibunya.

Kael adalah seorang yatim piatu yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam bayang-bayang. Namun, malam ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sebuah dorongan aneh mengarahkannya untuk mendatangi tempat ini—seperti ada kekuatan yang memanggilnya.

"Kenapa aku merasa seperti... seseorang menunggu di sini?" gumam Kael sambil mengamati sekeliling.

Angin dingin berembus lembut, menggerakkan dedaunan pohon yang rimbun. Lalu, sebuah suara berat dan dalam menggema di udara.

"Kael... akhirnya kau datang."

Kael tersentak dan berbalik cepat. Dari kegelapan, seorang pria bertudung muncul. Mata pria itu menyala merah seperti bara api, dan di tangannya ada sebuah tongkat yang memancarkan aura gelap.

"Siapa kau?" tanya Kael waspada.

"Aku adalah pembawa pesan dari kehidupan sebelumnya," jawab pria itu dengan suara rendah. "Dan malam ini, lingkaran takdirmu akan dimulai lagi."

Kael memundurkan langkah. "Kehidupan sebelumnya? Apa maksudmu? Aku bahkan tidak mengenalmu!"

Pria itu tersenyum tipis, membuka tudungnya, dan memperlihatkan wajah yang terlihat seperti pria paruh baya dengan bekas luka di sepanjang pipinya.

"Kau pernah hidup sekali sebelumnya, sebagai seorang ksatria besar bernama Arven. Namun, kau dikhianati oleh orang-orang yang kau percayai, dan jiwamu terperangkap dalam lingkaran waktu. Kini, kau telah terlahir kembali, Kael. Tapi takdirmu belum selesai."

Kael terdiam. Kata-kata pria itu terlalu sulit untuk dicerna. Ksatria? Kehidupan sebelumnya? Lingkaran waktu? Itu semua terdengar seperti dongeng.

"Aku tidak percaya. Ini pasti mimpi," Kael menggelengkan kepalanya sambil mundur lebih jauh.

Pria itu mendesah, lalu mengangkat tongkatnya. Sebuah cahaya merah muncul dari ujung tongkat itu, membentuk sebuah lingkaran besar di udara.

"Kalau begitu, lihatlah dengan matamu sendiri!"

Tiba-tiba, bayangan-bayangan bergerak di dalam lingkaran cahaya itu. Kael melihat dirinya—atau seseorang yang sangat mirip dengannya—berdiri dengan pedang di tangan, memimpin pasukan besar di medan perang. Lalu, gambar itu berubah menjadi pengkhianatan: Kael dikelilingi oleh orang-orang yang sebelumnya berdiri di sisinya, dan sebuah tombak menusuk dadanya.

Kael jatuh berlutut, matanya melebar.

"Itu... aku?"

"Benar," kata pria itu dengan tegas. "Dan sekarang, takdirmu adalah untuk melanjutkan apa yang telah kau mulai. Dunia ini berada di ambang kehancuran. Hanya dengan ingatanmu yang pulih dan kekuatan lamamu, kau bisa menyelamatkannya."

Kael menggenggam liontin di lehernya dengan erat. Semua ini terasa terlalu besar baginya.

"Jika aku benar-benar ksatria itu, kenapa aku tidak mengingat apa pun?"

"Itu adalah harga dari reinkarnasi," jawab pria itu sambil melangkah mendekat. "Tapi ingatanmu akan kembali seiring waktu. Malam ini adalah langkah pertama."

Kael menatap pria itu dengan tatapan ragu.

"Apa yang kau inginkan dariku?"

Pria itu berhenti, tersenyum dingin, dan mengarahkan tongkatnya ke langit. Tiba-tiba, langit malam berubah menjadi merah darah. Di kejauhan, suara jeritan dan raungan monster menggema.

"Aku hanya ingin kau bertahan hidup," jawab pria itu. "Karena mulai sekarang, kau tidak hanya bertarung untuk hidupmu, tetapi untuk seluruh dunia ini."

Sebelum Kael sempat bertanya lagi, sebuah ledakan besar terdengar dari arah desa. Api menjilat ke langit, dan monster-monster bermata merah keluar dari hutan, menyerang tanpa ampun.

"Kael! Ini ujianmu!" teriak pria itu sebelum menghilang ke dalam bayangan.

Kael hanya bisa berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di antara ketakutan dan kebingungan.

Kael berdiri terpaku, menatap kobaran api yang melahap desa kecilnya. Jeritan penduduk membelah malam, memanggil satu sama lain untuk mencari perlindungan. Namun, dari dalam hutan, monster-monster besar mulai keluar satu per satu. Tubuh mereka seperti perpaduan antara serigala dan reptil, dengan gigi tajam dan cakar yang berkilauan di bawah sinar bulan.

Kael merasa kakinya berat, seperti tertanam di tanah. Pikirannya bercampur aduk—rasa takut, kebingungan, dan ketidakpercayaan bercampur menjadi satu. Tapi kemudian, suara seorang anak kecil terdengar dari arah desa.

"Tolong! Ayah! Tolong aku!"

Kael menoleh dan melihat seorang gadis kecil terjebak di antara reruntuhan rumah yang terbakar. Seekor monster mendekatinya, air liurnya menetes ke tanah seperti cairan asam yang mendesis.

