Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Dua doa, Satu rasa

NoorAssyyifa_Ceria
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
26
Views
Synopsis
Ketika cinta datang di tempat yang salah, apakah tetap layak diperjuangkan? Gavin Bagaskara selalu hidup bebas, percaya bahwa hidup adalah panggung di mana ia bisa menjadi pemeran utama. Namun, semua berubah ketika ia bertemu Aisyah Maharani, gadis sederhana yang diam-diam mencuri perhatiannya. Aisyah berbeda. Keyakinannya, hidupnya, dan prinsipnya begitu bertolak belakang dengan dunia Gavin. Tapi, justru di sanalah keindahan itu bermula. Mereka tahu, cinta ini tak semudah film romantis. Ada perbedaan besar yang menguji kesabaran, keyakinan, dan keberanian mereka. "Cinta tak pernah salah, tapi apakah kita mampu melawan dunia yang selalu menyalahkan?"

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Pertemuan

Hii, guys!!

Sebelumnya, aku mau bilang makasih banget karena udah nyempetin waktu buat baca cerita ini. Jujur, ini adalah cerita pertama aku, jadi aku masih banyak belajar. Kalau nantinya kalian nemuin kekurangan, aku harap kalian nggak sungkan buat kasih saran atau kritik yang membangun, ya.

Cerita ini aku tulis dengan sepenuh hati, dan aku harap bisa membawa kalian ikut merasakan emosi dari setiap karakter. Semoga kalian suka dan bisa menikmati perjalanan cerita ini sampai akhir.

Terima kasih sekali lagi, dan selamat membaca!

***

Hujan deras mengguyur atap rumah dengan irama yang monoton, tapi justru bikin suasana terasa lebih sepi dari biasanya. Gavin duduk di balkon lantai dua rumahnya, bertopang dagu sambil menatap buku catatan yang terbuka di pangkuannya. Buku itu awalnya cuma buat coretan biasa—lirik lagu, sketsa nggak jelas, atau daftar hal random yang ada di kepalanya. Tapi malam ini, halaman itu terasa berbeda.

Tangan Gavin menggenggam pena, ragu-ragu, sebelum akhirnya mulai menulis. Tulisan tangan itu nggak rapi, tapi tiap katanya terasa jujur.

"Hai, gue Gavin. Gue anak biasa, nggak ada yang spesial. Anak SMA yang suka ngeberantakin hidup orang lain, katanya. Geng gue? Katanya paling brutal. Cewek-cewek? Banyak yang bilang gue playboy. Tapi sebenernya, gue cuma cowok yang nggak ngerti apa-apa soal cinta. Sampai gue ketemu dia.

Aisyah. Cewek yang beda banget dari semua yang pernah gue temuin. Dia nggak pernah berusaha buat mencuri perhatian gue, tapi justru karena itu, gue malah nggak bisa lepas dari dia.

Gue tahu, cinta kita punya tembok tinggi. Dia cewek alim, gue cowok yang lebih akrab sama dosa. Dia shalat lima waktu, gue malah kadang lupa hari. Dan yang paling gila... dia Islam, gue Kristen. Itu tembok paling nggak masuk akal yang pernah gue lihat.

Kadang gue mikir, kenapa Tuhan bikin cerita yang kayaknya udah mustahil sejak awal? Tapi hati gue nggak pernah bisa diajak kompromi. Gue yang biasanya ganti-ganti cewek, sekarang malah berhenti di satu nama. Aisyah."

Gavin berhenti menulis. Dia menggigit ujung pena, tatapannya kosong menembus rintik hujan di depannya.

"Apa ini cuma gue yang bodoh? Atau gue memang nggak tahu caranya berhenti peduli?" gumamnya pelan.

Di kejauhan, suara hujan masih terus turun, seolah ingin menenggelamkan suara hatinya. Tapi Gavin tahu, tulisan itu nggak akan bisa menghapus rasa yang terus tumbuh—walau dia tahu, rasanya nggak pernah punya jalan untuk sampai.

