10. Ketika Harapan Pudar
Miyuki menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya kepada Ryuji. Namun, setiap kali ia mencoba mendekat, selalu saja ada gangguan dan terutama dari gadis-gadis Four flowers, yang selalu menarik perhatian Ryuji. Di antara mereka, Okabe Aoi adalah yang paling sering menghalangi langkahnya.
Belakangan ini, ada satu hal yang semakin membuat Miyuki merasa tidak nyaman, Aoi yang, entah kenapa, semakin sering mencoba mengobrol dengan Ren.
Setiap kali Miyuki melihat Aoi mendekati Ren dengan senyuman cerahnya, ada rasa aneh yang menyelinap di hatinya, seolah-olah dia sedang menyaksikan sesuatu yang tidak ingin dia lihat.
Bahkan, kejadian itu pernah membuatnya begitu terkejut hingga hampir tersedak air minum yang sedang ia teguk.
Rasanya seperti seluruh dunianya berhenti sejenak saat melihat Aoi dan Ren bercakap-cakap begitu akrab, dan dia tidak bisa mengalihkan pandangannya meskipun tahu bahwa itu hanya akan membuat perasaannya semakin berantakan.
'Kenapa dia seperti itu? Dengan cara bicara yang begitu akrab, seolah-olah tidak ada batas sama sekali,' pikir Miyuki, sambil memandang dari kejauhan. Matanya terus mengikuti gerak-gerik Aoi, memperhatikan senyumnya yang tampak hangat namun terasa janggal di mata Miyuki. Dia menyadari sesuatu yang berbeda kali ini, Ren, yang biasanya terlihat santai, kini terlihat mulai gelisah. 'Padahal Ren sepertinya mulai tidak nyaman,' batinnya lagi, perasaan cemas mulai menyelip di hatinya.
Miyuki menggigit bibir bawahnya, mencoba memahami situasi yang ada.
Miyuki menganggap Ren sebagai teman baik yang selalu membantunya saat ia merasa gelisah. Kini, Miyuki memutuskan untuk menolong Ren, tetapi ia teringat tujuannya dan keputusan yang telah diambil, sehingga ia menunda pertemuannya dengan Ryuji.
Meskipun hati Miyuki diliputi keraguan, ia tahu bahwa membantu Ren adalah hal yang penting. Dengan napas panjang, ia mencoba menenangkan pikirannya dan menyusun rencana. Dalam perjalanan menuju tempat Ren, bayangan tentang Ryuji sesekali muncul di benaknya, membuat hatinya semakin berat.
"Aku harus kuat," gumamnya pada diri sendiri.
Ren yang sedang berdiri di dekat taman sekolah terlihat sesekali melirik Aoi yang tampaknya terus berbicara tanpa henti. Wajahnya menunjukkan ekspresi canggung, namun Ren berusaha untuk tetap sopan. Miyuki memperhatikan dari kejauhan, menguatkan tekadnya untuk campur tangan.
Dengan langkah mantap, ia mendekati mereka, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang.
"Ren," panggil Miyuki dengan suara lembut namun tegas, menarik perhatian keduanya.
Ren tampak lega melihat Miyuki, sementara Aoi hanya memberikan senyuman tipis.
"Oh, Miyuki. Ada apa?" tanya Ren, mencoba mengalihkan perhatian dari Aoi.
"Aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja," jawab Miyuki sambil menatap Ren dengan tatapan penuh arti. Dia sengaja tidak memperhatikan Aoi, meskipun kehadiran gadis itu membuat suasana menjadi sedikit canggung.
"Baik-baik saja?" ucap Ren.
Aoi, yang menyadari perubahan suasana, tersenyum tipis dan berkata, "... aku permisi dulu." Aoi melangkah pergi.
Ren menghela napas lega setelah Aoi pergi. "Terima kasih, Miyuki. Aku tidak tahu bagaimana caranya keluar dari situasi tadi."
