Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Dear Kosma

Silent_Silent_4857
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
21
Views

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Langkah Pertama

Langkah Pertama

Hari itu, gedung megah UIN Mahardika dipenuhi suasana tegang. Para peserta ujian masuk pascasarjana berjalan menuju ruang masing-masing, membawa harapan besar. Namun, ada hal aneh dalam ujian kali ini: setiap peserta ditempatkan di ruang terpisah. Tidak ada kesempatan untuk saling mengenal atau berdiskusi.

Di salah satu ruang ujian, Harri Wardana, seorang direktur percetakan berusia 26 tahun, duduk sambil membaca soal pertama dengan alis berkerut: "Jika hidup adalah perjalanan, apa yang lebih penting: tujuan atau cara mencapainya?"

"Apa-apaan ini?" gumamnya, menatap soal itu dengan rasa tidak percaya. Harri terbiasa menghadapi tantangan konkret seperti memenuhi tenggat waktu klien atau menyusun strategi bisnis. Tapi soal ini terasa seperti teka-teki yang tidak relevan.

Di ruang lain, Sahirman Ahmad, mantan pegawai bank, membaca soal kedua: "Apakah pendidikan tinggi merupakan hak atau privilese? Jelaskan dengan pengalaman pribadi."

Sahirman mendengus pelan, merasa kesal. "Kenapa soal seperti ini muncul di ujian pascasarjana?" pikirnya. "Aku di sini untuk kuliah pendidikan, bukan berdebat soal hak atau privilese!"

Sementara itu, Fakhrul Ulum, seorang guru SMA, membaca soal ketiga: "Apa yang akan kamu lakukan jika semua rencana hidupmu gagal?" Soal itu seperti membangkitkan kenangan pahitnya. Fakhrul pernah gagal karena berbagai kendala hidup, dan kini soal itu seperti membuka luka lama.

"Tidak adil," bisiknya pelan. "Kenapa mengorek pengalaman pribadi? Bukankah kemampuan akademik lebih penting?"

Rahmad, seorang guru privat berusia 27 tahun, duduk di ruang lain. Ia membaca soal di hadapannya: "Apakah manusia harus selalu mengikuti aturan, ataukah ada saatnya melanggar demi kebenaran?"

Soal itu mengingatkan Rahmad pada peristiwa di masa lalu, ketika ia kehilangan pekerjaan karena membela rekannya. Kenangan itu membuatnya gelisah. "Ini bukan soal akademik. Ini lebih seperti ujian moral."

Tiga jam kemudian, ujian selesai. Para peserta keluar dengan wajah penuh kebingungan. Di lobi utama, Harri, Sahirman, Fakhrul, Rahmad, Anafri, dan Faisal berkumpul secara spontan.

"Apa pendapat kalian soal ujian tadi?" Harri membuka percakapan. "Menurutku, itu absurd."

"Setuju," timpal Sahirman. "Soal-soalnya lebih mirip tes psikologi. Bukannya ini pascasarjana?"

Fakhrul mengangguk. "Aku bahkan tidak tahu apa yang mereka cari. Soalnya terlalu abstrak."

Rahmad menambahkan. "Dan kenapa kita semua dipisahkan? Padahal di tingkat pascasarjana, kita seharusnya diajarkan kolaborasi."

Anafri akhirnya angkat bicara. "Mungkin itu tujuannya. Mereka ingin melihat bagaimana kita menghadapi tekanan."

Harri memandang Anafri tajam. "Membingungkan kita adalah cara terbaik untuk menguji kemampuan? Itu konyol."

Anafri mengangkat bahu. "Aku tidak bilang itu benar. Tapi mungkin ada maksud di balik sistem ini."

Sahirman mendengus. "Kalau memang ada maksud, kenapa mereka tidak menjelaskan sejak awal? Ini seperti eksperimen."

Rahmad mencoba menenangkan suasana. "Mungkin kita harus menunggu hasilnya dulu. Siapa tahu ini cara mereka mencari mahasiswa yang berbeda."

Harri menghela napas panjang. "Baiklah. Kalau kita lolos, aku ingin tahu apa sebenarnya yang mereka coba ajarkan."

Percakapan itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar. Tanpa mereka sadari, hari itu mereka telah memulai langkah pertama menuju persahabatan yang penuh makna.

Langkah Kedua: Awal dari Kebersamaan

Seminggu setelah ujian, akhirnya hasil kelulusan diumumkan. Nama-nama mereka—Harri, Sahirman, Fakhrul, Rahmad, Anafri, dan Faisal—tercantum di daftar mahasiswa baru pascasarjana UIN Mahardika. Meski merasa lega, bayangan tentang ujian yang aneh itu tetap terbayang di pikiran mereka.