"kadang, gue pikir buku ini tau gue lebih dari gue sendiri. Semua hal yang nggak pernah gue omongin ada di sini. Tentang lo, Syah. Tentang gue yang nggak mengerti kenapa bisa sejatuh ini ke lo. Tentang tembok tinggi yang kayaknya nggak akan pernah gue bisa lewatin."

---

VALERION

Nah, ini geng gue. Kalau lo pengen tahu apa yang bikin hidup gue lebih seru, jawabannya cuma satu: Valerion. Kami adalah tujuh orang dengan kepribadian beda-beda, tapi entah kenapa dunia selalu menarik kami untuk jadi satu.

Alfares, ketua geng sekaligus pemegang kendali. Wajahnya dingin, jarang ngomong, tapi jangan pernah remehin tatapannya. Sekali dia buka mulut, semua langsung nurut. Kalau gue boleh jujur, dia kayak kapten di kapal perang: tegas, nggak banyak basa-basi, tapi bikin kami semua aman di tengah badai. Bahkan guru aja kadang ogah ngadepin dia kalau udah serius.

Dito, ketua kelas yang sok serius, tapi hobinya mabar pas jam pelajaran. Lo jangan salah, walaupun kelihatannya lurus-lurus aja, dia yang paling sering ngajak kami cabut bareng. Pokoknya Dito itu definisi "serius tapi ngeselin." Kadang bikin kesel, tapi nggak pernah ninggalin kalau kami ada masalah.

Alvian, otaknya geng ini. Lo punya soal Fisika? Biologi? Kimia? Dia bisa jawab sambil merem. Paling cool kalau ngomongin cewek, tapi kalau udah nyebut nama Raras, cowok ini langsung berubah jadi bocah cupu. Biasanya Alvian nongol bawa buku. Beneran buat belajar? Kadang. Tapi seringnya sih cuma buat pamer biar kelihatan intelek.

Kevin, sahabat gue dari kecil, si tukang ketawa yang paling happy-go-lucky. Kalau suasana lagi tegang, dia pasti bikin semua balik ketawa. Pacarnya, Dinda, seangkatan sama kami, dan lo tau apa? Bucin banget! Kalau soal bikin alibi pas kami kena masalah, Kevin jagonya. Kayak punya bakat jadi pengacara.

David, si bayangan. Kalau lo pikir gue atau Kevin yang sering bikin masalah, lo salah. David ini definisi "berbahaya tapi diem." Dia nggak banyak omong, tapi tangannya cepet banget kalau udah urusan sama apapun yang nyebelin. Sekali ngomong, seringnya nusuk ke hati, tapi kami semua tau dia selalu ada buat kami, diam-diam.

Ricky, mukanya serem, tapi hatinya mungil banget. Ini cowok kuat banget, jomblo dari lahir tapi tetap santai aja. Paling jago ngeluarin jokes receh, tapi kalau situasi udah serius, dia adalah orang pertama yang bakal pasang badan buat geng. Ricky itu definisi "serem di luar, lembut di dalam."

Dan terakhir, gue. Kalau nggak ada gue, geng ini bakal hambar. Gue si pesona utama yang bikin semuanya rame. Cewek-cewek rebutan? Itu udah biasa buat gue. Tapi akhir-akhir ini… ah, sudahlah. Nanti lo tahu sendiri.

Ngomong-ngomong soal Valerion, awalnya nggak sesimpel itu loh sampai kami bisa kayak sekarang. Kami semua punya cerita sendiri-sendiri, tapi satu hal yang gue yakin: kami nggak pernah nyangka bakal saling nemuin dan jadi kayak keluarga.

---

Perpustakaan. Tempat yang Gavin paling hindari di sekolah. Tapi kali ini, dia nggak punya pilihan.

"Gav, tolong banget ini minjemin buku rumus buat gue. Gue ada tugas Matematika yang harus dikumpulin siang ini," kata Alvian tadi pagi.

