Hari itu berjalan lebih lambat dari biasanya bagi Haruto. Kata-kata Himari di lorong sekolah terus terngiang di pikiran. Ada sesuatu yang terasa ganjil—seolah Himari mencoba menahan sesuatu yang lebih besar di balik kontrak mereka.
Di kelas, Himari kembali ke kegembiraan yang biasa: tersenyum, berbicara dengan semua orang, dan menunjukkan sisi dirinya yang tampak sempurna. Namun, setiap kali Haruto melihatnya, ia merasa ada jarak yang tak terlihat di antara mereka.
---
Sore hari, di Taman Sekolah
Seperti biasa, Himari dan Haruto bertemu di taman untuk makan siang bersama. Himari membawa bekalnya yang selalu dihias rapi, sementara Haruto hanya membawa roti yang ia beli di kantin.
"Hari ini agak sepi ya," komentar Himari sambil membuka kotaknya.
Haruto hanya mengangguk, tapi dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Himari, aku penasaran... apa sebenarnya yang kau maksud waktu itu? Tentang Reina tidak akan mengerti?"
Himari sejenak terdiam, berhenti memegang sumpit. Ia menatap Haruto, matanya sedikit melembut.
"Reina adalah teman baikku," jawabnya pelan. "Tapi dia terlalu melindungiku. Dia selalu ingin aku menjalani hidup dengan cara yang... sempurna. Aku tahu dia bermaksud baik, tapi terkadang-kadang itu terlalu berat."
Haruto mengangguk pelan. Ia bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup di bawah tekanan ekspektasi yang tinggi, terutama sebagai seseorang yang selalu menjadi pusat perhatian seperti Himari.
"Tapi kenapa aku?" Haruto akhirnya bertanya. "Kenapa kau memilihku untuk semua ini?"
Himari tersenyum kecil, tapi senyumannya terasa sedikit pahit. "Karena kau berbeda. Kau tidak mencoba mendekatiku karena aku Himari yang populer. Kau hanya... kau hanya jadi dirimu sendiri. Itu sesuatu yang langka."
Kata-kata itu membuat Haruto teringat. Ia tidak tahu harus merasa senang atau bingung.
---
Malamnya, di Rumah Haruto
Haruto duduk di meja belajarnya, mencoba menyelesaikan PR, tetapi pikirannya terus melayang ke percakapan tadi siang. Ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar hubungan palsu ini, sesuatu yang Himari belum siap untuk diungkapkan.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Himari muncul di layar.
"Haruto, besok aku ingin mengajakmu ke tempat yang spesial. Bisa?"
Haruto mengetikkan balasannya dengan cepat.
"Tentu. Tapi ke mana?"
Jawaban Himari datang beberapa detik kemudian.
"Kau akan tahu besok. Ini rahasia."
Pesan itu membuat Haruto semakin penasaran. Apa yang sebenarnya Himari sembunyikan darinya?
---
Keesokan harinya
Setelah jam sekolah selesai, Himari mengajak Haruto pergi ke sebuah tempat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya: sebuah rumah kecil di pinggir kota, dikelilingi oleh kebun bunga yang terawat dengan baik.
"Ini tempat apa?" tanya Haruto, bingung.
Himari tersenyum kecil. "Ini rumah nenekku. Tapi sekarang sudah kosong. Aku sering datang ke sini untuk berpikir atau melukis."
Mereka masuk ke dalam rumah, yang meskipun sederhana, terasa hangat dan penuh kenangan. Himari mengarahkan Haruto ke sebuah ruang kecil di belakang rumah, tempat sebuah kanvas besar berdiri.
"Itu lukisan yang sebenarnya ingin aku selesaikan," kata Himari sambil menunjuk kanvas tersebut.
Haruto menatap lukisan itu. Berbeda dengan yang di ruang seni, lukisan ini penuh dengan warna cerah: langit biru, padang bunga, dan seorang gadis kecil yang memegang tangan seorang wanita tua.
"Itu kamu?" Haruto bertanya sambil menunjuk gadis kecil dalam lukisan.
Himari mengangguk. "Dan itu nenekku. Dia adalah orang yang selalu mendukungku untuk menjadi diriku sendiri. Tapi sekarang dia sudah tidak ada."
Ada nada melankolis dalam suara Himari, sesuatu yang membuat Haruto merasa ingin melindunginya.
"Jadi, apa dasarnya dengan hubungan palsu kita?" Haruto bertanya.
Himari sejenak sebelum menjawab. "Aku merasa kehilangan arah setelah dia pergi. Semua orang punya harapan tinggi terhadapku, tapi aku merasa tidak ada yang benar-benar peduli apa yang aku inginkan. Dengan hubungan ini... aku ingin membuktikan bahwa aku bisa memilih sesuatu untuk diriku sendiri. Meski begitu hanya sekali."
Kata-kata itu menusuk hati Haruto. Ia menyadari bahwa Himari bukanlah gadis sempurna seperti yang dilihat semua orang. Ia adalah seseorang yang berjuang untuk menemukan dirinya di tengah tekanan dan ekspektasi.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa membantu," kata Haruto pelan. "Tetapi jika itu yang kau perlukan, aku akan tetap berada di sini."