"Tidak!" Kael berteriak tanpa berpikir, tubuhnya langsung bergerak.

Dia berlari secepat mungkin ke arah gadis itu, meskipun di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia tidak memiliki senjata atau kekuatan untuk melawan makhluk itu. Monster itu menoleh ke arahnya, mengeluarkan raungan rendah yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Kael berhenti beberapa meter dari gadis itu, matanya mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Di tanah, ia menemukan sepotong kayu panjang yang sebagian terbakar. Dia mengambilnya dengan tangan gemetar dan mengangkatnya, mencoba tampak lebih berani daripada yang sebenarnya ia rasakan.

"Hey, kau! Jangan sentuh dia!" Kael berteriak dengan suara serak.

Monster itu menggeram dan melompat ke arahnya. Dalam sepersekian detik, waktu seakan melambat. Kilatan gambar-gambar yang tidak dikenal muncul di benaknya: dirinya memegang pedang besar, bertarung melawan ratusan musuh di bawah hujan deras. Tubuhnya bergerak secara refleks, dan dia mengayunkan kayu itu ke arah monster.

Kayu itu menghantam kepala monster dengan keras, membuatnya terhuyung ke belakang. Tapi monster itu tidak menyerah. Dengan raungan marah, ia melompat lagi, mencakar Kael hingga membuatnya jatuh terlentang.

Kael meringis, merasakan rasa sakit menjalar di dadanya. Tapi saat monster itu hendak menyerang lagi, sesuatu yang aneh terjadi. Liontin di lehernya mulai bersinar terang.

"Kael..." suara pria bertudung tadi bergema di kepalanya. "Panggil kekuatanmu. Percayalah pada dirimu sendiri."

Kael tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi dia mengikuti dorongan itu. Dia menggenggam liontin itu erat-erat, dan tiba-tiba, energi hangat mengalir melalui tubuhnya. Sebuah pedang bercahaya muncul di tangannya, menggantikan kayu yang sudah patah.

Monster itu terhenti, seolah-olah merasakan bahaya dari pedang tersebut.

"Aku... apa ini?" Kael bergumam, matanya terpaku pada pedang itu.

Namun, tidak ada waktu untuk berpikir. Monster itu kembali menyerang, dan kali ini, Kael melompat ke samping dengan gesit, menghindari cakar tajamnya. Dia mengayunkan pedangnya, dan dalam satu tebasan, monster itu roboh, tubuhnya terbelah menjadi dua.

Kael terengah-engah, menatap tubuh monster itu yang perlahan berubah menjadi debu. Gadis kecil itu masih menangis di dekatnya, dan Kael segera berlari untuk membebaskannya dari reruntuhan.

"Kau baik-baik saja?" tanya Kael, suaranya lembut.

Gadis itu mengangguk sambil terisak. "Terima kasih, Kak."

Kael menggendongnya, matanya masih terarah pada desa yang kacau balau. Di kejauhan, dia melihat lebih banyak monster keluar dari hutan, menyerang penduduk yang mencoba melarikan diri.

"Ini baru permulaan," gumamnya, merasa beban tanggung jawab mulai menumpuk di pundaknya.

Tiba-tiba, pria bertudung itu muncul kembali di sampingnya, seperti bayangan yang muncul dari udara.

"Bagus, Kael. Kekuatanmu mulai kembali," katanya sambil tersenyum tipis.

Kael menatapnya tajam. "Apa semua ini salahmu? Apa kau yang membawa monster-monster itu?"

Pria itu menggeleng. "Mereka adalah perwujudan dari kekuatan kegelapan yang telah bangkit kembali. Kau adalah satu-satunya yang bisa menghentikannya."

"Kenapa aku? Kenapa bukan orang lain?" Kael merasa marah sekaligus putus asa.

"Karena hanya kau yang memiliki jiwa Arven, ksatria terkuat yang pernah ada," jawab pria itu. "Dunia membutuhkanmu, Kael. Tapi untuk itu, kau harus memulihkan ingatanmu dan menerima takdirmu."

Kael ingin membantah, tapi dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan. Desa ini sedang hancur, dan orang-orang membutuhkan pertolongan.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya akhirnya, dengan nada yang lebih tenang.

Pria itu mengulurkan tangannya, dan sebuah gulungan kertas muncul di telapak tangannya.

"Pergilah ke utara, ke kota Vellorien. Di sana, kau akan menemukan jawaban dan sekutu. Tapi berhati-hatilah, karena kegelapan akan terus memburumu."

Kael menatap gulungan itu, lalu kembali menatap pria itu. "Siapa sebenarnya kau?"

Pria itu tersenyum samar. "Kau akan tahu pada waktunya. Sampai jumpa lagi, Kael."

Sebelum Kael bisa bertanya lebih lanjut, pria itu menghilang, meninggalkan Kael dengan gadis kecil di pelukannya, desa yang terbakar, dan beban takdir yang baru saja menimpanya.

Kael menggenggam pedangnya erat, menatap ke arah utara dengan tekad yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.

"Jika ini takdirku, maka aku akan melawan," gumamnya pelan.

Malam itu, di bawah cahaya bulan dan api yang membakar, perjalanan baru Kael dimulai.