"I want to be like Dandelions, remaining strong and standing firm even though living among weeds and rocks, even being able to ethernal and be strong even though growing on the edge of a cliff. "
-Eira Veylan*
---
"Sekarang, katakan darimana asalmu, nona? Mengapa tiba-tiba kau berada di hutan ini? Apakah kau mata-mata dari Kerajaan Rafenfjall?"
Kael Ardyn, pria dengan tubuh tegap yang duduk di atas kudanya, menatap tajam ke arah gadis itu. Pakaian pemburunya yang serba hitam berdebu kontras dengan mata dingin yang menyiratkan kewaspadaan. Tatapannya menusuk, penuh kecurigaan.
"Tidak! Tidak, Tuan, sungguh..." jawab Eira tergagap, suaranya penuh ketegangan. Tubuhnya menggigil, entah karena udara dingin yang menggigit kulit atau karena ketakutan yang kini menguasai dirinya. Salju tipis mulai berjatuhan, menambah suasana mencekam. "Aku... aku bukan mata-mata, Tuan. Sungguh. Aku bahkan—aku bahkan tidak tahu bagaimana aku bisa ada di sini!"
Kael menyipitkan mata, ekspresinya tak berubah. "Tidak tahu bagaimana? Apa kau mengira aku bodoh, nona? Mata-mata sering menggunakan dalih seperti itu. Jika kau benar-benar dikirim oleh Rafenfjall, aku akan segera mengetahuinya."
"Tidak! Aku tidak berbohong, Tuan!" seru Eira. Suaranya bergetar, hampir seperti bisikan angin. "Aku... aku hanya ingat membuka mata, lalu tiba-tiba aku sudah berada di tempat ini. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tolong, percayalah!"
Kael menghela napas panjang, nadanya bercampur antara frustrasi dan kebingungan. "Hmph. Ucapanmu sulit dipercaya. Jika kau memang tidak tahu, lalu darimana asalmu sebenarnya? Kau terlihat aneh... Apa mungkin kau seorang setengah-elf?"
Eira tertegun. Kata-kata itu membuatnya terpaku sejenak. Setengah-elf? Apa yang sedang pria ini bicarakan? Pandangan Kael yang intens membuatnya semakin gelisah.
"Hah? Apa maksudmu, Tuan? Setengah-elf?" jawabnya dengan nada terkejut, alisnya bertaut. "Aku manusia! Manusia murni! Lagipula, elf itu cuma dongeng, cerita anak-anak. Kau pasti bercanda... atau mungkin kau sedang mabuk?"
Kael memiringkan kepala, menatapnya seakan mencoba menembus setiap lapisan kebohongan yang mungkin tersembunyi di balik ekspresi polos itu. Tetapi tidak ada tanda-tanda tipu daya di mata Eira—hanya ketakutan dan kebingungan.
"Huh..." Kael menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Kebimbangannya jelas terlihat. "Jika kau benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi, maka kau dalam masalah besar, nona.
Eira terdiam, rasa dingin semakin merayap ke tulangnya, tapi kekhawatiran di matanya lebih menusuk dari angin beku. Dia tak tahu apa yang harus dia percayai—atau siapa yang harus dia takuti.
"Dan kau mengatakan aku mabuk? Atau sebenarnya kau yang mabuk, nona? Hanya dongeng, katamu? Lihat dirimu—sangat jelas kau adalah setengah elf dan manusia. Katakan saja, apakah kau memang memata-matai kerajaan ini?"
Kael terus mendesak, tatapannya tak beranjak dari wajah Eira. Kecurigaan semakin menguasai dirinya.
Eira menggeleng cepat, suaranya mulai gemetar. "Aku mabuk? Tentu saja tidak, Tuan! Sudah kukatakan aku bukan mata-mata kerajaan. Mengapa kau terus-menerus menuduhku? Dan setengah elf? Aku manusia, Tuan! Aku... aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan!"
