Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Menjadi Puncak

🇮🇩pengarangtulen
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
223
Views
Synopsis
Di sudut pesisir kota yang penuh kekacauan, berdiri SMA Garuda—sebuah arena pertempuran yang menjadi cerminan kerasnya dunia luar. Kota ini dikenal dengan jalanan sempit yang penuh graffiti, bangunan tua yang menyimpan cerita kelam, dan hiruk-pikuk kehidupan yang memuja kekuatan. Di sini, hukum rimba tak hanya hidup di lorong sekolah, tetapi juga meresap ke setiap sudut kota, memaksa setiap orang untuk bertahan atau hancur. Ray, seorang siswa baru yang membawa masa lalu penuh misteri, tiba di SMA Garuda dengan sikap tenang yang hampir apatis. Ia memulai harinya dengan tertidur di rooftop sekolah, mengabaikan hiruk-pikuk di bawahnya. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah perkelahian yang tak terhindarkan mengubah semuanya, memaksa Ray menunjukkan kekuatan yang selama ini ia sembunyikan. Di tengah kota yang tak kenal belas kasih, Ray bertemu Rony, seorang siswa yang kelak menjadi sahabat sekaligus pengingat bahwa bahkan di dunia yang keras, loyalitas masih memiliki tempat. Bersama Rony, Ray menghadapi konflik geng, kericuhan sekolah, dan dilema pribadi yang mengguncang prinsip hidupnya. "Menjadi Puncak" adalah perjalanan tentang menemukan jati diri di tengah kekacauan, mempertahankan kehormatan di dunia yang memuja kekuatan, dan memahami bahwa puncak kekuasaan sering kali bukanlah tempat tertinggi untuk mencari kedamaian. © Seluruh Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Kedatangan Ray

Pagi itu, angin sepoi-sepoi yang berhembus memberikan suasana sedikit tenang, meskipun jauh dari kata damai. Dari kejauhan, sebuah gedung sekolah tampak tegak berdiri di antara gedung-gedung kota yang lebih megah. Bangunan tua itu lebih terlihat seperti peninggalan masa lalu yang tak terjamah, dengan dinding yang mengelupas, jendela besar yang dipenuhi debu, dan atap yang penuh bekas kebocoran. Tak ada kebahagiaan yang bisa ditemukan di sini, hanya tempat bagi mereka yang cukup kuat untuk bertahan hidup.

Di tengah bangunan itu, tampak sebuah plang nama yang sudah tidak lagi jelas. Huruf-huruf yang terukir di sana, dulunya mungkin mencolok dan tegas, namun kini tampak pudar dan buram. Cat yang sudah memudar hampir sepenuhnya, memberi kesan bahwa tulisan itu sudah lama terlupakan. Beberapa huruf bahkan hilang separuhnya, dan yang tersisa hanya coretan-coretan yang sulit dibaca. Plang itu bertuliskan "SMA Garuda", yang dulu mungkin penuh kebanggaan kini hanya menjadi simbol yang usang dan terlupakan, seperti sekolah itu sendiri—yang tak peduli dengan reputasi pendidikan, yang tercoreng dengan waktu yang terus berjalan.

Sekolah itu, meskipun masih disebut sebagai SMA, tapi lebih mirip dengan tempat pertempuran, tempat berkumpulnya remaja-remaja nakal yang mengandalkan kekuatan fisik untuk membuktikan siapa yang paling berkuasa. Di SMA ini, bukan nilai ujian atau kepandaian yang menjadi patokan. Tapi semua ditentukan oleh kekuatan tangan dan kemampuan bertarung. Kehormatan dan kekuasaan datang dari kemenangan, bukan dari hasil ujian akhir.

Saat seseorang tiba di gerbang sekolah ini, yang pertama kali terlihat bukanlah plang nama yang mencolok, melainkan gerbang besar yang dipenuhi grafiti dan coretan tak bertanggung jawab. Di setiap sudutnya, suara riuh dari pertarungan kecil atau cekcok antar siswa sudah terasa, meski matahari baru saja terbit. Ini adalah dunia yang keras, tempat di mana siapa pun yang lemah akan langsung jatuh.

