Judul: Langit yang Terkoyak
Bab 1: Tangis di Tengah Kekacauan
Langit berwarna kelabu pucat menggantung seperti kanvas mati. Asap hitam mengepul tinggi ke udara, berkelindan dengan gumpalan awan tebal yang menyembunyikan matahari. Hanya ada cahaya samar, terhalang kabut perang yang terus-menerus menelan dunia. Suara dentuman bom menggema dari kejauhan, sesekali diselingi pekikan mesin-mesin perang yang meraung di angkasa. Tahun 2050 telah merampas ketenangan bumi, menyisakan kehancuran yang merayap di setiap sudut.
Di perbatasan Hubberd Selatan, tempat dua negeri berseteru—Neverland dan Victoria—lanskap telah berubah. Kota ini dulunya indah, penuh dengan gedung-gedung pencakar langit yang angkuh, memantulkan sinar matahari dengan elegan. Sekarang, sebagian besar bangunan itu retak dan runtuh, menjadi raksasa besi tua yang berlutut di tengah puing-puing. Gedung-gedung canggih berlapis teknologi hologram kini hanya kerangka kosong, dengan lampu-lampu yang mati dan layar transparan yang retak, menggantung tak berguna. Di salah satu gedung, tulisan "Future is Here" masih samar terbaca, tapi masa depan yang dijanjikan kini tampak seperti lelucon yang pahit.
Mobil-mobil terbang tergeletak membisu di jalanan yang penuh lubang dan retakan. Bodi mereka yang berkilau dulu kini dipenuhi debu dan pecahan kaca. Ada yang menggantung di reruntuhan gedung, seperti burung besi yang patah sayapnya, ada pula yang tertancap di tanah, tak lagi berfungsi. Mesin-mesin yang dulunya berputar tanpa henti kini sunyi, menjadi saksi bisu betapa cepat kehidupan bisa berubah menjadi kehancuran.
Di jalanan yang sunyi itu, hanya suara langkah kecil Arina yang terdengar, menggema di antara lorong-lorong kosong yang dipenuhi debu. Gadis itu berjalan dengan kaki mungilnya yang kotor dan berdarah. Dia menggenggam erat kain robek ibunya—kain berwarna putih yang kini tercemar abu. Arina memandang sekeliling dengan mata yang lelah. Setiap sudut kota ini penuh dengan kisah pilu yang tak terucapkan.
Trotoar yang dulu bersih kini berserakan dengan sisa-sisa hidup manusia—mainan plastik yang tertinggal, koper yang terbuka dengan pakaian berhamburan, serta sepeda listrik kecil yang tergeletak begitu saja. Di depan sebuah toko yang hancur, sebuah papan reklame hologram berkedip lemah. Di antara kilatan lampu yang rusak, sosok seorang wanita tersenyum di layar, suaranya samar keluar, "Selamat datang di masa depan yang penuh harapan...," sebelum suara itu lenyap dalam kerusakan. Arina berhenti sejenak, menatap papan itu dengan mata kosong, seperti ingin berkata bahwa masa depan yang dimaksud telah mati bersama mereka yang tak selamat.
Di kejauhan, gedung-gedung yang masih berdiri menjulang dengan kesombongan yang tragis. Rangka baja yang terpampang, kaca-kaca transparan yang pecah di sana-sini, semuanya memantulkan warna merah api dari pertempuran yang terus membakar di sisi lain kota. Mesin-mesin drone melintas di langit, menembakkan cahaya laser yang sesekali memotong udara. Ledakan dari ujung kota membuat bumi bergetar, mengirimkan serpihan debu yang beterbangan.
Namun, semua ini tidak lagi membuat Arina terkejut. Hari-harinya telah dipenuhi pemandangan serupa. Satu-satunya yang menyakitkan adalah kesunyian yang menyertainya. Mobil-mobil terbang yang dulu berseliweran dengan suara dengung nyaring kini hanya berdiam diri, menjadi bangkai yang tak lagi berguna. Gedung-gedung yang dulunya berkilauan kini memandangnya dengan kosong, seperti dunia ini sudah mati lebih dulu daripada manusia yang menghuni di dalamnya.