Kael mendengus, kesabaran mulai menipis. "Aku melantur, katamu? Kau yang berbicara omong kosong, nona. Aku bertanya sekali lagi—apa yang kau lakukan di hutan kerajaan Ardhotalia ini? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya di sini. Itulah mengapa aku menganggapmu mata-mata—ditambah kau jelas-jelas setengah elf dan manusia."
Kata "Ardhotalia" tiba-tiba menusuk kesadaran Eira. Ia terdiam, matanya membesar saat mencoba mencerna ucapan Kael. Nama itu tidak asing. Tidak mungkin. Bukankah itu nama kerajaan di sebuah novel yang pernah ia baca?
"Tu-tunggu... Kerajaan Ardhotalia, katamu?" Eira berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam dinginnya angin malam. "Di mana sebenarnya aku? Sungguh, aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Percayalah padaku, Tuan. Dan... setengah elf? Mengapa kau mengatakan itu? Aku tidak mengerti!"
Kael memutar matanya, seolah tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. "Tsk, kau masih menyangkal? Wajahmu tidak bisa berbohong, terutama telingamu yang sedikit lancip. Itu adalah tanda paling jelas kau adalah setengah elf."
Eira menyentuh telinganya tanpa sadar, kaget mendengar tuduhan itu. Tapi Kael tidak memberinya kesempatan untuk bicara.
"Dan dengarkan baik-baik. Kau sekarang berada di Kerajaan Ardhotalia, tepatnya di Elvandom, hutan mistis tempat para elf tinggal," ucap Kael dingin.
Kael turun dari kudanya dengan gerakan sigap, langkahnya mantap mendekati Eira. Eira terpaku, tak tahu apa yang harus dilakukan. Tatapan Kael tak memberinya ruang untuk melarikan diri—mata dinginnya seakan memaku gadis itu di tempat.
Saat berdiri di hadapan Eira, Kael menatapnya dengan tajam, terlalu dekat hingga Eira bisa merasakan dingin yang memancar dari aura pria itu. Tanpa sepatah kata, Kael meraih kedua tangan Eira dan mengikatnya dengan tali yang tergantung di pinggangnya.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" seru Eira, panik.
Kael hanya mendengus, nadanya tetap datar. "Berhenti melawan, nona. Sampai aku yakin kau bukan ancaman bagi kerajaan ini, kau akan tetap menjadi tawananku."
Eira menatap Kael dengan campuran ketakutan dan kebingungan, tetapi pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan melepaskannya.
---
"Hei! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mengikatku?!" seru Eira dengan nada panik, suaranya bergetar saat matanya bertemu dengan tatapan oranye tajam milik Kael. "Aku sudah katakan, aku bukan mata-mata! Sungguh!"
Kael menatapnya tanpa ekspresi, tetapi suaranya terdengar tegas dan dingin. "Tenanglah, nona. Ini hanya untuk memastikan kau tidak melarikan diri. Kau akan ikut denganku bertemu Putri Aralyn. Jelaskan semuanya padanya. Dia seorang elf dengan sihir yang mampu mendeteksi setiap kebohongan. Jadi, jika kau menyembunyikan sesuatu, dia pasti akan mengetahuinya."
Eira menelan ludah, tubuhnya menegang saat Kael mengikat tangannya lebih erat. Sebelum ia sempat membalas, pria itu mengangkatnya dengan mudah dan mendudukkannya di atas kudanya.
"Ap—hei! Apa-apaan ini!" Eira meronta, tapi tidak ada gunanya.
Kael dengan tenang naik ke atas kuda, duduk di belakangnya, dan menarik tali kekang. Kudanya mulai melangkah cepat, derapnya menggema di tengah hutan yang sunyi.
Eira hanya bisa terdiam. Tubuhnya membeku, bukan hanya karena udara dingin yang menusuk, tetapi juga karena pikirannya yang terus berputar. Apakah ini mimpi? Atau halusinasi? Ia mencoba memproses semuanya—kaos tipis yang dikenakannya, dingin yang terasa begitu nyata, dan pria asing di belakangnya dengan tatapan tajam dan sikap penuh kewaspadaan.