Lalu, di atas rooftop sekolah, terbaringlah seorang siswa dengan seragam jas almamater terbuka berwarna hitam yang terlihat masih baru. Tubuhnya terkulai lemah di atas bangku panjang, seakan tak peduli dengan suara-suara riuh dari bawah. Matanya terpejam, dan napasnya pelan, hampir tak terdengar. Tentu saja, tiduran di sini adalah hal yang perlu dilakukan jika ingin menghindari hiruk-pikuk yang tak berkesudahan di bawah. Pagi ini, seperti biasa, tempat ini adalah satu-satunya ruang yang terasa aman. Dari atas sini, dunia bawah tampak lebih jauh, dan rasa lelah bisa sedikit terlupakan.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, bangku tempat ia terbaring mulai berguncang. Suara keras menyusul, membangunkan siswa itu dari tiduran panjangnya. Ternyata mereka adalah tiga siswa lain yang sedang berdiri di sekitarnya, mengenakan seragam yang sama persis, menatapnya dengan tatapan yang penuh tantangan. Salah satu dari mereka menggoyangkan bangku dengan kasar.

"Oi, bangun!" teriak salah satu dari mereka. Namun, siswa itu hanya membuka matanya sedikit, memandang mereka tanpa banyak ekspresi, lalu menutup kembali matanya. Seolah tidak ada yang penting, seolah tak ada yang bisa mengganggunya.

"Bangun!" Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Satu siswa yang bertubuh besar mendekat, menarik kerah baju siswa itu dengan kasar, mencoba membangunkannya dengan cara paksa.

Dengan sedikit gerakan, siswa itu akhirnya bangkit dari bangkunya. Perlahan ia duduk, menatap mereka satu per satu dengan mata yang masih mengantuk. Tak ada tanda-tanda bahwa ia takut atau akan mundur.

"Kenapa? Ada masalah?" Suara siswa itu terdengar tenang, meski ada ketegangan yang bisa dirasakan di udara.

Siswa bertubuh besar itu tersenyum sinis. "Masalah? Masalahnya kau tidur di sini! Minggir kau!" katanya dengan nada menantang. "Kau pikir ini tempat tidurmu?"

Siswa itu hanya melirik ke mereka sejenak, tanpa ekspresi, seolah apa yang terjadi di sekitarnya tidak lebih penting dari desiran angin. Dengan satu gerakan cepat, dia menendang siswa besar itu hingga terjatuh ke lantai dengan keras. Dua teman lainnya hanya bisa terdiam sesaat, kebingungan, sebelum mereka mencoba menyerang. Namun, siswa itu bergerak begitu cepat, seperti bayangan, menghindari serangan mereka dengan mudah dan membalasnya tanpa ampun. Dalam hitungan detik, kedua siswa itu pun terhuyung mundur, jatuh tersungkur, kesakitan.

Beberapa detik berlalu, dan keheningan kembali menyelimuti rooftop. Siswa itu berdiri, menatap sekilas ke arah mereka yang tergeletak di lantai, namun tak ada sedikit pun perubahan ekspresi di wajahnya. "Selesaikan urusanmu di tempat lain," katanya dengan nada datar, seakan kalimat itu tak lebih dari sebuah pengingat singkat. Tanpa menunggu respons, dia kembali berbaring di bangku panjang, memejamkan matanya, seolah kejadian itu tak pernah terjadi, seolah dunia ini tak menawarkan lebih dari gangguan sepele yang harus segera dilupakan.

Suasana kembali hening setelah perkelahian itu berakhir. Tak ada yang berani mendekat. Ketiga siswa yang kembali bangkit hanya bisa mundur, merasa kalah sebelum bertarung. Siswa itu terbaring kembali di bangku panjang, tubuhnya lelah, namun ekspresinya datar, seolah tak ada yang menarik perhatian.

Namun, kegaduhan di sekitar tak pernah berhenti. Di lorong-lorong kelas, suara teriakan dan pukulan masih terdengar. Suara-suara itu datang dari para siswa yang saling bertarung, bertarung untuk membuktikan siapa yang paling berkuasa, siapa yang paling kuat. Di setiap sudut kelas, keributan tak pernah berhenti. Begitu biasa, begitu tak terhindarkan, seakan itu adalah irama yang mengiringi setiap langkah mereka.