Gavin sempat mau nolak, tapi mata Alvian yang memohon dengan gaya nggak biasanya bikin dia nyerah. Lagian, katanya cowok baik hati itu selalu bantu temen, kan?

Dan di sinilah dia sekarang, berdiri canggung di pintu perpustakaan sambil menghela napas panjang. "Kenapa gue sih, Al?" gumamnya sendiri, lalu melangkah masuk.

Ruangan itu sunyi. Aroma buku-buku tua bercampur dengan bau kayu memenuhi udara. Gavin nggak suka suasananya—terlalu hening, terlalu serius. Tapi langkahnya mendadak terhenti.

Dia.

Cewek di pojok ruangan dengan hijab pastel dan kacamata besar. Duduk sendirian, matanya fokus ke buku tebal yang terbuka di depannya. Dia terlihat tenggelam dalam dunia lain, seperti nggak peduli dengan dunia di sekitarnya.

Ada sesuatu tentang dia yang bikin Gavin terpaku. Mungkin caranya mengetuk-ngetuk meja kayu dengan ritme kecil, atau gerakannya yang sesekali merapikan hijabnya. Jantung Gavin tiba-tiba terasa aneh, kayak ada sesuatu yang nyenggol.

"Ah, fokus Gav. Cari bukunya dulu," gumamnya sambil berusaha mengalihkan perhatian.

Tapi, bukannya langsung cari buku, Gavin malah mendekati meja tempat cewek itu duduk. Rasanya kayak gravitasi yang narik dia ke sana, meski dia sendiri nggak tahu kenapa.

" Ekhem, permisi," suara Gavin pelan tapi cukup buat cewek itu mendongak.

Tatapan mereka bertemu, dan di saat itu, waktu kayak berhenti. Mata cewek itu bening, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di sana—vibe dingin, tapi rapuh. Gavin nggak bisa berpaling.

"Iya?" tanya cewek itu akhirnya, dengan nada yang lebih ke datar daripada ramah.

"Lo tau nggak, buku rumus matematika ada di mana?" Gavin akhirnya ngomong, mencoba terdengar santai.

Cewek itu mengernyit, seperti bingung kenapa Gavin tanya ke dia. "Cari di rak bagian kiri, dekat meja pustakawan," jawabnya singkat, lalu kembali ke bukunya.

Tapi Gavin nggak beranjak. "Eh, ngomong-ngomong, lo lagi baca apa sih?" tanyanya, sok basa-basi.

Cewek itu mendongak lagi, kali ini dengan tatapan sedikit kesal. "kamu butuh buku rumus, kan? Ngapain nanya buku Aku?"

Gavin senyum kecil. "Ya, siapa tau ada buku lo yang lebih menarik daripada rumus-rumus itu."

Cewek itu mendengus pelan, tapi Gavin bisa lihat sudut bibirnya yang nyaris melengkung ke atas. "Mending kamu cari buku rumus kamu dulu sebelum aku laporin ke pustakawan karena gangguin orang belajar."

"Oke, oke, gue pergi," Gavin angkat tangan seperti menyerah. Tapi sebelum dia benar-benar pergi, dia menoleh sekali lagi ke arah cewek itu.

"Gue Gavin, by the way," katanya sambil tersenyum kecil.

Cewek itu cuma menatap dia sebentar sebelum kembali tenggelam di bukunya. Gavin akhirnya benar-benar pergi, mengambil buku Alvian tanpa pikir panjang, lalu keluar dari perpustakaan. 

Dia nggak tahu kenapa interaksi tadi terpatri di kepalanya. Mungkin cuma karena dia jarang lihat cewek yang nggak terpengaruh pesonanya. 

Atau mungkin... ada hal lain yang belum dia pahami. 

Tapi saat itu, Gavin nggak terlalu mikirin. Baginya, itu cuma pagi biasa. Dia nggak tahu kalau pertemuan di perpustakaan ini bakal jadi awal dari sesuatu yang dia sendiri nggak pernah bayangkan. 