"Putri Aralyn..." bisiknya perlahan, nama itu menggema di pikirannya. Ia mengingatnya dari novel yang pernah ia baca. Nama yang menandai salah satu tokoh penting dalam dunia fantasi yang dulu hanya ada di buku—sekarang tampak nyata di depannya.
Eira menggigit bibir, pikirannya bercampur aduk. Jika ini benar-benar bukan mimpi, lalu bagaimana dia bisa berada di sini? Apakah ini dunia yang sama dengan yang ada dalam novel itu? Tapi mengapa ia tidak mengingat semua detailnya? Ia baru membaca sebagian halaman, dan banyak hal yang masih menjadi misteri baginya—termasuk nama-nama dan peristiwa penting.
Dan tentang "setengah elf"... kata itu kembali mengusik pikirannya. Ia bahkan belum melihat dirinya sendiri sejak tiba di dunia ini. Apakah mungkin Kael benar? Apakah sesuatu telah berubah pada dirinya? Atau semua ini hanyalah permainan pikiran?
Rasa khawatir dan penasaran bercampur menjadi satu, tetapi ia tak punya pilihan lain selain mengikuti pria itu menuju entah apa yang menunggunya.
--
"Lembah Es Luthanor"
Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, akhirnya Kael dan Eira tiba di sebuah lembah yang bernama Luthanor. Udara di lembah itu begitu dingin, namun dipenuhi keajaiban yang membuatnya tampak seperti dunia dari mimpi.
Angin dingin berhembus lembut, membawa serpihan salju yang berkilauan seperti bintang-bintang kecil di langit malam. Eira menggigil, merapatkan mantel tipis yang ia kenakan ke tubuhnya, meski rasanya tidak cukup untuk menghalau rasa dingin. Namun, matanya berbinar penuh kekaguman.
Lembah itu tidak seperti tempat yang pernah ia lihat sebelumnya. Hewan-hewan unik berkeliaran di sekitar mereka—kunang-kunang sebesar lebah hutan beterbangan dengan cahaya hangat, dan kupu-kupu berapi dengan sayap bercahaya melintasi udara, menciptakan pemandangan yang luar biasa indah.
Eira melihat seluruh pemandangan itu dengan hati-hati, membiarkan pandangannya menyapu setiap sudut lembah. Di antara rerumputan yang tertutup salju, bunga-bunga dandelion bersinar seperti berlian, memancarkan cahaya lembut yang hampir membuatnya lupa untuk bernapas. Suasana damai dan magis itu membuat pikirannya terhanyut, melupakan semua kekhawatirannya.
Senyum kecil menghiasi wajahnya tanpa sadar. Dia merasa seperti anak kecil yang menemukan dunia baru, dunia yang sebelumnya hanya ada dalam fantasi. Hatinya melompat-lompat dengan perasaan takjub yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Namun, lamunan itu buyar seketika saat suara dingin Kael menyelinap ke telinganya.
"Turunlah, nona. Apa kau akan terus berkayal sepanjang waktu?" suara Kael terdengar datar, tetapi penuh sindiran, seolah ia tak habis pikir dengan tingkah Eira.
"Oh, umm... maaf, Tuan..." balas Eira tergagap, wajahnya memerah karena malu. Ia buru-buru melompat turun dari punggung kuda Kael, mendarat dengan sedikit goyah di atas salju.
Kael hanya mendengus kecil, lalu mulai mengikat kudanya di batang pohon beku terdekat. Sementara itu, Eira berdiri terpaku, matanya masih melirik ke sekeliling lembah yang memancarkan keindahan yang seolah mustahil ada di dunia nyata.
---
"Sekarang ikut aku. Aku akan membawamu kepada Putri Aralyn untuk mengetahui siapa sebenarnya dirimu."
Kael berkata dengan suara tegas, tanpa sedikit pun keraguan. Eira hanya mengangguk pelan, perasaan campur aduk di dadanya.
"Hmmm... baiklah," Eira menjawab dengan suara lirih, matanya menatap tanah di depan. "Setidaknya aku berkata jujur—aku memang bukan mata-mata. Aku bahkan baru saja berada di dunia ini..."