Siswa itu terbangun dari tiduran panjangnya di rooftop. Angin sepoi-sepoi yang sempat menenangkan kini berganti dengan suara bising yang menghampirinya, menariknya kembali ke kenyataan. Matanya yang semula terpejam kini terbuka perlahan, menatap sekelilingnya yang penuh dengan suara dan kekacauan. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan ketegangan yang masih ada di udara meski ia telah jauh dari keramaian. Dengan perasaan kosong, ia bangkit dari bangku panjang itu, merapikan jas almamater yang sedikit kusut, dan mulai melangkah turun dari rooftop.

Langkahnya mantap dan tidak terburu-buru, gayanya begitu tenang sambil memasukkan kedua tangganya ke dalam saku celana, seakan setiap gerakannya sudah diatur oleh takdir yang tak dapat dihindari. Saat ia melintasi lorong-lorong sekolah, suara berisik dari perkelahian yang masih berlangsung di sekitar kelas tidak cukup menggoyahkan ketenangannya. Satu per satu, para siswa yang saling bertarung tampak seakan tidak ada yang mengenal batas. Namun, bagi pemuda itu, semua itu hanya kericuhan belaka, gangguan yang tak layak untuk diperhatikan.

Di depan ruang kelas, dua siswa sedang berhadapan, saling mengancam satu sama lain. Satu di antaranya tampak lebih besar, sementara yang lain tampak gesit dan lincah. Mereka saling bertukar kata-kata kasar, sampai akhirnya salah satu dari mereka mendorong lawannya.

"Berani lari?" bentak salah satu dari mereka.

"Lari? Kalah dulu baru ngomong!" balas lawannya sambil meluncurkan pukulan ke wajah.

Suara keras terdengar ketika kedua tangan saling berbenturan, lalu yang lebih besar itu menjatuhkan tubuh lawannya ke lantai. Keributan semakin memanas, siswa lain ikut serta dengan sorakan. "Lawan balik! Jangan kasih kendor!" teriak salah satu siswa yang menyaksikan.

Siswa itu terus berjalan melewati keributan tanpa memperlihatkan rasa terkejut. Seolah semua itu sudah biasa untuknya.

Namun, di sebuah kelas, keributan yang lebih besar terjadi. Pintu kelas terbuka, dan dua geng besar saling menyerang dengan tangan kosong. Pukul memukul tak terhindarkan, sementara suara bentakan dan teriakan memenuhi udara. Sisws itu melintas, tak menghiraukan semua itu. Beberapa siswa bahkan memandangnya dengan rasa takut, tetapi dia tetap tak peduli.

Di sebuah sudut kelas, seorang siswa dengan wajah penuh luka memegangi tubuhnya yang terjatuh, namun tetap berusaha untuk bangkit. "Ini belum selesai!" teriaknya, menunjuk seorang siswa dari geng lawan.

Siswa itu akhirnya sampai di ujung lorong, hanya menghela napas panjang. Melihat kekacauan yang terus berlanjut di sekolah yang lebih mirip markas preman remaja, dia hanya bisa berpikir, "Ini hanya permulaan." Karena di dunia ini, hanya mereka yang cukup kuat yang bisa bertahan. Dunia ini, tempat di mana hanya yang berani dan tangguh yang bisa hidup, tak ada ruang untuk mereka yang lemah.

Setelah meninggalkan lorong-lorong gaduh, pemuda itu berjalan keluar dari gerbang yang sebagian sudah karatan. Angin pesisir bertiup lembut, membawa udara dingin yang menyegarkan. Dengan langkah santai, dia menyusuri jalan-jalan kecil di sekitar sekolah. Bukannya pulang untuk menghindari hiruk-pikuk, dia malah memilih untuk berjalan tanpa arah, seakan mencari tempat yang lebih tenang untuk melepas penat. Matanya sesekali menatap ke kejauhan, mencoba menemukan sudut yang cocok untuk berdiam, jauh dari kegaduhan dunia yang baru saja ia tinggalkan.