Hari pertama kuliah, mereka berkumpul di aula besar untuk sesi perkenalan. Seorang dosen senior berdiri di depan kelas dan mengawali pembicaraan.

"Bagaimana pengalaman kalian dengan ujian masuk kemarin?" tanya dosen itu dengan senyum bijak.

Harri, yang merasa agak tidak nyaman, angkat bicara duluan. "Jujur, Pak, soal-soalnya agak… aneh ya? Tidak seperti yang saya bayangkan untuk ujian pascasarjana."

Sahirman, yang duduk agak jauh dari Harri, menimpali dengan nada serius. "Iya, sepertinya lebih cocok untuk ujian psikologi daripada ujian akademik. Kenapa sih harus soal-soal kayak gitu?"

Dosen itu tersenyum dengan bijak. "Sebenarnya, ujian itu sengaja dibuat untuk menguji lebih dari sekadar pengetahuan akademik. Kami mencari orang yang bisa berpikir di luar kotak, yang mampu menghadapi tantangan besar di dunia nyata."

Fakhrul, yang cenderung pendiam, mengangkat tangannya. "Jadi, kami akan sering diuji kayak gitu? Aku kira pascasarjana itu soal tesis dan teori, bukan soal hidup dan eksistensi."

"Tidak persis seperti itu," jawab dosen dengan tawa kecil. "Tapi kalian akan dihadapkan dengan tantangan yang berbeda. Kami ingin tahu bagaimana kalian beradaptasi dan menyelesaikan masalah."

Setelah sesi perkenalan, Harri, Sahirman, Fakhrul, Rahmad, Anafri, dan Faisal berkumpul di kantin untuk ngobrol lebih santai.

"Jadi, kenapa kalian semua masuk sini? Pasti punya alasan khusus, kan?" Harri membuka percakapan sambil memesan kopi.

Rahmad, yang biasanya tenang, mengangkat bahu. "Aku ingin jadi dosen. Selama ini, aku merasa jalan hidupku sedikit buntu. Jadi, pascasarjana ini semacam jalan keluar."

Faisal, yang bekerja sebagai pegawai desa, ikut menimpali. "Aku juga, sih. Pengen lebih ngerti tentang cara-cara kerja pemerintahan dan bikin perubahan kecil di desa. Gelar ini bisa bantu aku banyak hal."

Sahirman yang baru saja menyelesaikan karier di dunia perbankan, tertawa kecil. "Kalau aku sih, setelah keluar dari bank, rasanya kehilangan arah. Jadi, ini kesempatan untuk memulai babak baru."

Fakhrul, yang lebih suka diam, menatap mereka dan akhirnya berbicara. "Aku cuma ingin jadi guru yang lebih baik. Pengalaman dan pengetahuan yang aku dapatkan di sini pasti akan aku bawa ke murid-muridku nanti."

Anafri yang sejak tadi mengamati, tersenyum malu-malu. "Awalnya, aku ragu. Tapi lama-lama, aku merasa ini adalah langkah untuk menemukan arah hidup yang baru."

Harri menatap mereka semua satu per satu, merasa ada sesuatu yang semakin mengikat. "Ternyata, kita semua punya tujuan masing-masing ya," katanya sambil mengangguk pelan. "Aku, sih, sebenarnya hanya ingin memperluas jaringan untuk bisnis percetakanku, tapi setelah dengar cerita kalian, aku jadi mikir mungkin ada hal lain yang lebih besar yang bisa didapat di sini."

Semua tertawa pelan. Sahirman, yang biasanya serius, kali ini berusaha membuat suasana lebih cair. "Jadi, kita semua ingin jadi orang besar ya? Kalau begitu, jangan sampai tertinggal di belakang karena gak bisa mikir kritis!"

Faisal yang duduk di sebelah Sahirman, tersenyum. "Iya, apalagi kalau kita sudah masuk dunia kampus ini, jangan sampe kita malah jadi 'tungguin hasil' aja. Jangan sampai kayak yang waktu ujian—jadi bingung karena soal-soal itu!"

Harri tertawa keras. "Benar, kita harus lebih siap dan bisa jadi kayak jagoan yang bisa jawab semua soal!"

Fakhrul menimpali dengan wajah serius, "Jagoan jawab soal? Atau jagoan menghadapinya? Jangan-jangan kita ujian lagi nanti!"

"Ya, siapa tahu. Di sini gak ada yang tahu pasti," Sahirman menjawab sambil tersenyum lebar.

Suasana semakin cair dengan tawa mereka yang semakin kencang. Di tengah canda tawa itu, mereka mulai merasa lebih akrab. Tidak ada yang merasa aneh lagi, dan mereka akhirnya merasa bahwa mereka memiliki kesamaan—bukan hanya sebagai mahasiswa pascasarjana, tetapi juga sebagai teman yang siap menjalaninya bersama.