Miyuki mengangguk kecil, berusaha menyembunyikan rasa puasnya. "Aku hanya tidak ingin melihatmu tidak nyaman. Lagipula, teman ada untuk saling membantu, kan?" ucapnya sambil tersenyum. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Masih ada sesuatu yang harus aku lakukan," kata Miyuki buru-buru.
Saat berjalan kembali menuju gedung sekolah, pikiran Miyuki penuh dengan konflik.
---
Miyuki menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak sopan. Setelah berbicara dengan Ren, ia pergi meninggalkan Ren yang terlihat kebingungan.
Langkahnya terhenti saat melihat Ryuji berjalan ke arahnya. Hatinya berdebar-debar tak menentu.
"Miyuki-chan," sapa Ryuji dengan nada tenang, namun cukup untuk membuat Miyuki tertegun. "Apa kamu punya waktu sebentar? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan."
Miyuki hanya mengangguk pelan, meski pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. "Tentu, Ryuji-kun..."
Ryuji tersenyum tipis, lalu menunjuk ke arah taman kecil di dekat sana. "Kita bicara di sana saja. Tempatnya lebih tenang."
Tanpa berkata apa-apa, Miyuki mengikuti Ryuji menuju taman. Suara langkah kaki mereka yang berirama membuat jantung Miyuki berdetak lebih cepat dari biasanya. Sesampainya di taman, Ryuji berhenti di bawah pohon rindang, berbalik, dan menatap Miyuki dengan serius.
"Aku tahu ini mendadak," ucapnya, mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan, "tapi... aku butuh bantuanmu."
Miyuki mengerutkan kening, rasa gugupnya perlahan berubah menjadi rasa penasaran. "Bantuan? Bantuan apa, Ryuji-kun?"
Ryuji menghela napas, matanya menatap lurus ke Miyuki.
"Aku tak tahu harus memulai dari mana, tapi ini soal sesuatu yang sangat penting... dan aku hanya bisa mempercayaimu."
"Penting? Ryuji-kun, bicaralah aku akan membantumu."
Ryuji berhenti sejenak, menatap Miyuki dengan tatapan mata yang serius. "Sebenarnya, aku merasa sedikit terjebak. Aku menyukai mereka berempat, dan aku tidak tahu bagaimana harus memilih. Aku tidak ingin melukai perasaan siapa pun di antara mereka."
Miyuki merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Kejujuran dalam suara Ryuji menggetarkan hatinya. Namun, di sisi lain, ia juga merasakan rasa sakit yang tajam.
Ryuji melanjutkan, "Aku tahu ini tidak adil. Aku menyadari kalau aku sudah membuat situasi ini lebih rumit, tapi aku... aku butuh bantuan kamu... Miyuki-chan, aku harus bagaimana? Aku ingin kamu yang memberi saran, karena aku tahu kamu akan melihatnya dengan lebih objektif."
Miyuki mengalihkan pandangannya sejenak, mencari keberanian untuk berbicara. "Ryuji-kun, aku... aku tahu betapa sulitnya posisi kamu," ucapnya dengan suara yang sedikit gemetar. "Tapi, kamu harus ingat, perasaan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Kalau kamu merasa terjebak di antara mereka, mungkin kamu harus lebih jujur pada dirimu sendiri terlebih dahulu."
Ryuji menatapnya dengan penuh harap, seolah-olah jawaban Miyuki adalah kunci yang bisa membebaskan dirinya dari kebingungannya. "Tapi bagaimana kalau aku malah menyakiti mereka?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Miyuki menarik napas panjang, berusaha menjaga ketenangan meskipun, ia sangat sedih.
"Kadang, memilih bukan berarti menyakiti, Ryuji-kun. Itu hanya berarti kamu lebih jujur pada perasaanmu. Jika kamu terus-menerus menunda-nunda atau bertindak seolah-olah tidak ada yang salah, semuanya akan semakin membingungkan. Mereka semua, mereka akan lebih baik mengetahui yang sebenarnya dari kamu, daripada menebak-nebak dan terluka lebih dalam."
