Seminggu kemudian setelah mereka saling kenal, Aoi mendapat undangan untuk menghadiri acara komunitas yang diselenggarakan di pusat kota. Itu adalah acara yang diperuntukkan bagi orang-orang dengan kebutuhan khusus seperti dirinya, tunarungu. Meski acara tersebut bertujuan untuk membawa orang-orang dengan pengalaman serupa bersama-sama, Aoi merasa cemas. Keramaian orang-orang yang berbicara dengan bahasa isyarat membuatnya merasa sedikit terasing, karena meski mereka sama, perasaan tidak tahu siapa yang bisa diajak bicara selalu ada.
Aoi tidak yakin apakah dia siap untuk berada di tengah banyak orang lagi. Ia merasa, meskipun berbicara dengan bahasa isyarat akan memudahkan, keraguan akan membuatnya merasa sangat sendirian. Ia memutuskan untuk pergi sendiri, tetapi saat Kenzi mendengar tentang acara tersebut, dia segera menawarkan diri untuk menemani Aoi.
"Aku bisa pergi bersamamu jika kamu merasa tidak nyaman. Aku bisa jadi temanmu di sana," kata Kenzi dengan bahasa isyarat, matanya penuh perhatian.
Aoi terdiam sesaat. Walaupun ia tahu Kenzi hanya berniat baik, Aoi merasa ragu. Ia tidak ingin terlalu bergantung pada orang lain, apalagi orang yang baru dikenalnya. "Aku bisa pergi sendiri," jawab Aoi dengan bahasa isyarat, matanya terlihat ragu namun penuh keyakinan. "Terima kasih, tapi aku ingin mencoba sendiri."
Kenzi mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Jika kamu berubah pikiran, aku di sini, Aoi. Jangan ragu untuk menghubungiku."
Aoi berterima kasih dengan senyuman yang lembut, dan pergi menuju acara tersebut tanpa didampingi Kenzi. Namun, setibanya di tempat acara, Aoi merasakan kegelisahan yang semakin besar. Keramaian orang-orang yang berbicara dengan bahasa isyarat membuatnya merasa sedikit terpinggirkan. Ia merasa canggung dan tidak tahu harus berbicara dengan siapa. Semua orang tampaknya sudah memiliki teman dan kelompok mereka masing-masing.
Namun, di tengah kerumunan itu, Aoi melihat Kenzi datang. Tanpa berkata apa-apa, Kenzi tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Aoi merasa lega meski dia tidak mengatakan apa-apa. Kenzi datang tanpa diminta, namun dengan cara yang begitu tulus.
"Aku datang untuk menemanimu," Kenzi berkata dengan bahasa isyarat, seolah menenangkan Aoi yang terlihat gelisah. "Kita bisa sama-sama."
Aoi mengangguk pelan, merasa dihargai. Namun di dalam hatinya, ia merasa sedikit bingung. Mengapa Kenzi begitu peduli padanya? Kenzi sudah tahu Aoi bisa pergi sendiri, tetapi tetap datang untuk menemani. Ini lebih dari sekadar belas kasihan. Ini lebih seperti perhatian yang tulus, yang selama ini jarang ia rasakan.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama. Kenzi memperkenalkan Aoi pada beberapa orang di acara tersebut, namun lebih dari itu, ia selalu ada untuk membantu Aoi merasa lebih nyaman. Walaupun mereka tidak berbicara banyak, Aoi mulai merasakan bahwa ia tidak sendirian, dan itu membuat dunia tanpa suara terasa lebih cerah.
Saat acara berakhir dan mereka berjalan kembali ke rumah, Aoi merasa ringan. Ia mengirimkan pesan singkat kepada Kenzi menggunakan bahasa isyarat di ponselnya: "Terima kasih, Kenzi. Aku merasa lebih baik karena kamu."
Kenzi membalas dengan pesan yang sama: "Aku senang bisa membantu, Aoi. Sampai jumpa lagi."
Aoi tersenyum. Meskipun masih banyak hal yang perlu ia pelajari tentang dunia, ia mulai merasa bahwa memiliki teman yang mengerti dunia sepi ini adalah hal yang sangat berharga.