Eira melanjutkan langkahnya, mengikuti Kael yang melangkah cepat, semakin dalam menuju lembah yang dingin dan sunyi itu. Setiap langkahnya semakin membuatnya merasa terasing. Dunia ini—semuanya terasa seperti mimpi yang tak bisa ia pahami sepenuhnya.
Kael hanya melirik sekilas ke arah Eira, matanya tajam dan penuh kewaspadaan. Ia merasa gadis ini aneh. Jika memang bukan mata-mata, lalu apa yang membawa Eira ke hutan sekitar Kerajaan Ardhotalia? Ia tidak bisa membiarkan rasa curiga itu menghilang begitu saja.
Pikir Kael dalam hati, sambil terus berjalan.
Kael berjalan di depannya, langkahnya penuh ketegasan. Dia adalah sosok yang misterius, dengan mata yang tajam dan ekspresi yang tidak bisa dibaca. Eira bisa merasakan ketidakpercayaan yang mengalir dari dirinya. "Kau benar-benar yakin bahwa kau bukan mata-mata?" tanyanya, suaranya terdengar serak di tengah dingin.
Eira menggeleng, berusaha menjelaskan. "Aku benar-benar tidak tahu,Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini."
"Semua orang yang masuk kedalam hutan wilayah ardhotalia itu, tidak pernah kembali," Kael menjawab, suaranya penuh skeptisisme. "Apa yang kau cari di sini?"
"Aku tidak mencari apa-apa," Eira menjawab, berusaha meyakinkan dia. "Aku hanya ingin mencari tahu mengapa aku bisa berada disini "
Kael berhenti sejenak, menatapnya dengan intens. "Mencari tahu? "Apa maksud mu?, bagaimana bisa kau tidak tahu, hingga berada disini
Eira merasa terjebak dalam pertanyaan demi pertanyaan. "Aku berasal dari dunia yang berbeda. Di sana, kita tidak memiliki sihir, hanya teknologi. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa muncul di sini."
"Teknologi?" Kael mengulang, tampak bingung. "Apa itu?"
"Seperti mesin, komputer—" Eira mulai menjelaskan, tetapi Kael mengangkat tangannya.
"Berhenti. Apa pun yang kau katakan tidak ada artinya di sini. Di dunia ini, hanya sihir yang ada," Kael berkata tegas, dan Eira merasakan ketidakpastian yang menghimpit jantungnya.
Mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat putri Aralyn, dan Eira tidak bisa tidak merasa terpesona oleh keindahan lembah es. Kristal es menggantung di dahan-dahan pohon, dan di kejauhan, suara gemericik air menambah keajaiban suasana itu.
"Tapi, jika kau tidak berbohong, kenapa kau berada di hutan itu?" Kael bertanya lagi, matanya tidak pernah lepas dari wajah Eira.
Eira menghela napas, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi sebelum dia terjebak di dunia ini..
Huuh,aku tidaak ingat apapun,yg aku ingat aku sedang tidur di kamarku,lalu tiba-tiba aku merasa terjatuh,aku tidak tahu bagaimana, tetapi saat aku membuka mataku aku sudah berada disini.
"Kau sedang tidur di kamar mu? Kau menyebutnya seperti itu, tetapi jelas ini bukan cerita. " Kael menjawab, suaranya penuh emosi. "Jika kau seorang mata-mata, aku tidak akan segan-segan mengakhiri hidupmu."
Eira merasakan ketakutan menjalar di sekujur tubuhnya. "Tolong, tuan Aku tidak berbahaya. Aku hanya ingin tahu bagaimana aku bisa berada disni, dan bagaimana cara kembali ke dunia ku."
Kael memandangnya dengan tatapan tajam, seolah-olah sedang mencari kebenaran di dalam dirinya. "Kau seharusnya tidak berada di sini. Jika putri Aralyn tahu ada orang asing yang masuk ke wilayah kerajaan ardhotalia dia tidak akan senang."
"Apakah putri Aralyn selalu begitu?" Eira bertanya, berusaha mengalihkan perhatian dari ketegangan yang melingkupi mereka.
