Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar yang setengah terbuka, menyinari wajah seorang remaja laki-laki yang masih terlelap.
"Mas, bangun dong! Nanti telat sekolah!" suara riang adiknya, Naira, membuyarkan mimpi manisnya.
"Aduh, bentar lagi..." gumam sang kakak sambil membalikkan badan, mencoba menghindari sinar matahari.
"Enggak ada bentar lagi! Ayo, aku udah nyiapin sarapan. Kalau kamu telat, aku nggak mau disalahin, loh!"
Dengan malas, dia bangkit sambil menggaruk kepala. Namanya Alvan, seorang siswa kelas 3 SMA yang, meski dikenal pintar dan tenang, sering kali terlambat bangun pagi.
Setelah bersiap, Alvan keluar rumah dengan seragam rapi. Di depan rumah, sudah ada sahabat karibnya, Arka, seorang siswa kelas 2 yang selalu ceria dan punya semangat tinggi.
"Telat lagi, bro. Kapan kamu bisa jadi teladan buat adikmu?" ledek Arka sambil tertawa kecil.
"Teladan apaan? Aku masih manusia biasa."
Mereka berjalan bersama menuju sekolah, seperti biasanya. Selama perjalanan, Alvan menceritakan dirinya dalam hati, "Aku cuma remaja biasa. Enggak ada yang spesial dari hidupku. Mungkin kalau ada hal yang sedikit menarik, itu karena aku punya Arka. Dia lebih dari sahabat, dia kayak adik sekaligus kakak buatku."
Namun, obrolan mereka terhenti saat mereka berpapasan dengan dua siswi. Salah satunya adalah Safira, cewek yang diam-diam disukai Alvan.
"Pagi, Arka!" Safira melambaikan tangan dengan senyum cerah, menghampiri mereka bersama temannya, Nadin.
"Eh, pagi juga, Safira," balas Arka, tampak sedikit lebih bersemangat.
Melihat itu, Alvan merasa jantungnya mencelos. Ada rasa aneh—cemburu, meski dia tahu Arka hanya bersikap ramah seperti biasa.
Nadin, yang berjalan di samping Safira, menatap Alvan sejenak sebelum menyapa dengan suara lembut, "Pagi, Alvan."
"Pagi, Nad..." jawab Alvan, masih setengah tenggelam dalam pikirannya.
Nadin menyadari perubahan ekspresi Alvan. Saat Safira dan Arka berbicara lebih akrab, Nadin mencoba mengalihkan perhatian Alvan.
"Kamu kelihatan ngantuk. Kurang tidur lagi, ya?" godanya sambil tersenyum kecil.
"Ah, biasa aja kok..." Alvan memaksakan senyum.
Namun, Nadin tidak menyerah. Dia mulai bercerita tentang kejadian lucu di kelasnya kemarin, yang perlahan membuat Alvan tertawa kecil.
Dalam hatinya, Alvan bergumam, "Kenapa perasaan ini rumit banget? Kenapa aku merasa cemburu sama Arka, padahal dia nggak salah apa-apa? Dan kenapa Nadin selalu ada di saat aku butuh?"
Pagi itu, langkah mereka menuju sekolah terasa lebih panjang dari biasanya. Tapi di tengah kebingungan hatinya, Alvan merasa sedikit lebih ringan berkat kehadiran Nadin.
"Kadang, orang yang peduli sama kita justru yang paling sulit kita lihat," pikir Alvan sambil melirik Nadin sekilas. Namun, dia segera mengalihkan pandangannya kembali ke jalan.
Di sekolah, suasana sudah ramai seperti biasa. Bel tanda masuk berbunyi, membuat semua siswa buru-buru ke kelas masing-masing. Alvan dan Arka berpisah di lorong utama sekolah, karena kelas mereka berbeda. Namun sebelum masuk kelas, Arka sempat memegang bahu Alvan.
"Eh, Van, nanti temenin aku ke kantin, ya? Aku mau ngobrol sama Safira soal projek OSIS."
Alvan mengangguk pelan, tapi hatinya terasa berat. Mendengar nama Safira disebut, ada rasa aneh yang muncul lagi.
