Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

petualangan udin

Gagal_Modif
--
chs / week
--
NOT RATINGS
192
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - episode 1

Pukul 9 pagi.

Anak-anak ramai keluar dari kelas berhamburan, memburu gerbang sekolah. Hari ini, hari rabu. Tidak seperti biasanya sekolah pulang lebih awal, terutama bagi kelas 4, 5, dan 6. Yang biasanya pulang pukul 12 atau bahkan lebih.

"anak-anak, hari ini mendadak ada rapat guru di kecamatan. Jadi, kalian boleh pulang sekarang." Begitulah pak Dadang, wali kelas 5 memberi tahu, setelah menerima telepon dari kepala sekolah pada saat pelajaran matematika baru saja dimulai.

Seketika kelas riuh, anak-anak bersorak "HORE!" bertepuk tangan atau menggebrak-gebrak meja saking senangnya.

Adalah Udin, anak berambut setengah botak yang berteriak paling kencang. Dia duduk di meja belakang bersama temannya, Kipli, anak berbadan gendut bulat. Udin nyaris meneteskan air mata 'ini keajaiban'.

Ruang kelas kosong dengan cepat. Anak-anak tidak sabaran, berebut bersalaman dengan Pak Dadang, lalu berhamburan keluar kelas. Udin keluar gerbang bersama temannya, Kipli dan Icih, anak perempuan yang rambut poninya di kuncir. Anak-anak lain sudah memenuhi depan pagar sekolah. Deretan pedagang menjadi sasaran menghabiskan uang jajan. Pedagang jajanan maupun mainan penuh sesak dikerumuni anak-anak.

"Kamu mau jajan dulu, Pli? Mau beli apa?" tanya Udin.

Kipli mengangguk, menimang sebentar, "aku mau beli batagor, Din. Laper euy."

"kalo kamu, Cih?"

"Aku mah enggak ah. Aku lagi nabung." Jawab Icih singkat.

"ya udah, tunggu sebentar ya... Ayo, Pli!" Udin melangkah di ikuti Kipli.

Udin membeli Es Doger, Kipli tentu sesuai ke inginnya—batagor.

Mereka bertiga pulang. Kipli dan Icih teman sekampung Udin. Setiap hari berangkat dan pulang sekolah bersama. Mereka berjalan menyusuri tepi jalan raya. Kipli dan Udin menghabiskan jajanannya sambil jalan.

"Kamu mau, Cih?" Udin menawari Icih.

"iya, Cih. Mau?" Kipli menimpali.

Icih mendelik, "Dasar! Udah abis baru nawarin."

Udin dan Kipli cekikikan.

Tidak terlalu jauh menyusuri jalan raya, tiga anak berseragam SD itu berbelok ke jalan kecil berbatu kerikil. Semakin jauh menyusuri jalan, semakin sedikit pula rumah-rumah penduduk, menyisakan hamparan sawah yang menghijau sejauh mata memandang. Gunung-gunung terlihat di kejauhan, menjadi latar belakan pemandangan. Pohon-pohon kelapa berjejer di pinggir jalan, daunnya melambai-lambai ditiup angin. Jalan sepi, hanya satu dua motor atau mobil melintas sesekali. Di ujung sana Kampung Wetan, kampung ketiga anak-anak itu.

Di tengah jalan Kipli tiba-tiba merandeg. Udin yang berada dibelakannya menabrak.

"Aduh.... apa sih, Pli. Berenti ngedadak!"

"I—itu, Din. Ada cahaya biru!" Kipli menunjuk lapang sepak bola dipinggir jalan yang tak jauh dari mereka.

"Mana?"

"Cahaya biru? Mana, Pli?" Icih menyipitkan mata demi melihat yang ditunjuk Kipli.

Tidak ada apa pun di sana. Tapi, Kipli yakin dia melihat cahaya biru, memancar sekejap melesat ke angkasa dari arah lapang. Kipli berlari menuju lapang, memastikan kalau dia tidak salah lihat dan yakin ada sesuatu di sana. Udin ikut berlari, di susul Ichi.

"Beneran, Din. Aku tadi lihat cahaya biru, terang banget!" kata Kipli sambil berlari.

Udin dan Icih saling menatap. Tak mengerti. Mungkin Si Kipli sudah gila. Jelas mereka jalan bersama tadi, kenapa hanya Kipli yang melihat cahaya biru itu.

