Duarr
Hujan deras, hingga suara petir terdengar kencang di malam itu. Sepasang suami istri tengah bertengkar layaknya orang kesetanan.
"Kau pikir aku tidak lelah? Aku juga lelah mas. Setiap hari, kau tidak pernah ada di rumah."
Tak ingin kalah dengan nada bicara sang istri. Dengan nada tinggi Liam berikan. "Aku bekerja di luar, dan tak pernah ada di rumah, itu karna kamu! Seorang istri yang selalu gila dengan pujian semua orang."
"Aku? Sekarang kamu mau nyalahin aku, Iyah? Kamu yang nggak pintar dan nggak pecus, dan aku yang kamu salahin?" Alana berteriak dengan sama kerasnya.
Pyarrr
Liam melempar vas bunga ke sembarang arah.
Mata Liam bak elang yang siap membunuh.
Disisi lain Alana tetap menatap mata sang suami dengan penuh keberanian. Tubuhnya bergetar hebat, akibat dari perdebatan nya tadi dengan Liam.
"Aku ingin cerai." Ucap Alana.
"Kalau itu mau mu, akan aku kabulkan."
Suami istri itu pun saling adu pandang. Meski hanya saling tatap menatap, akan tetapi, rasa pancaran rasa sakit dari sepasang suami istri itu begitu nampak.
*****
(Kejadian sebelumnya)
Cek klek
Suara pintu kamar terbuka.
"Kau mau berangkat kerja?" Liam bertanya sembari keluar dari kamar yang bersebelahan dengan Alana sang istri.
"Em."
Masih mengekor di belakang Alana, kini Liam pun mencoba untuk memecahkan keheningan kembali. "Besok aku ada urusan di luar kota, jadi aku nggak akan pulang ke rumah."
"Em."
Deru nafas Liam pun keluarkan. Bukan hanya satu kali ini saja Alana menjawab ucapannya dengan seadanya, Akan tetapi, hampir setiap hari Alana selalu bersikap acuh dengan Liam.
Menikah selama 2 tahun. Ternyata tak menjamin akan adanya kebahagiaan yang hakiki di dalam keluarga Liam dan Alana. Komunikasi yang buruk, saling curiga, bahkan adanya konflik setiap pagi yang terjadi antara suami istri itu.
"Alana!" Panggil Liam kembali.
Sontak Alana langsung menatap kearah Liam.
Seakan bibir Liam sangat Berhati-hati dalam bicara. "Kau tidak ingin belajar memasak?"
"Untuk apa? Kau tau aku sibuk kerja? Apa pembantu itu kurang melayanimu?"
Liam menatap lekat kearah sorot mata Alana. "Aku punya istri, tapi serasa tidak punya istri."
Dengan kasar Alana meraih kunci mobilnya dan menatap acuh pada Liam, sembari berkata. "Aku nggak ada waktu untuk debat sama kamu!"
Seakan tak ingin mendengar jawaban Liam, langkah kaki Alana pun beranjak begitu saja meninggalkan rumah.
Brakk
Alana menutup pintu rumahnya cukup keras.
Wanita paruh baya yang tak lain sang pembantu, serasa sudah terbiasa melihat pertengkaran majikan nya.
Pembantu itu pun melangkah kearah Liam. "Apa tuan ingin saya siapkan bekal?"
"Nggak perlu!" Jawab Liam dengan ketus.
Setelah mengatakan itu, Liam segera pergi untuk berangkat ke kantor.
*******
(Di kantor Alana)
Jam makan siang, Alana malah menghabiskan waktu itu di ruang istirahat khusus staff kantor.
Sembari menenggelamkan wajahnya kearah tangan yang ia tumpukan diatas meja. Alana terdiam lemas.
"Lo kenapa? Lesu amat."
Alana langsung mendongak kan kepala. "Nggak papa, cuman lagi nggak enak badan aja." Jawab Alana.
Teman kantor nya yang hampir menjadi tempat curhat Alana. Langsung bertanya seakan tak percaya akan ucapan sahabatnya itu. "Yakin?"
"Menurut lo gue bohong?"
"Nggak nutup kemungkinan sih."