Di kelas,
Alvan duduk diam di pojokan kelas, tepat di kursi samping jendela yang jadi tempat favoritnya. Pandangannya kosong menatap ke luar, pikirannya masih terjebak di kejadian pagi tadi. Ia mengingat bagaimana cerianya Safira saat berbicara dengan Arka. Sementara ia mencoba menganalisis setiap momen itu, sebuah tanya mulai mengusik benaknya, "Apa mungkin Arka suka sama Safira?"
Tepat saat pikirannya mulai mengembara lebih jauh, suara pintu yang didobrak keras-keras membuatnya tersentak. Alvan menoleh dengan cepat ke arah suara tersebut. Di ambang pintu, seorang gadis berambut kepang dua tampak terengah-engah. Itu Amira. Dengan tergesa, Amira berjalan mendekati Nadin yang kebetulan duduk di sebelah Alvan.
"Heh! Bikin kaget aja! Kalau buka pintu pelan-pelan dong!" sergah Alvan, nadanya kesal.
Amira nyengir kecil. "Maaf ya, Van," jawabnya dengan nada setengah bercanda.
"Ehh, udah-udah, jangan mulai ribut," potong Nadin sambil mengangkat tangannya, seolah menjadi wasit. Ia melirik Amira dan bertanya, "Mir, kamu buru-buru banget gitu kenapa? Ada apa?"
Amira mengelap peluh di dahinya sambil mengatur napas. "Gimana enggak panik? Kupikir udah terlambat. Untung aja belum ada guru masuk."
"Jangan-jangan kamu mampir ke toko roti lagi? Makanya jadi hampir telat?" Nadin menduga dengan nada setengah menuduh, tapi sambil tersenyum geli.
Amira terkekeh. "Hehe, iya sih... Tapi roti di situ enak banget, kan! Kamu mau enggak, Nad? Aku beli banyak tadi." Sambil berkata, ia mengeluarkan kantong kertas penuh roti dari tasnya. "Eh, Van, kamu mau juga, enggak?"
Alvan melambaikan tangan menolak tawaran itu. "Enggak. Aku enggak lapar." Tatapannya kembali dialihkan ke luar jendela.
Amira menatap Alvan dengan cemas. "Kenapa sih kamu, Van? Dari tadi kelihatan murung. Ada apa?" tanyanya, nada khawatir tercermin di suaranya.
"Enggak ada apa-apa," jawab Alvan singkat, dengan nada dingin khasnya.
Sebelum Amira sempat mendesak lagi, pintu kelas kembali terbuka, kali ini lebih tenang. Seorang guru melangkah dengan map di tangannya. "Selamat pagi, semua! PR kalian sudah pada dikerjakan, kan?" tanyanya dengan senyum lebar.
Wajah Alvan seketika pucat. "Aduh... PR!" Ia baru teringat bahwa ia belum menyelesaikan tugasnya.
Tanpa banyak bicara, Nadin langsung menyodorkan catatannya ke Alvan. "Nih, cepat salin aja, masih sempat kok," bisiknya pelan.
Alvan menatap Nadin dengan ekspresi lega. "Serius? Aduh, makasih banget, Nad," ucapnya dengan sedikit rasa bersalah.
"Santai aja. Lagi pula, PR-nya cuma dikit kok," jawab Nadin dengan senyum kecil, melanjutkan membaca novel yang ada di genggamannya.
Di sisi lain, Amira menyeringai sambil mengeluarkan roti cokelat dari kantongnya dan menggigitnya dengan puas. "Tuh kan, roti yang aku beli emang menyelamatkan pagi. Siapa bilang aku telat? Tepat waktu dong, hahaha!"
Sementara kelas mulai sibuk mempersiapkan diri, pikiran Alvan masih terbagi. Satu sisi ia harus buru-buru menyelesaikan PR, tapi di sisi lain, wajah ceria Safira pagi tadi bersama Arka terus membayangi benaknya. Tanpa sadar, ia menghela napas panjang. Kenapa ya, rasanya berat banget belakangan ini?
---
Waktu istirahat tiba. Seperti janji, Alvan menemani Arka ke kantin. Di sana, Safira dan Nadin sudah duduk di meja pojok, terlihat menunggu mereka. Safira melambaikan tangan, membuat senyum Arka semakin lebar.
"Eh, kalian lama banget, sih! Udah pesen makanan belum?" Safira menyapa dengan suara riang.
Arka mengambil tempat duduk tepat di sebelah Safira, sementara Alvan duduk di hadapan mereka, di sebelah Nadin. Dari situ, pembicaraan mulai mengalir.