"Dia adalah pemimpin yang bijaksana, tetapi dia juga sangat protektif terhadap kerajaannya," Kael menjawab. "Dan jika dia merasakan ada ancaman, dia akan mengambil tindakan."
Eira merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. "Apa yang akan dia lakukan?"
Kael mengangkat bahunya. "Itu tergantung padamu. Jika kau bisa meyakinkannya bahwa kau tidak berbahaya, mungkin kau bisa kembali."
Mereka akhirnya tiba di tempat putri aralyn yang dibangun dari es dan salju, bersinar di bawah sinar bulan. Eira menelan ludah, suasana di dalamnya sangat anggun, tetapi dia bisa merasakan tekanan di udara.
'' Putri Aralyn: Seorang putri kerajaan yang dikhianati oleh keluarganya sendiri dan dituduh sebagai penyebab keruntuhan kerajaan Ardhotalia,karena ramalan menyebutkan ia memiliki darah sihir,yg membuatnya harus melarikan diri ke lembah luthanor tempat penyihir buangan, tetapi dia selalu menjaga kerajaan ardhotalia dari kejauhan."
"Masuk," Kael memerintahkan, membuka pintu besar yang terbuat dari es. Suara gemerincingnya memecah keheningan.
Di dalam, Aralyn duduk di kursinya yang terbuat dari es berkilau, dikelilingi oleh beberapa pria lainya mungkin para penasihat atau penjaganya,Raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan ketika melihat kedatangan Kael dan Eira.
"Apa yang kau bawa, Kael?" Aralyn bertanya, suaranya tegas dan tajam.
"Dia bukan musuh, putri," Kael menjawab, berusaha meyakinkan. "Dia terjebak di dunia kita. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa sampai di sini."
Aralyn menatap Eira, matanya tajam seperti pedang. "Apa yang kau inginkan di sini, gadis asing?"
Eira berusaha berbicara, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokannya. "Aku… aku hanya ingin mencari tahu bagaimana aku bisa berada disini" ujarnya akhirnya, suaranya bergetar.
"Putri aralyn melihat Eira dengan tatapan tajam. "Jika kau tidak memiliki niat buruk, mengapa kau berada di hutan wilayah kerajaan ardhotalia,kau seorang mata-mata?" Kau seorang gadis setengah elf dan manusia apa kau berasal dari kerajaan refanfjall?
Eira menggigit bibirnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku tidak tahu. Aku tidak bermaksud mengganggu. Dan aku tdk tahu mengapa aku menjadi setengah elf, aku..yang aku tahu aku manusia murni,...Aku hanya—"
Berhenti!" Aralyn memotong, berdiri dari kursinya. Suara es yang retak menggema di seluruh ruangan. "Kau harus membuktikan bahwa kau tidak berbahaya, atau aku akan mengusirmu ke kegelapan abadi."
Kael melangkah maju, berdiri di sisi Eira. "Tunggu. Jika kita tidak memberikan kesempatan padanya, bagaimana kita bisa tahu?"
Aralyn menatap Kael dengan tajam, tetapi dia tidak mengalihkan pandangannya dari Eira. "Baiklah. Kau akan memiliki kesempatan. Tetapi jika kau berbohong, konsekuensinya akan sangat berat."
Eira merasa seolah-olah terjebak dalam permainan berbahaya. "Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya, suaranya rendah.
"Uji sihirmu," Aralyn menjawab. "Buktikan bahwa kau tidak memiliki kekuatan yang bisa membahayakan kerajaan."
Eira terdiam, pikirannya berputar. Dia tidak memiliki sihir. Dia hanya seorang gadis biasa dari dunia yang berbeda. "Tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak memiliki kekuatan."
"Jika kau tidak bisa, maka kau akan memilih untuk pergi," Aralyn menantang, suaranya penuh tantangan.
Kael menatap Eira dengan dingin namun ada sedikit harapan di wajahnya"lalukan saja apa yg kau bisa nona."