Himari tersenyum, tetapi matanya sedikit berkaca-kaca. "Terima kasih, Haruto. Kau tidak tahu betapa berartinya itu untukku."
---
Setelah Himari menceritakan tentang neneknya, suasana di ruangan itu menjadi hening. Hanya suara angin lembut dari luar jendela yang terdengar. Haruto berdiri di depan kanvas besar itu, merenungkan cerita Himari. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup dalam tekanan seperti itu—selalu dituntut sempurna, tapi merasa kehilangan arah di dalam hati.
"Kau tahu," kata Himari akhirnya, memecah keheningan. "Aku ingin menyelesaikan lukisan ini, tapi... setiap kali aku mencoba, aku merasa tidak bisa menangkap perasaan yang tepat."
"Perasaan?" tanya Haruto, menoleh padanya.
Himari mengangguk, lalu duduk di bangku kecil di depan kanvas. "Aku ingin menggambarkan perasaan bahagia yang nenekku berikan padaku. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku merasa jauh dari perasaan itu. Seolah-olah aku sudah melupakannya."
Haruto terdiam, memandang Himari yang tampak rapuh. Ini adalah sisi Himari yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, bahkan tidak pernah ia bayangkan.
"Bagaimana kalau kau tidak mencoba mengingatnya?" Haruto bertanya tiba-tiba.
Himari mengangkat wajahnya, terlihat bingung. "Apa maksudmu?"
"Mungkin," Haruto melanjutkan, "kau tidak perlu mengingat seperti apa rasanya. Kau hanya perlu melukis apa yang kau rasakan sekarang. Mungkin itu akan lebih jujur."
Himari memandang Haruto dengan mata yang penuh pertimbangan. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar memahami dirinya, bahkan lebih dari yang ia harapkan.
---
Beberapa Hari Kemudian
Himari mulai meluangkan lebih banyak waktu di rumah neneknya, mencoba melukis tanpa beban. Haruto sering menemaninya, meskipun ia tidak bisa banyak membantu. Ia hanya duduk di sudut ruangan, membaca buku atau mengerjakan tugas sambil sesekali melirik Himari yang sibuk dengan kuas dan catnya.
Setiap kali Haruto melihat Himari melukis, ia merasa ada sesuatu yang berubah. Himari yang biasanya tenang dan terkendali kini terlihat lebih bebas, lebih hidup.
Namun, tidak semua orang menyukai perubahan ini.
---
Di Sekolah
Reina, yang selalu menjadi teman terdekat Himari, mulai menunjukkan sikap berbeda. Ia menjadi lebih sering mengamati Himari, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kau sering terlihat pergi dengan Haruto akhir-akhir ini," kata Reina saat istirahat makan siang.
Himari tersenyum, seperti biasa. "Ya, aku hanya merasa nyaman bersamanya."
"Nyaman?" Reina mengangkat alis. "Kau tahu, Himari, kau biasanya tidak membiarkan orang masuk ke dalam duniamu begitu mudah."
Himari meletakkan sumpitnya, menatap Reina dengan lembut tapi tegas. "Reina, aku tahu kau peduli padaku. Tapi ini adalah keputusanku. Haruto... dia tidak seperti orang lain."
Reina tampak tidak puas dengan jawaban itu, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Namun, Haruto yang kebetulan mendengar percakapan itu dari jauh merasa ada sesuatu yang mengganjal.
---
Sore Hari, di Rumah Nenek Himari
Saat mereka kembali ke rumah nenek Himari, suasana terasa lebih tenang. Himari melanjutkan melukis, sementara Haruto duduk di dekat jendela, memandang matahari yang perlahan tenggelam di balik pepohonan.
"Himari," kata Haruto tiba-tiba.
"Hm?" Himari menoleh, masih memegang kuas di tangannya.
"Apa kau pernah merasa... takut kalau orang-orang akan meninggalkanmu jika mereka tahu siapa dirimu sebenarnya?"
Himari terdiam. Pertanyaan itu menyerang langsung ke pusat hatinya. Ia meletakkan kuasnya dan berbalik menatap Haruto.
"Aku merasa begitu setiap saat," jawabnya pelan. "Itulah kenapa aku selalu berusaha menjadi Himari yang sempurna. Tapi... di saat yang sama, aku merasa lelah."
Haruto mengangguk, memahami perasaannya. "Kau tidak perlu menjadi sempurna untuk semua orang. Mungkin... kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri untuk orang yang benar-benar peduli."
Himari tertegun mendengar kata-kata itu. Ia tidak menjawab, tetapi ada kehangatan yang muncul di hatinya—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
---
Malam Itu
Himari akhirnya menyelesaikan sebagian besar lukisan itu. Haruto memandangnya dengan takjub. Lukisan itu terlihat hidup, penuh dengan warna-warna cerah yang mencerminkan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
"Ini luar biasa," kata Haruto.
Himari tersenyum, tetapi ada keraguan di matanya. "Tapi... aku masih merasa ada yang kurang."
"Apa?"
Himari tidak menjawab. Ia hanya menatap lukisan itu dengan dalam, seolah mencari sesuatu yang hilang.
---