Arina terus berjalan. Jalanan terasa luas dan menakutkan baginya, seperti dunia telah memutuskan untuk menelannya hidup-hidup. Suara tangisannya menggema, menyatu dengan angin yang berhembus lemah. Satu-satunya tanda kehidupan di kota mati ini hanyalah suara pertempuran yang semakin mendekat, dan dirinya—gadis kecil yang tak punya siapa-siapa lagi.
Di ujung jalan, ia melihat sebuah taman kota yang dulu sering ia datangi bersama kedua orang tuanya. Kini, taman itu penuh dengan kawah akibat bom, pohon-pohon patah, dan ayunan yang berayun pelan seperti dirantai oleh kesedihan. Arina berjalan ke sana, mendekati ayunan itu. Tangannya yang kecil menyentuh rantai besi dingin itu, lalu duduk di sana, membiarkan kakinya menggantung.
Angin berhembus membawa debu yang perih di mata. Gadis kecil itu menatap lurus ke depan, jauh ke garis horizon yang penuh dengan ledakan cahaya dari perang. Pipinya basah oleh air mata yang terus turun tanpa henti. Dengan suara bergetar, ia berbisik, seperti memohon pada dunia yang membisu, "Ayah... Ibu... aku lelah..."
Namun, dunia tak menjawab. Langit yang koyak tetap diam, dan kota yang hancur tetap bisu. Arina hanya duduk di sana, di tengah reruntuhan masa depan yang telah mati.
Waktu bergerak lambat di dunia yang telah kehilangan denyutnya. Arina masih duduk di ayunan itu, tubuh mungilnya membisu di tengah kehancuran. Angin berhembus pelan, seperti bisikan samar dari kota yang pernah hidup. Debu mengepul tipis di udara, berputar-putar sebelum jatuh lagi ke tanah yang pecah. Sisa cahaya matahari berwarna jingga samar menyusup di antara celah gedung-gedung retak, menciptakan bayangan panjang yang seolah merangkak menghampirinya.
Di hadapannya, taman itu tak lagi sama. Pohon-pohon roboh dengan ranting-ranting yang patah, seperti tangan yang meminta belas kasihan. Rumput yang dulu hijau kini berubah menjadi tanah cokelat berlubang-lubang, diledakkan oleh bom yang menghujani kota berhari-hari. Di tengah-tengah taman itu, sebuah patung berbentuk burung merpati, simbol perdamaian kota Hubberd, masih berdiri—namun paruhnya retak, sayapnya patah.
Arina memandang patung itu lama. Dulu, ibunya sering membawanya ke taman ini. Mereka akan duduk di bangku kayu di bawah pohon, ibunya membacakan cerita sambil mengusap rambutnya lembut. Ayahnya datang tak lama setelah itu, dengan wajah lelah setelah bekerja, membawa sekotak susu cokelat yang selalu jadi kesukaannya. Itu adalah sore-sore paling indah dalam hidupnya. Kini, memori itu hanya hantu samar di balik kabut perang.
"Bu... Ayah..." Arina berbisik lirih. Kata-kata itu melayang di udara, hilang ditelan keheningan.
Ia menatap langit. Samar-samar, ia merasa langit yang hancur itu memandangnya kembali. Garis-garis kelabu bergulung seperti lautan yang marah. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang mengganjal. Ia mulai mendengar suara samar—seperti dengungan jauh yang mendekat perlahan. Mula-mula hanya bisikan angin, tapi lama-lama menjadi lebih jelas.
Suara mesin pesawat.
Arina menegakkan tubuhnya. Kepalanya mendongak, matanya membulat. Dari balik kabut asap yang menggantung tebal di langit, muncul titik-titik kecil yang bergerak cepat. Pesawat. Burung-burung logam itu datang seperti angin badai. Mereka muncul satu per satu, jumlahnya semakin banyak.
Arina mengenal suara itu. Selama berminggu-minggu, ia mendengarnya dari jauh, diikuti ledakan-ledakan besar yang mengguncang tanah. Kini, suara itu terdengar begitu dekat—terlalu dekat. Jantungnya berdegup lebih cepat.