Eira merasakan sedikit kekhawatiran di dalam dadanya, namun ada dorongan untuk membuktikan dirinya bahwa dia tidak memiliki sihir apapun atau mungkin dia memiliki sihir didunia ini,. "Baiklah," katanya tegas. "Aku akan mencoba." Eira tidak tahu bahwa disana kehidupan dan kepribadian nya berubah.
Dia melangkah maju, merasakan energi di sekelilingnya. Mengumpulkan semua keberaniannya, dia menutup matanya dan membayangkan cahaya yang cerah. Dalam sekejap, sebuah cahaya berkilau muncul dari telapak tangannya, menyebar seperti bintang-bintang di langit malam,bahkan efek dari cahaya itu mampu menumbuhkan tumbuhan di sekitar istana yg terbuat dari es itu.
Suara terkejut terdengar di seluruh ruangan. Aralyn terbelalak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Bagaimana… mungkin kau memiliki kekuatan seperti itu ?"
Eira membuka matanya, terkejut dengan apa yang baru saja dia lakukan. "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah bisa melakukan ini sebelumnya."
Kael hanya diam tanpa ekspresi apapun hanya sedikit kebingungan di wajahnya.""
Aralyn mengamati Eira dengan seksama. "Baiklah. Kau mungkin tidak berbahaya setelah semua ini. Namun, kau harus tetap berada di bawah pengawasan kami."
Eira mengangguk, merasa lega tetapi juga bingung. "Terima kasih. Aku hanya ingin mencari tahu bagaimana aku bisa berada disini,itu saja tuan putri"
"Hmmpp, untuk mencari tahu itu, aku akan membantu mencari tahu,siapa kau dan mengapa bisa berada disini," ucap Aralyn menambahkan, wajahnya serius namun
---
Eira menatap Kael, yang kini memandangnya dengan raut wajah sedikit bingung, meskipun sifat dinginnya perlahan mulai mengendur. Hening sejenak, hingga akhirnya Eira bertanya dalam hati, Apa yang harus aku lakukan?
Putri Aralyn melangkah lebih dekat, suaranya terdengar serius namun penuh tekad. "Ada makhluk jahat yang mengincar kerajaanku. Bahkan aku sendiri diusir karena memiliki sihir. Aku dituduh sebagai penyebab kehancuran kerajaan ini. Aku ingin membangunnya kembali, dan saat ini aku mencari orang-orang yang memiliki sihir untuk membantuku. Aku ingin kau ikut denganku, mencari dan memburu makhluk jahat itu—termasuk naga terakhir."
Eira merasa hatinya berdebar, begitu banyak yang harus dicerna dalam waktu singkat. Dia tidak pernah membayangkan dirinya akan terlibat dalam peperangan sebesar ini. "Tapi aku... aku hanya seorang gadis biasa," suara Eira hampir tenggelam dalam keraguan.
Kael menatapnya, wajahnya tetap dingin, namun ada sedikit senyum tipis yang tersungging di bibirnya. "Kau lebih dari itu," katanya, suaranya terdengar tegas meski tanpa emosi. "Kau memiliki potensi. Kami akan membantumu menemukan kekuatanmu." Ucap Kael, sedikit acuh tak acuh, namun kata-katanya tetap menggugah.
Eira menatapnya, merasa dorongan kuat untuk menjalani petualangan ini. Ada rasa tak pasti, namun juga rasa ingin tahu yang besar. "Ummm... Baiklah. Aku akan mencoba membantu sebisa mungkin," jawabnya, suara lebih mantap.
Putri Aralyn tersenyum, meskipun di wajahnya masih ada kesan tajam dan tegas. "Bagus. Sekarang, mari kita persiapkan diri untuk menghadapi ancaman yang akan datang."
"Kini Eira berdiri di antara dua dunia, dia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dia baru saja memulai perjalanan yang akan mengubah takdirnya selamanya.
"Chap 02,selesai, nanti aku akan lanjut chapter 03 yah, "
Terimakasih, selamat membaca,semoga suka:)
"Eira Dan Takhta Cahaya Ardhotalia"
"By;utayysam."