"Fi, soal proposal kegiatan OSIS buat acara pentas seni, gimana? Ada tambahan ide lagi nggak?" tanya Arka serius.
Safira mengangguk. "Ada beberapa ide, sih. Tapi aku butuh bantuin cari referensi desainnya, terutama untuk tema acara."
"Aku bisa bantu, kok!" Arka menawarkan diri dengan antusias, tanpa ragu-ragu.
Melihat interaksi mereka, Alvan merasa seperti orang luar. Dia hanya bisa diam, memainkan sedotan di minumannya. Namun, perhatian Alvan tiba-tiba teralihkan saat Nadin memiringkan kepala dan berbisik pelan, "Kayaknya ada sesuatu di pikiranmu."
"Hah? Nggak kok," jawab Alvan singkat, mencoba menghindar.
Nadin tersenyum kecil. "Nggak usah bohong. Aku lihat, kok. Kamu nggak biasanya sepasif ini. Ada masalah sama Arka?"
Alvan menoleh cepat, kaget dengan tebakan Nadin. "Bukan, aku cuma... lagi mikir aja."
"Kamu harus cerita kalau ada apa-apa. Aku mungkin nggak bisa bantu, tapi setidaknya aku bisa dengerin," ucap Nadin, tetap lembut.
Ada sesuatu dalam cara Nadin berbicara yang membuat Alvan sedikit tenang. Sambil menarik napas dalam, dia bergumam pelan, "Terima kasih, Nad."
---
Beberapa hari berlalu, situasi semakin rumit bagi Alvan. Ia sering menemukan Safira dan Arka bersama karena urusan OSIS, dan itu perlahan mengusik hatinya. Namun di sisi lain, Nadin selalu hadir dengan caranya yang sederhana tapi bermakna, memberi warna di tengah kebingungannya.
Sampai suatu hari, Ketua OSIS mereka, Raka, membuat pengumuman penting di kelas.
"Kami dari OSIS membutuhkan tambahan panitia untuk membantu acara Pentas Seni. Siapa yang mau daftar, segera datang ke ruang OSIS!"
Arka, tanpa berpikir panjang, langsung mengajak Alvan untuk ikut daftar. "Ayo, Van! Kita kerja bareng Safira. Pasti seru!"
Alvan mengangguk pelan, walau sebenarnya ia bimbang. Ia tak bisa mengabaikan rasa di hatinya, tetapi ia juga tak ingin kehilangan sahabat seperti Arka.
Namun, di luar dugaan, Nadin tiba-tiba muncul dan berkata, "Kalau kalian daftar, aku ikut, ya. Siapa tahu bisa bantu."
Arka menoleh dengan antusias. "Wah, makin ramai, nih! Pasti acara ini bakal keren banget!"
Alvan hanya bisa tersenyum kecil. Dalam hatinya, dia tahu, ini bukan hanya tentang acara sekolah biasa. Ini adalah persimpangan besar dalam hidupnya—tempat di mana ia harus memutuskan: apakah ia siap menghadapi perasaan yang selama ini ia pendam?
Saat sepulang sekolah,
Langit sore mulai berubah jingga, menandakan hari semakin senja. Alvan melangkah perlahan meninggalkan gerbang sekolah. Hari itu terasa melelahkan, tetapi di sisi lain, ia sedikit lega karena Arka harus menghadiri rapat OSIS tambahan, sehingga perjalanan pulangnya kali ini terasa lebih sepi. Namun, baru beberapa langkah dari gerbang, suara lembut yang familiar memanggil namanya.
"Alvan!"
Ia menoleh dan mendapati Safira sedang berjalan mendekat. Dengan ransel tergantung di satu bahu, Safira tampak cerah seperti biasanya.
"Kamu udah mau pulang, kan? Aku nggak ada yang jemput, jadi mau bareng?" tanyanya sambil tersenyum manis.
Alvan sempat terdiam. Hatinya berdebar mendengar tawaran itu. Safira jarang sekali pulang bersamanya tanpa ada Arka. "Eh... iya, tentu. Ayo," jawab Alvan sambil menahan gugup.
Mereka berjalan beriringan di sepanjang trotoar yang mulai lengang. Awalnya, perjalanan itu diiringi keheningan canggung. Alvan sibuk memikirkan kata-kata yang tepat untuk membuka obrolan. Namun, justru Safira yang lebih dulu bicara.