Di langit, pilot Neverland, Letnan Ares, memegang kendali pesawat tempur berwarna kelam. Kokpitnya bergetar lembut di setiap gerakan, suara mesin mendengung memenuhi telinganya. Di layar digital yang berkedip, ia melihat garis-garis perbatasan Hubberd Selatan yang kacau. Sensor memperlihatkan armada Victoria yang mendekat seperti gerombolan serigala yang siap menerkam.
"Squadron 17, bersiap. Musuh ada di depan. Tetap dalam formasi," suara kapten terdengar di headsetnya.
Ares menatap ke depan dengan rahang terkatup. Baginya, ini bukan sekadar misi. Di bawah sana, di antara reruntuhan itu, ada nyawa yang tak bersalah. Anak-anak, keluarga, orang-orang yang hanya ingin bertahan. Mereka yang berdoa agar langit berhenti menangis.
Ia menarik tuas kendali, pesawatnya bergerak cepat menembus awan tipis, lalu melihat kota di bawahnya. Dari ketinggian, Hubberd Selatan terlihat seperti tubuh yang terluka parah. Jalan-jalan retak. Gedung-gedung yang dulu menjulang kini seperti tulang-tulang rapuh yang berserakan. Taman kecil di sudut kota menarik perhatiannya sejenak. Ares melihat sesuatu—sesosok kecil yang duduk di tengah reruntuhan.
"Anak kecil?" gumamnya, keningnya berkerut.
Arina, dari bawah, menatap ke atas. Suara mesin semakin mendekat, membuat tanah bergetar kecil di bawah kakinya. Di kejauhan, ada cahaya kilat di langit, diikuti suara ledakan yang mengguncang bumi. Pesawat-pesawat itu kini bergerak lincah seperti burung pemangsa yang saling mengejar. Suara dentuman logam saling beradu terdengar dari atas sana.
Langit berubah menjadi panggung perang yang nyata. Cahaya dari rudal-rudal yang ditembakkan menembus kabut kelabu, menciptakan garis-garis terang yang menyilaukan. Setiap ledakan yang terjadi menciptakan bola api besar yang membakar udara, warnanya merah oranye seperti matahari yang meledak di langit.
Arina menutup telinganya dengan kedua tangan, tubuhnya meringkuk ketakutan. Ia bisa mendengar suara raungan pesawat yang bergerak cepat di atas kepalanya, suara tembakan yang memekakkan, dan dentuman keras saat salah satu pesawat jatuh menghantam tanah jauh di sana. Namun, di antara semua suara itu, tangisan kecilnya masih terdengar, samar, tenggelam dalam bisingnya perang.
Ares memutar pesawatnya tajam untuk menghindari tembakan dari salah satu pesawat Victoria. Dengan cepat ia membalas, jari telunjuknya menekan tombol senjata. Rudal melesat, menembus udara dengan kecepatan luar biasa dan menghantam pesawat musuh. Ledakan besar membara di tengah langit.
Dalam kilatan cahaya itu, Ares melihat anak kecil itu lagi—Arina, masih duduk di ayunan, tubuh kecilnya bergetar. Rasa getir menjalar di hatinya. Apa yang dilakukan seorang anak di tengah medan perang seperti ini?
"Kapten, ada warga sipil di bawah sana! Seorang anak!" serunya di headset.
"Fokus, Letnan! Jangan lengah!" suara kapten membalas tegas.
Tapi Ares tidak bisa mengabaikan apa yang dilihatnya. Perang telah mengubah banyak hal—mimpi, harapan, dan keadilan. Tapi seorang anak kecil? Itu bukan bagian dari perang ini. Itu tidak pernah benar.
Arina akhirnya berdiri dari ayunan, matanya masih tertuju ke langit yang kini seperti terbakar. Ledakan demi ledakan menciptakan hujan kecil dari serpihan logam yang berjatuhan, seperti bintang-bintang yang mati di siang hari.
Dalam tangisnya, Arina berbisik lirih, "Hentikan... berhentilah..."
Namun langit tak mendengarnya. Perang terus bergemuruh, menghancurkan apa pun yang tersisa dari dunia yang pernah ia kenal.