Hingga akhirnya, dia tiba di sebuah warung kelontong kecil di belakang sekolah. Warung itu tampak sederhana, hampir kumuh, dengan meja dan bangku kayu yang sudah mulai lapuk serta atap seng yang berderit tertiup angin, namun halamannya cukup luas untuk orang berkumpul. Tempat itu sepi, hanya ada satu sosok laki-laki yang duduk di pojok. Dia mengenakan seragam yang sama—seragam SMA Garuda yang khas dengan jas almamaternya berwarna hitam. Postur tubuhnya ramping, namun ada sesuatu tentang cara dia duduk yang terlihat santai, seperti orang yang sudah lama akrab dengan tempat itu. Dan wajahnya… sesuatu tentang wajah itu membuat langkahnya terhenti sejenak. Ada rasa familier yang menusuk ingatannya, tetapi juga kebingungan yang membuat alisnya berkerut. "Tidak mungkin," pikirnya. "Dia?" Namun, semakin dia menatap, semakin jelas bahwa orang di depannya memang bukan sekadar bayangan dari masa lalu.

"Ray?" Sosok laki-laki yang terduduk itu tertegun, matanya melebar karena terkejut saat melihat siswa itu, seperti mengenal seseorang yang sudah lama tidak bertemu.

Siswa itu pun menatap balik dengan alis yang sedikit terangkat. "Rony?"

Keduanya membeku untuk beberapa saat, tak percaya dengan pertemuan itu. Kemudian, sebuah senyuman kecil muncul di wajah mereka, menggantikan rasa heran.

"Kau bercanda?" kata Rony, suaranya setengah tergelak, menepuk meja di depannya dengan keras. "Aku tidak salah lihat? Jadi, kau pindah ke sini juga?"

Ray mengangguk kecil, menarik kursi dan duduk di hadapannya. "Kebetulan," jawabnya datar, tapi ada sedikit nada geli di balik suaranya.

Rony menatapnya dengan pandangan penuh selidik. "Kebetulan?"

Ray menyeringai tipis. "Yah, begitulah. Tempat itu terlalu… normal. Tidak cocok denganku."

Rony terkekeh, menggelengkan kepala. "Kau memang tidak pernah berubah. Sejak SMP dulu, aku bahkan sudah tahu kalau kau tidak akan betah di tempat biasa. Padahal aku sempat berharap, kau bisa bertahan lebih lama di sana. Hahaha!"

Ray membungkuk sedikit, kedua lengannya bertumpu di atas meja kayu yang sudah mulai lapuk. Matanya menatap lurus ke depan, seolah mencari jawaban dari kekosongan di hadapannya. "Aku sudah mencoba, Rony. Tapi kau tahu aku buruk dalam akademik. Itu bukan duniaku."

"Kukira begitu." Rony menatap temannya dengan ekspresi serius. "Tapi, Ray… tempat ini, SMA Garuda, jauh berbeda dari semua tempat yang pernah kita datangi. Di sini, kau tidak akan menemukan pengampunan kecuali kau mendapatkannya sendiri. Tidak ada guru, hanya ada aturan jalanan. Semua orang di sini… mereka lebih dari sekadar nakal. Ada yang pernah berurusan dengan polisi, ada yang hidupnya hanya soal kekerasan. Kau siap untuk ini?"

Meski sudah mendengar pernyataan Rony, Ray masih tetap dengan wajah tenang, tatapannya tidak menunjukkan rasa takut sama sekali. "Aku sudah bertemu beberapa dari mereka. Tidak ada yang menakutkan."

Rony menghela napas panjang, lalu menatap Ray dengan lebih serius. "Kau mungkin kuat, Ray. Aku tahu itu sejak kita masih SMP. Tapi tempat ini bukan soal siapa yang paling kuat. Ini soal siapa yang bertahan hidup lebih lama."

Ray tersenyum tipis, tapi kali ini terlukis keyakinan di wajahnya. "Maka aku akan bertahan, Rony. Aku akan taklukkan tempat ini. Pemangsa Langit, bukan?"