---

XI IPA Jam Istirahat

Langit mendung menggantung di luar, tapi suasana kelas 11 IPA 1 justru terasa lebih hangat dengan hiruk-pikuk suara siswa. Di sudut kelas, Raras sedang berjuang dengan buku matematika di depannya. Ia menggigit ujung pulpennya sambil mengerutkan dahi. Di sebelahnya, Alvian duduk santai, tampak tidak terpengaruh dengan keluhan temannya.

"Aduh, Al, sumpah deh, matematika itu susah banget! Gue gak ngerti kenapa lo bisa enjoy sama beginian," keluh Raras, melemparkan punggungnya ke kursi dengan drama khasnya.

Alvian menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke catatannya. "Susah dari mana? Mudah gini. Udah, jangan kebanyakan ngeluh."

Raras langsung menatap Alvian dengan tatapan tajam. "Ih, emang ya, ngomong sama orang pinter tuh ngeselin banget. Lo tuh gak ngerti penderitaan orang biasa kayak gue!"

Alvian hanya tersenyum kecil, lalu berkata dengan nada santai, "Lo tuh sama kayak Gavin, gak suka matematika."

Mata Raras membelalak seketika. "What?! Jangan samain gue sama tuh hama! Itu penghinaan besar, Al!"

Alvian menahan tawa, menatap temannya dengan ekspresi bingung. "Lo kenapa sih gak suka banget sama Gavin?"

"Gak suka aja. Sifat dia tuh sok ganteng, sok keren, sok paling oke deh. Padahal ya, biasa aja!" Raras melipat tangan di dada sambil menghela napas panjang, menatap ke arah luar jendela dengan dramatis.

Alvian mengangguk kecil, tapi di wajahnya tersirat sedikit rasa geli. Semua orang tahu, Gavin dan Raras itu kayak kucing sama anjing. Selalu ribut, tapi entah kenapa kehadiran mereka berdua di sekolah justru bikin suasana jadi ramai.

"Eh, lo udah selesai soal nomor berapa?" tanya Raras, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Gue udah nomor lima," jawab Alvian santai sambil menutup buku.

Raras langsung mengerutkan kening. "Gue baru nomor satu, Al! Lo bayangin, nomor satu! Hidup gue berat banget."

Alvian menggeleng pelan. "Ya makanya, jangan kebanyakan ngeluh. Kerjain aja."

"Eh, lo tuh ya, pinter gak usah sok-sok ngatur gue. Gue tuh udah stress tiap hari harus sabar ngeliat tingkah Gavin, sekarang gue harus sabar juga sama soal-soal ini. Hidup gue tuh ujian, Al!" oceh Raras panjang lebar.

Alvian tersenyum kecil, lalu menimpali, "Gue perhatiin, lo nyebut nama Gavin lebih sering daripada soal matematika. Jangan-jangan..."

"Apaan sih!" potong Raras cepat sambil menoyor lengan Alvian. "Lo tuh ya, nggak usah sotoy!"

Alvian tertawa kecil. Meski Raras selalu ribut, ada sesuatu dari cara dia bicara yang bikin Alvian betah duduk di sebelahnya. Dia tidak pernah bosan mendengarkan Raras, bahkan jika itu hanya keluhan-keluhan kecil tentang Gavin atau soal matematika.

Alvian masih sibuk mengerjakan soal di mejanya, sementara Raras sibuk menghapus coretan di bukunya. Mereka berdua dikelilingi oleh Gavin, Dito, Kevin, Ricky, dan David yang baru saja masuk ke kelas.

"Heh, ngapain nih? Berduaan aja?" tanya Gavin sambil memasang senyum lebar penuh arti.

"Wih, serius amat ngerjain tugas berdua," tambah Ricky sambil tertawa kecil.

David berdiri di belakang. "Cosplay jadi pemain drakor kalian?" 