Mereka sampai di lapang sepak bola di pinggir jalan, yang seperti terselip di antara kotakan-kotakan pematang sawah. Kipli meneruskan langkahnya ke tengah lapang.

"ada apa, Pli?" Udin melihat Kipli menemukan sesuatu .

"Cahaya biru itu berasal dari kayu ini." Seru Kipli.

Udin dan Icih mendekat dekat.

Sebatang kayu, atau lebih tepatnya ranting sepanjang siku tergeletak di sana. Ranting itu berwarna biru mengeluarkan cahaya berpendar-pendar seperti kunang-kunang. Aneh!

"Kamu benar, Pli. Aku pikir kamu sudah gila." Kata Udin.

Kipli melotot. Enak saja!

"ini kayu apa? Aneh, warnanya biru, bercahaya." Icih menoleh Kipli sebentar, lantas memperhatikan lagi ranting biru.

Kipli mengangkat bahu. Tidak tahu.

Udin berjongkok, hati-hati sekali ia menyentuh ranting biru dengan ujung telunjuknya. Tidak terjadi apa-apa. Mengulang lagi satu-dua kali menyentuh ranting biru. Sama, tetap tidak ada hal menarik terjadi dari ranting itu. Akhirnya Udin pun berani memegang dan mengangkat ranting biru itu, membolak-balik memeriksanya. Aneh. Ranting itu benar-benar aneh. Bagai mana bisa ranting biru itu bersinar kelip-kelipan? Apa ada baterai atau apalah di dalamnya, yang membuatnya bersinar?

Saat itu sesuatu terjadi. Ranting biru ditangan Udin memancarkan sinar biru lebih terang, menyilaukan mata, membuat anak-anak itu terperanjat kaget. Udin seketika menjatuhkan ranting biru itu. Cahaya dari ranting itu semakin terang, menelan ketiga anak-anak, lantas melesatkan sinar biru ke angkasa.

Kejadian itu begitu cepat. Bersamaan dengan menghilangnya cahaya biru, Udin, Kipli, dan Icuh pun ikut menghilang tak berbekas.

Lapangan sepak bola lengan, menyisakan kesiur angin menerpa pepohonan. Tampak biasa seperti tak terjadi apa pun di sana.

***

Di suatu tempat. Cahaya biru menyilaukan tiba-tiba muncul dari ketiadaan, melesat sesaat ke angkasa. Bersamaan dengan itu tiga anak berseragam SD lengkap masih menggendong tas masing-masing, terlempar jatuh satu persatu bergedebukan.

ADUH!

Icih anak perempuan yang poninya di kuncir, bangun, duduk sambil mengusap-usap pipinya yang sakit. Anak perempuan itu jatuh tersungkur dengan wajah lebih dulu. Kipli si anak berbadan gendut bulat, bangun terduduk. Dia jatuh terlentang tapi anehnya, Kipli tidak merasa ada yang sakit di badannya. Bisa jadi karena lapisan gumpalan lemak ditubuh anak itu berguna meredam efek terjatuh. Lalu Udin. Tunggu! Di mana anak berambut setengah botak itu? Yang terlihat hanya Icih dan Kipli.

"Aduh.... Pli! Minggir, berat nih!" terdengar suara tercekat Udin.

Kipli melihat ke bawah. Dia menduduki punggung Udin. Segera melompat. Pantas saja, Kipli jatuh menindih badan kurus Udin.

Udin bangun, napasnya megap-megap, badannya terasa remuk—sakit ditimpa gajah bengkak.

"Aduh. Maaf, Din. Aku gak tau kamu ada di bawah."

Udin menyikut perut bulat Kipli, melotot.

Kipli nyengir. Menggaruk-garuk kepala.

"Heh. Kita ada di mana ini?" Icih menatap sekeliling.

Udin, Kipli mendongak, ikut melayangkan pandangannya berkeliling. Ketiga anak-anak itu baru 'ngeh' mereka tidak lagi berada di lapang sepak bola. Mereka berada di hutan, entah di mana. Pohon-pohon besar menjulang tinggi, semak-semak, tumbuhan seperti pakis besar di mana-mana. Terlihat juga satu-dua batu raksasa teronggok berlapis lumut.

Udin, Kipli dan Icih saling menatap bingung. Mereka ada di mana?