Rony tertegun mendengar kata-kata itu. Julukan yang hanya diketahui oleh mereka yang mengenal SMA Garuda dengan baik. "Kau tahu tentang nama itu?"

"Cukup untuk membuatku tertarik," jawab Ray. "Sekolah ini adalah tantangan. Aku tidak sabar untuk menghadapinya."

Rony terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Kau benar-benar gila, Ray. Tapi setidaknya, aku senang kau ada di sini."

Mereka melanjutkan obrolan, membicarakan banyak hal tentang masa lalu mereka di SMP dan kehidupan di SMA Garuda. Meski tempat itu keras, ada rasa nostalgia yang membuat pertemuan itu terasa hangat. Bagi Rony, bertemu Ray adalah sebuah pengingat bahwa meski kerasnya dunia di SMA Garuda, dia tidak sendirian.

Dan bagi Ray, pertemuan itu hanya menambah tekadnya untuk menjadi seseorang yang meninggalkan jejak kuat di tempat ini. Pemangsa Langit. Dia akan memastikan namanya dikenal di tempat ini, baik dengan hormat atau takut.

Setelah percakapan mereka selesai, Ray berdiri, menatap ke arah gedung sekolah yang tampak tidak begitu jauh. Matanya menyipit, mengamati gedung tua dengan cat yang mengelupas dan kaca jendela yang retak. Di bawah langit yang mulai berubah jingga, SMA Garuda tampak seperti benteng yang keras dan tidak ramah, penuh dengan bayang-bayang kekerasan dan ambisi. Dinding-dinding sekolah dipenuhi coretan grafiti dengan berbagai simbol dan kata-kata kasar, seolah menegaskan identitas tempat itu sebagai sarang kekacauan. Bahkan di tengah keheningan sore, suasana sekolah itu tetap terasa suram dan menyeramkan, seperti sebuah arena yang siap menelan siapa saja yang masuk tanpa kesiapan.

Namun, sebelum ia benar-benar melangkah pergi, Ray menoleh kembali ke Rony yang masih duduk di depan warung, memegang gelas minumannya. "Rony," katanya dengan nada santai sambil menyeringai, "jangan terlalu kaget kalau tiba-tiba aku sudah jadi legenda di sini."

Rony menggelengkan kepala, setengah tertawa dan pasrah. "Legenda apanya? Jangan sampai malah kau yang jadi bahan candaan di sini, Ray. Itu lebih mungkin."

Ray membalas tawa Rony, lalu mulai berjalan pergi. Tapi sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, dia berbalik, melambaikan tangan ke arah Rony dengan gaya yang dibuat-buat, lengkap dengan ekspresi wajah sok dramatis. "Aku akan menaklukkan dunia, Rony! Jangan lupa, kau orang pertama yang tahu!"

Rony mendengus, menahan tawa. "Ya, ya, sang Pemangsa Langit. Hati-hati, jangan jatuh saat memanjat."

Ray terus berjalan sambil tertawa kecil mendengar komentar Rony. Sikap santainya kembali berubah serius saat ia menatap ke arah SMA Garuda. Di kepalanya, ia tahu tempat ini bukan sekadar sekolah. Ini adalah arena. Tempat di mana kekuatan dan keberanian benar-benar diuji, bukan hanya dalam pertarungan fisik, tetapi juga dalam menjaga diri agar tetap berdiri di tengah badai.

Dia menarik napas dalam-dalam, seolah menyerap aroma tantangan yang membara di udara. Dalam benaknya, dia tahu satu hal yang pasti: dia tidak akan hanya bertahan di tempat ini. Dia akan membuat namanya dikenang. Menjadi seseorang yang tidak bisa diabaikan.

Dengan langkah mantap, dia meninggalkan warung itu, membiarkan pikirannya dipenuhi dengan strategi dan mimpi yang baru tumbuh. Di balik semua itu, ada satu tekad yang menguasainya: dunia ini mungkin keras, tapi dia lebih keras. Dunia ini mungkin kejam, tapi dia tidak akan kalah. Meski tak semua orang tahu siapa dia. Namun, satu hal yang pasti—di sini, di SMA Garuda, siapa yang kuat akan bertahan, dan siapa yang bertahan akan dikenang.