Kevin yang baru masuk, langsung ikut bercanda. "Ngelakuin apa aja nih di kelas sebelum kita dateng?" Kevin menaikkan alisnya dengan senyum menggoda. 

Alfares hanya diam sambil melipat tangan di dada, tapi sudut bibirnya naik, jelas menikmati suasana.

Raras langsung memutar mata. "Oh Tuhan, kenapa ya hama-hama ini harus datang ke sini juga? Emang nggak ada tempat lain buat nyampah?"

Gavin tertawa sambil jalan mendekati meja mereka. "Santai, Raras. Jangan denial gitu dong. Gue tahu lo seneng kan kita nongol?"

"Seneng? Gue lebih seneng lihat rumus matematika daripada lihat muka lo, Gav," balas Raras tajam.

Dito tertawa keras di belakang. "Klasik banget, sih. Lo berdua tuh kayak Tom and Jerry. Tapi gue yakin, di dalam hati, ada cinta-cinta kecil tuh."

"CINTA APAAN?!" bentak Raras dan Gavin bersamaan 

Ricky menahan tawa di samping, sambil ikut-ikutan nyengir. "Hati-hati ntar jadi rindu, " 

David langsung menimpali, "Tapi guys, serius deh. Raras, lo nggak sadar ya kalau di depan lo sekarang ada Gavin, cowok paling sulit ditangkap hati nya?"

Alvian menunduk, berusaha menahan senyum. Tapi entah kenapa, ada perasaan aneh yang mulai muncul di dadanya. Sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Gavin berbicara lagi, membuatnya merasa seolah ada yang berubah.

"Tutup mulut lo, Dito!" bentak Raras sambil melempar penghapus ke arah Gavin. Sayangnya, lemparannya meleset.

Gavin memungut penghapus itu sambil tersenyum jahil. "Duh, Raras, lo tuh kalau mau ngincer hati gue, gak usah pakai penghapus. Senyum aja cukup kok."

"Ngincer hati lo? Hati lo tuh kayak tempat sampah, Gav! Gak ada yang mau ngambil," seru Raras sambil berdiri, menunjuk Gavin dengan gaya dramatis.

Kevin dan Dito langsung ngakak. Alfares hanya geleng-geleng kepala sambil menepuk bahu Gavin. "Sabar, bro. Cewek kalau suka sama lo, biasanya emang gitu. Galak."

"Siapa yang suka?!" Raras menoleh cepat, tatapannya setajam silet.

"Udah-udah," Alvian akhirnya buka suara, mencoba menenangkan situasi. "Kalian tuh rame banget. Gue jadi gak bisa konsen."

Gavin menatap Alvian dengan senyum miring. "Lo ya, Al. Diam-diam deketin Raras, nggak ngomong ke gue? Gue ini kan temen lo. Lo harusnya minta gue restu dulu."

Alvian menahan napas. Untuk sesaat, ada perasaan nggak nyaman yang mulai tumbuh. Sebuah perasaan aneh yang datang ketika Gavin memperlihatkan kedekatannya dengan Raras. Alvian mencoba untuk tetap tenang, tapi di dalam hatinya, dia merasa cemburu. Kenapa Gavin bisa begitu santai dan akrab sama Raras? Padahal, dirinya sendiri lebih suka menjaga jarak.

"Lo tuh kayak pelawak ya," ujar Raras sambil meraih buku di mejanya. "Kelar nih, Al. Gue cabut dulu. Gue nggak sanggup satu ruangan sama orang-orang absurd kayak mereka."

Raras berjalan keluar kelas dengan langkah penuh drama. Gavin hanya menatapnya sambil terkekeh, lalu melirik Alvian. "Lo yakin bisa tahan sama cewek model begitu?"

"Mending dia dibanding lo, Gav." jawab Alvian, berusaha menahan diri agar nggak terlihat cemburu. Tapi dalam hati, ada rasa nggak enak yang masih menggelayut. Kenapa perasaan ini muncul? Bukankah dia hanya temen Raras?

