Aoi Haruto menghela nafas panjang sambil memandang ke luar jendela kelas. Langit sore yang cerah membuatnya ingin cepat-cepat pulang dan tenggelam dalam dunia game favoritnya. Lonceng terakhir hari itu akhirnya berbunyi, membawa gelombang kebebasan bagi para siswa.
Namun, seperti biasa, Haruto tidak terburu-buru keluar. Ia menyukai ketenangan setelah kelas bubar, ketika lorong mulai kosong dan hanya terdengar suara langkah sepatu yang memudar.
Saat melewati lorong menuju pintu keluar, sebuah suara menarik perhatiannya.
"Ah... Kenapa susah sekali mengangkat ini?! Awas jatuh!"
Haruto menghentikan langkahnya dan melirik ke arah sumber suara. Itu berasal dari ruang seni, yang seharusnya sudah kosong. Rasa penasaran mendorongnya untuk mengintip ke dalam.
Di sana, berdiri Ayaka Himari, gadis teladan sekolah yang selalu terlihat sempurna. Rambut cokelat panjangnya biasanya terurai rapi, tapi kini sedikit berantakan. Dia sedang berusaha keras memindahkan sebuah kanvas besar sendirian. Haruto menutup kepalanya.
"Kenapa dia tidak meminta bantuan orang lain?" gumamnya.
Himari tiba-tiba mendongak, matanya yang jernih bertemu dengan Haruto. Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap.
"Apa yang kamu lakukan di sana?!" seru Himari, terdengar lebih panik daripada marah.
"Uh, cuma lewat," jawab Haruto, mengangkat bahu.
"Kalau cuma lewat, tolong bantu aku!"
Haruto terkejut dengan nada Himari. Biasanya dia terkenal lembut dan anggun, tapi kini terdengar seperti seorang kapten yang memerintah anak buahnya. Tanpa banyak pilihan, Haruto masuk ke ruangan itu dan mendekatinya.
"Kenapa nggak minta bantuan temanmu?" tanya Haruto sambil mengangkat kanvas itu bersama-sama.
"Karena mereka sudah pulang! Dan... aku tidak mau mereka tahu aku—Awas! Hati-hati!"
Terlambat. Langkah mereka tidak tenggelam, dan kanvas itu terlepas dari tangan Haruto, menghantam lantai dengan suara keras. Sebuah ember kecil berisi kucing yang membusuk serta tumpah, meninggalkan noda besar di lantai kayu.
Himari menceritakan bencana kecil itu dengan wajah pucat. "Kalau ini sampai diketahui, aku tamat..."
Haruto menggaruk kepalanya. "Ya, tapi bukannya ini salah kamu juga karena—"
"Sshh! Jangan salahkan aku!" Himari memotongnya dengan cepat. Matanya memelotot tajam, tapi ada nada panik di suaranya. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
"Dengar," katanya, suaranya kini lebih pelan. "Tolong bantu aku bersihkan ini, dan... jangan bilang siapa-siapa soal ini."
Haruto terdiam, menatap Himari. Ada sesuatu dalam ekspresi—campuran rasa malu dan frustrasi—yang membuatnya sepakat tanpa berpikir panjang.
"Baiklah, tapi kalau aku terlambat main game gara-gara ini, aku tagih bayarannya."