Seketika Alana pun terdiam. Matanya menelisik kearah meja di depannya.
"Kalau ada masalah itu cerita, jangan di pendem sendiri." Ucap Kiran.
"Gue capek!"
Melihat temannya yang seperti sedang tidak baik-baik saja. Kiran mengusap punggung Alana dengan lembut. "Kalau capek istirahat." Sahut Kiran.
Perlahan air mata Alana keluar tanpa di minta. "Bukan fisik yang capek. Tapi hati ran, hati gue kerasa capek.....gue kayak ngejalanin rumah tangga sendiri, tau nggak sih?"
Tak ingin menyelak curahan hati temannya. Kiran mencoba diam untuk menjadi pendengar permasalahan sang sahabat.
"Selama dua tahun berumah tangga, nggak ada momen yang buat gue bahagia didalamnya. Mas Liam selalu pengen gue bisa masak, bisa ini, bisa itu, tapi dia nggak penah nanyak, keinginan gue itu apa?"
"Lo udah bicarain ini semua ke Liam?" Kiran bertanya, sambil menatap kearah Alana.
Alana menggeleng kan kepalanya.
"Itu yang salah." Imbuh kiran.
Raut wajah Alana mendadak ingin bertanya, apa kesalahan dirinya? Bukankah wajar jika istri ingin di tanya keinginannya?
Merasa faham dengan raut wajah Alana, kini Kiran langsung melanjutkan ucapannya kembali. "Lo salah dari awal. Hubungan, bisa rusak, itu karna kurangnya komunikasi."
Posisi duduk Alana ia atur senyaman mungkin. Mata yang tadinya menatap kelawan arah, kini ia khususkan untuk menatap langsung ke manik mata Kiran. "Lo belain mas Liam?"
"Nggak! Ngapain juga gue belain suami lo?"
"Terus?"
Hembusan nafas berat, Kiran keluarkan. "Alana, gue nggak belain siapa-siapa disini. Tapi yang gue bicarakin tentang sudut pandang gue ke elo yang nyikapi masalah nggak bener."
Memang dari awalnya Alana memang keras kepala. Hingga tak mudah memberi nasehat pada gadis itu dengan mudah.
Melihat itu, Kiran langsung angkat bicara kembali. "Sikap lo yang kayak gini juga salah."
"Emang gue ngapain?" Sambil memberi kan raut wajah kebingungan.
"Gue aja nggak suka di cuekin, apalagi suami lo."
Alana langsung terdiam. Seakan mengingat akan apa yang terjadi antara dirinya dan Liam tadi pagi.
"Gue cuman nggak.... " Ucapan Kiran terhenti.
Sambil menatap heran kearah Alana. karna melihat Alana yang beranjak dari tempat duduknya.
Tanpa menatap kearah lawan bicara, Alana berucap. "Gue mau balik kerja."
"Tapi kan gue belum selesai ngomong." Sahut Kiran.
Tak ada sahutan apapun dari Alana.
Kiran yang menatap kepergian temannya itu pun hanya mampu berdecak kesal. Sembari berguman pelan. "Dasar bandel, dibilangin mesti ngeyel duluan."
*******
(Di kantor Liam)
Di sisi lain, Liam tengah terfokus dengan berkas yang harus ia tandatangani.
Tok tok tok
Suara pintu ruangan nya pun terdengar.
"Iyah masuk!" Sahut Liam, dari dalam ruangan.
Sekertaris cantik dengan pakaian terbilang kurang bahan pun masuk kedalam ruangan Liam.
Tanpa menatap kearah lawan bicaranya sedikitpun, Liam berkata dengan cukup tegas. "Katakan!"
"Untuk jadwal besok yang bapak ingin kan sudah saya siapkan pak." Ucap sekertarist itu, sambil menyodorkan berkas jadwal yang Liam inginkan.
Tangan Liam meraih berkas itu. Sekejap matanya menelisik setiap jadwal yang akan ia lakukan besok.
Hampir 5 menit. Liam memeriksa berkas, tak lama ia pun langsung menyerahkan kembali berkas itu pada sekertaris nya. "Kamu atur ulang jadwal saya, buat saya ke luar kota 2 atau lebih dari seminggu."
"Apa?"
******