"Tuh kan, Gav. Bener-bener, deh," tambah Dito, menepuk bahu Gavin dengan penuh arti. "Kalian tuh kalau ketemu bisa berantem terus. Tapi, kadang... gue rasa ada cinta yang tersembunyi. Kalian gak sadar, tapi kalau kalian sering begini, entar malah jadi rindu."

Gavin memutar bola matanya. "Apaan coba, dih."

---

Suasana Koridor Sekolah

Koridor terlihat ramai oleh siswa-siswi yang baru saja keluar dari kelas menuju kantin atau lapangan. Gavin berjalan santai sambil memainkan kunci motor di tangannya, sesekali menyapa teman-temannya dengan senyum tengilnya. Di sisi lain, Aisyah berjalan sambil memegang buku-buku pelajaran, terlihat sedikit terburu-buru.

Tanpa sengaja, langkah keduanya bertabrakan lagi.

"Bruk!"

Buku-buku Aisyah terjatuh ke lantai, sementara Gavin refleks memegang bahu Aisyah untuk menyeimbangkan tubuhnya.

"Eh, sorry-sorry!" Gavin langsung berjongkok untuk memungut buku-buku Aisyah.

Aisyah ikut jongkok sambil menahan napas. "Ya ampun, nggak apa-apa kok. Lagi buru-buru aja tadi."

Saat Gavin menyerahkan buku-bukunya, kalung salib yang dikenakannya secara tak sengaja keluar dari balik kerah kausnya. Aisyah melihatnya sekilas ketika dia mengambil buku dari tangan Gavin.

"Oh... jadi Gavin non-muslim?" pikir Aisyah dalam hati. Tapi wajahnya tetap tenang, bahkan dia tersenyum kecil sambil berdiri. "Thanks, Gavin."

"Oh, tau nama gue?" Gavin menaikkan alisnya, sedikit terkejut.

"Kan lo sendiri yang bilang waktu di perpustakaan kemarin," jawab Aisyah cepat.

Gavin terkekeh kecil, merasa dirinya menang, lalu memasukkan tangan ke saku celananya.

Gavin, dengan mode buayanya yang aktif, langsung menyeringai. "Lo tau nggak, Syah? Gue ini sebenernya sering banget berdoa supaya bisa nabrak lo lagi. Kayaknya Tuhan ngabulin doanya, nih."

Aisyah hanya melirik santai sambil merapikan buku-bukunya. "Berdoa supaya nabrak orang? Unik juga sih konsepnya," jawabnya cuek, tapi ada senyum kecil di sudut bibirnya.

Gavin tidak menyerah. Dia berdiri di depan Aisyah, menghalangi jalannya dengan kedua tangan direntangkan. "Eh, tapi beneran, Syah. Gue pikir ini takdir. Lo nggak ngerasa gitu juga?"

Aisyah mendongak, matanya menatap lurus ke arah Gavin. "Kalau takdirnya bikin buku gue jatuh lagi, mendingan gue cari jalan lain aja deh buat ke kelas."

Gavin terkekeh. "Yah, cuek banget. Tapi lo senyum barusan kan? Berarti lo suka ketemu gue, ya."

Aisyah pura-pura berpikir sambil mengetukkan jari di dagunya. "Hmm, lebih ke... gue lega buku gue nggak ada yang sobek sih. Tapi kalau lo nganggep gue suka ketemu lo, ya silakan aja."

Gavin hanya bisa menggeleng dengan senyum lebar. "Dasar cewek susah ditebak."

Tanpa menunggu jawaban, Aisyah melenggang pergi dengan santai. Tapi di balik sikap cueknya, wajahnya sedikit memerah.

Gavin tetap berdiri di tempat, menatap punggung Aisyah yang menjauh. "Aisyah Maharani," gumamnya pelan sambil tersenyum. "Bisa nggak sih lo nggak bikin gue makin penasaran tiap hari?"