Hening.
Tidak ada suara kendaraan, tidak ada tawa anak-anak yang bermain di jalanan, tidak ada keramaian pasar yang biasanya memenuhi udara pagi. Kota itu kini menjadi lautan kehancuran, dengan bangunan yang roboh dan jejak darah yang membeku di aspal. Di balik reruntuhan, bayangan-bayangan bergerak perlahan, tubuh-tubuh yang pernah hidup kini berjalan tanpa arah, haus akan daging dan suara.
Di tengah kehancuran itu, seorang anak remaja berdiri. Pedang kayu yang ia genggam gemetar di tangannya, bukan karena beratnya, melainkan karena ketakutan yang tak tertahankan. Matanya memandang sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan, tetapi yang ia temukan hanyalah tatapan kosong dari makhluk-makhluk yang dulunya manusia.
Rey menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dalam pikirannya, ia mengingat apa yang selalu ia pelajari dari game favoritnya:
"Tetap tenang. Perhatikan gerakan musuh. Serang hanya ketika ada peluang."
Namun ini bukan permainan. Di dunia nyata, satu kesalahan berarti kematian, atau lebih buruk: menjadi salah satu dari mereka.
"Rey!"
Suara itu memecah keheningan. Dari balik reruntuhan, seorang gadis muncul, napasnya tersengal-sengal, wajahnya penuh debu dan luka kecil. Maya. Dia berlari menuju Rey, tetapi langkahnya terhenti ketika sekelompok zombie tiba-tiba muncul di belakangnya, mengejarnya dengan gerakan yang tak wajar.
Rey tahu dia harus bertindak. Dia tahu bahwa jika dia tidak melawan sekarang, tidak hanya Maya yang akan mati, tetapi juga harapan kecil yang masih ada di dunia yang sudah hancur ini.
Dengan satu seruan penuh tekad, Rey mengangkat pedang kayunya dan melangkah maju. Hatinya berdebar, tetapi di tengah kegelapan, dia tahu satu hal: jika mereka ingin bertahan hidup, mereka harus menjadi lebih dari sekadar manusia biasa.
Mereka harus menjadi bayangan para penyintas.