Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Uncrowned King Arslan

YAR
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
103
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1 : Penolakan dan kelangsungan hidup

Kerajaan Angrosia membentang di lanskap hijau, dinding batunya yang menjulang tinggi dan puncak-puncak kristalnya menjadi bukti dunia tempat sihir lebih dari sekadar hadiah—itu adalah sumber kekuatan. Di dalam istana kerajaan, seorang pangeran muda berdiri gemetar, matanya yang gelap terbelalak dengan campuran ketakutan dan harapan yang putus asa.

Arslan, yang baru berusia tujuh tahun, menyaksikan ayahnya, Raja Andrea, berdiri di hadapannya. Tubuh kekar sang raja menghasilkan bayangan yang mengesankan, aura magisnya berderak dengan energi yang terlihat yang membuat udara di sekitarnya berkilauan dan berdenyut. Andrew, saudara tiri Arslan, berdiri di samping ayah mereka, esensi magisnya sendiri menari seperti kilat biru di ujung jarinya.

"Kau lemah," suara Raja Andrea menggelegar, setiap kata merupakan pukulan telak bagi jiwa rapuh sang pangeran muda. "Seorang pangeran Angrosia harus memiliki kekuatan magis. Kau tidak memilikinya."

Istana menyaksikan dalam diam. Keluarga bangsawan yang dulu menghormati Ratu Elystia kini mengalihkan pandangan mereka, bisikan mereka merupakan arus bawah yang lembut berupa penghakiman dan penolakan. Ibu Arslan, yang cantik dan baik hati, telah meninggal beberapa bulan lalu—diracuni, meskipun tidak seorang pun berani mengatakan kebenaran dengan lantang. Ketidakhadirannya meninggalkan kekosongan yang tampaknya menelan seluruh pangeran muda itu.

"Ayah," Arslan berbicara, suaranya kecil tetapi penuh tekad, "Aku mungkin tidak memiliki sihir, tetapi aku bisa belajar. Aku bisa berguna bagi kerajaan."

Tawa Raja Andrea terdengar kejam dan tajam. "Berguna? Kau tidak lebih dari sekadar pengingat kelemahan. Seorang pangeran tanpa sihir bukanlah pangeran sama sekali."

Andrew melangkah maju, energi sihirnya berderak karena jijik. "Dia tidak pantas berada di sini," katanya, suaranya dingin dan klinis. "Dia akan membawa aib bagi nama keluarga kita."

Pukulan terakhir datang dengan cepat. Keputusan Raja Andrea bersifat mutlak. "Dengan ini kau diusir dari istana. Kau tidak akan menyandang nama kerajaan. Kau tidak akan mewarisi. Kau bukan apa-apa."

Para pelayan datang, tangan mereka kasar saat menyeret pangeran muda itu pergi. Arslan melihat sekilas gerakan—sosok yang berdiri dalam bayangan. Rory, selir raja yang manipulatif, memperhatikan dengan senyum penuh perhitungan yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada simpati.

Saat gerbang istana tertutup di belakangnya, Arslan mendapati dirinya sendirian di padang gurun luas yang mengelilingi kerajaan. Hutan menjadi rumah sejati pertamanya—tak kenal ampun, tetapi lebih ramah daripada aula dingin tempat ia dikurung.

Hari berganti minggu. Anak berusia tujuh tahun itu segera belajar bahwa bertahan hidup membutuhkan lebih dari sekadar kekuatan magis. Ia belajar mencari air dari batu yang tertutup lumut, mengenali buah beri yang bisa dimakan, membuat tempat berlindung sederhana dari ranting dan daun. Kecerdasannya, yang telah diabaikan di istana, menjadi senjata terhebatnya.

Di malam hari, ia akan mengingat ibunya. Ratu Elystia selalu mengatakan kepadanya bahwa kekuatan sejati datang dari pikiran, bukan dari manifestasi magis. "Perhatikan, dengarkan, pahami," katanya, menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan lembut. "Pengetahuan adalah kekuatan yang jauh lebih besar daripada mantra ajaib apa pun."

Kenangan itu menjadi penghiburnya, strateginya untuk bertahan hidup.

Bulan demi bulan berlalu. Arslan semakin kurus, semakin kuat, matanya menyimpan kebijaksanaan yang melampaui usianya. Hutan menjadi guru sekaligus tempat perlindungannya. Ia belajar bergerak tanpa suara, mengamati tanpa diketahui, berpikir beberapa langkah lebih maju dari potensi ancaman.

Tanpa ia sadari, takdir tengah mempersiapkannya untuk mengenalkan Thomas, sang kesatria yang akan mengubah segalanya. Seorang pelindung yang melihat nilai di mana orang lain hanya melihat kelemahan. Seorang mentor yang akan membantunya mengubah penolakannya menjadi jalan keadilan.

Saat angin musim dingin pertama mulai berbisik melalui pepohonan, Arslan duduk di dekat api unggun kecil, tangannya menghangat di dekat api unggun. Ia bukan lagi pangeran kecil yang ketakutan yang telah diusir. Ia telah menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda—seorang ahli strategi, seorang penyintas, kekuatan masa depan yang harus diperhitungkan.

Kerajaan Angrosia mungkin telah menolaknya, tetapi Arslan bersiap untuk membuat mereka mengingat namanya.

Perjalanan balas dendamnya, perjalanan keadilannya, perjalanan merebut kembali takdirnya, akan segera dimulai.