Ryuji terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan Miyuki. "Aku tahu itu... tapi bagaimana kalau aku memilih mereka semua? Aku tidak bisa memilih hanya satu di antara mereka, aku ingin mereka semua menjadi pacarku. Aku merasa seperti aku bisa bahagia dengan mereka berempat," katanya, suaranya terdengar lebih bimbang.
Miyuki terkejut mendengar pernyataan itu. Miyuki tak bisa menyembunyikan ekspresi bingung di wajahnya. "Ryuji-kun... kamu tidak bisa memaksa perasaan orang lain. Apa kamu benar-benar yakin bisa membuat mereka semua bahagia dalam situasi seperti itu?" tanya Miyuki, mencoba untuk berbicara dengan hati-hati.
Ryuji menggelengkan kepala, wajahnya terlihat cemas. "Aku tidak ingin melukai siapa pun. Aku ingin mereka semua merasakan hal yang sama tentangku. Aku tahu ini terdengar konyol, tapi aku benar-benar merasa bisa bahagia dengan mereka semua."
Miyuki merasakan hati yang semakin berat. "Ryuji-kun... perasaan itu rumit... kamu tidak bisa memaksakan orang lain untuk menerima apa yang kamu inginkan. Mungkin mereka akan merasa bingung atau terluka... kamu harus memikirkan perasaan mereka juga."
Ryuji menunduk, wajahnya terlihat penuh kebingungan dan keraguan. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan... Aku takut kehilangan mereka semua."
Miyuki menatap kosong pada Ryuji.
"... kamu harus memilih untuk menjaga perasaanmu sendiri dan juga mereka yang kamu sayangi ... semuanya akan semakin rumit, dan akhirnya, kamu mungkin akan kehilangan lebih banyak dari yang kamu harapkan."
Ryuji terdiam, matanya menunjukkan kegelisahan. "... aku benar-benar merasa bisa bahagia dengan mereka semua. Aku ingin bisa bersama mereka semua, Miyuki-chan."
Miyuki menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan perasaan yang hampir hancur. "Aku... aku mengerti perasaanmu, Ryuji-kun ... mungkin, mungkin yang terbaik adalah berbicara dengan mereka semua, jujur tentang apa yang kamu rasakan. Hanya dengan cara itu, kamu bisa tahu apakah mereka akan menerimanya..."
Ryuji mengangguk perlahan, meskipun ia tampak ragu. "Aku akan coba bicara dengan mereka... Walaupun, ini tidak akan mudah."
Miyuki merasa campuran antara sedih dan sakit hati. "Aku harap semuanya berjalan baik untukmu, Ryuji-kun. Jangan terburu-buru, dan pastikan kamu memikirkan perasaan mereka dengan baik."
Dengan berat hati, Miyuki melangkah mundur perlahan. "Aku harus pergi sekarang," katanya, suaranya hampir tak terdengar. "Semoga semuanya berjalan baik untukmu."
Miyuki berjalan menjauh, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Hatinya terasa terjerat oleh perasaan yang tak bisa diungkapkan, dan rasanya begitu menyesakkan, dadanya terasa ngilu.
Miyuki berhenti sejenak di tengah langkahnya, merasakan air mata yang mengalir deras di pipinya. Dengan gemetar, ia mencoba menghapusnya, namun semakin ia usap, semakin banyak yang jatuh.
"Kenapa... kenapa harus seperti ini?" tangis Miyuki, suaranya hampir terpecah. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan diri, namun air mata yang jatuh semakin sulit dihentikan. "Aku... aku..."
Dia menatap tanah, seolah mencoba mencari jawabannya di sana, tapi semakin ia berusaha, semakin sulit untuk berhenti menangis.