"Kamu keliatan pendiam banget belakangan ini, Van. Ada apa?" tanya Safira sambil menoleh ke arahnya.
"Pendiam? Enggak juga, kok. Cuma... mungkin lagi banyak pikiran aja," jawab Alvan berusaha terdengar santai.
Safira mengangguk kecil. "Apa karena urusan OSIS? Atau... mungkin karena aku sering bareng Arka?"
Pertanyaan itu membuat langkah Alvan melambat. Ia menatap Safira sejenak sebelum kembali menunduk. "Enggak. Maksudku... itu enggak masalah. Kalian kelihatan cocok kerjasama di OSIS."
"Hmm, iya sih. Arka memang seru diajak kerja sama," Safira berkata dengan nada ringan. Tetapi kemudian dia melirik Alvan dan melanjutkan, "Tapi kamu tahu enggak, Van? Aku lebih sering penasaran sama kamu daripada Arka."
Ucapan Safira itu seperti petir di sore yang tenang. Alvan langsung menghentikan langkahnya, menoleh dengan mata lebar. "Hah? Maksudnya?"
Safira tersenyum kecil. Ia berjalan sedikit lebih cepat sehingga kini berada di depan Alvan. "Aku selalu lihat kamu sebagai orang yang misterius, Van. Tenang, pintar, tapi sering menyimpan sesuatu sendiri. Padahal aku yakin, kamu sebenarnya orang yang seru kalau mau terbuka."
Alvan mengusap tengkuknya, bingung bagaimana harus merespons. Hatinya terasa hangat, tapi juga gugup mendengar Safira berkata seperti itu. "Enggak ada yang perlu dibahas soal aku, kok. Aku cuma... ya, gini aja."
Safira menghentikan langkahnya dan menatap Alvan dengan serius. "Aku enggak percaya, tuh. Kayaknya, ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku, ya?"
Alvan mendesah pelan. Dia bimbang, apakah ini saat yang tepat untuk jujur dengan perasaannya? Namun, sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Safira tiba-tiba mengubah ekspresinya menjadi lebih ceria.
"Eh, tahu enggak? Aku selalu senang jalan bareng kamu, Van. Walaupun kita jarang ngobrol, rasanya nyaman aja. Enggak terlalu ribut, tapi enggak membosankan."
Alvan merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Kata-kata Safira tadi membuat perasaannya semakin kacau. Ia berusaha menenangkan diri dengan tersenyum kecil. "Mungkin karena kita sama-sama suka suasana yang tenang."
Safira tertawa ringan. "Mungkin. Tapi kalau lagi bareng Arka, kayaknya aku enggak bisa diam. Anak itu selalu ada aja tingkahnya yang bikin heboh."
Mereka melanjutkan langkah, kali ini suasananya lebih santai. Namun, di dalam hatinya, Alvan berjuang menahan rasa yang terus ingin ia ungkapkan. Setiap kali Safira tersenyum atau tertawa, ada dorongan dalam hatinya untuk berkata jujur, tetapi ketakutan akan merusak segalanya membuatnya tetap bungkam.
Sampai akhirnya, mereka tiba di persimpangan jalan—tempat Alvan harus berbelok menuju rumahnya.
"Eh, kita udah sampai sini aja?" tanya Safira, sedikit kecewa.
"Iya, rumahku tinggal di gang itu," jawab Alvan sambil menunjuk.
Safira mengangguk pelan. "Kalau gitu, aku jalan sendiri dari sini, ya." Ia melangkah menjauh, tetapi tiba-tiba berhenti dan menoleh. "Van, aku senang bisa pulang bareng kamu hari ini. Semoga kita bisa sering begini lagi."
Alvan hanya bisa mengangguk, menahan perasaannya yang hampir meledak. "Iya, aku juga."
Safira melambaikan tangan sebelum melanjutkan langkahnya. Alvan berdiri di sana, menatap punggung Safira yang semakin menjauh. Dalam hati, ia berkata pelan, "Safira... kalau aku lebih berani, mungkin aku bisa bilang betapa spesialnya kamu buat aku."
Langit yang kini dipenuhi warna jingga seolah menyimpan rahasia perasaan Alvan. Di persimpangan itu, ia menyadari, perjalanan hatinya baru saja dimulai.