Chereads / LOVE IN TWO ERAS / Chapter 30 - Cinta dalam Dua Jaman

Chapter 30 - Cinta dalam Dua Jaman

Pagi itu, Alia duduk di meja kerjanya, memandang halaman-halaman buku yang telah selesai ia tulis. Buku tentang Maya dan Johannes, kisah yang telah mengubah hidupnya, kini akhirnya selesai. Buku itu bukan sekadar cerita cinta yang terlarang antara dua dunia yang berbeda, tetapi juga sebuah perjalanan pribadi yang mengajarkan Alia tentang arti cinta, kehilangan, dan penerimaan. Kisah mereka kini bukan lagi sekadar kenangan dari masa lalu, tetapi sebuah warisan yang menghubungkan dua zaman yang terpisah oleh waktu.

Di luar jendela, matahari pagi menyinari kota dengan lembut, menciptakan atmosfer yang penuh harapan. Alia merasa sebuah kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dia tahu bahwa perjalanan hidupnya telah mengarah pada titik ini, tempat di mana segala sesuatu terasa begitu sempurna. Semua rasa sakit, keraguan, dan kehilangan yang ia alami dalam proses penulisan buku itu, kini terbayar dengan kebahagiaan yang datang begitu murni.

Dua bulan telah berlalu sejak buku itu diterbitkan. Peluncuran buku berjalan sukses, dan banyak orang yang terinspirasi oleh kisah Maya dan Johannes. Tak sedikit pembaca yang menghubungi Alia, mengungkapkan betapa mereka merasa terhubung dengan cerita itu. Kisah cinta yang terhalang oleh waktu dan perbedaan ras, namun tetap hidup dalam kenangan, memberi banyak orang pemahaman baru tentang arti sejati dari cinta yang abadi.

Namun, meskipun buku itu telah menyentuh banyak hati, bagi Alia, ini adalah akhir dari sebuah perjalanan yang lebih dalam. Kisah Maya dan Johannes bukan hanya mengubah cara ia melihat dunia, tetapi juga membuka mata hatinya sendiri untuk merasakan dan menerima cinta dalam hidupnya.

Setelah peluncuran buku itu, Alia merasa seperti hidupnya memasuki babak baru. Dia tidak lagi terperangkap dalam kenangan masa lalu atau rasa kehilangan yang mengganggunya. Dia merasa lebih kuat, lebih siap untuk menghadapi masa depan yang penuh kemungkinan. Dan yang lebih penting lagi, dia mulai membuka hatinya untuk seseorang yang telah lama hadir di sisinya—Nico.

Nico, seorang teman lama yang telah lama membantu Alia dalam proses penelitian dan penulisan buku ini, telah menjadi lebih dari sekadar kolega. Selama bertahun-tahun, mereka bekerja bersama, berbagi ide, dan saling mendukung. Nico selalu ada untuknya, meskipun tanpa pernah meminta apa-apa. Dan Alia, yang selama ini terlalu terfokus pada pekerjaan dan pencariannya akan makna cinta sejati, akhirnya menyadari sesuatu yang sangat penting—bahwa cinta itu ada di depan matanya, selama ini.

Sejak beberapa minggu terakhir, Alia dan Nico mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang dulu hanya mereka impikan. Mereka tertawa, berbicara tentang banyak hal, dan mendalami perasaan mereka satu sama lain dengan cara yang tulus dan penuh kepercayaan. Ini adalah cinta yang tidak terhalang oleh waktu atau perbedaan. Cinta yang tumbuh begitu alami, tanpa harus dipaksakan, dan terasa begitu tepat.

Pagi itu, Nico datang ke rumah Alia untuk menjemputnya. Mereka berencana untuk mengunjungi sebuah galeri seni yang baru dibuka di pusat kota. Alia merasakan kebahagiaan yang sederhana namun dalam saat Nico mengetuk pintu rumahnya. Ketika dia membuka pintu, dia melihat senyum hangat Nico, dan hatinya berdebar dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Cinta ini, cinta yang telah lama menunggunya, akhirnya menemukan jalannya.

"Pagi, Alia. Siap untuk petualangan hari ini?" Nico tersenyum, matanya bersinar cerah.

Alia tertawa kecil. "Siap, tapi sebelum itu, aku ingin memberitahumu sesuatu."

Nico memandangnya dengan penuh perhatian. "Apa itu?"

"Terima kasih," jawab Alia, "Terima kasih telah ada di sini selama ini, mendampingiku melalui semua ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku tidak pernah bertemu denganmu."

Nico mendekat, menyentuh tangan Alia dengan lembut. "Aku juga berterima kasih, Alia. Mungkin kita memang sudah ditakdirkan untuk bertemu. Cinta itu memang tak selalu datang dengan cara yang kita harapkan, tapi kadang ia datang dengan cara yang paling sederhana dan tulus."

Alia merasa matanya berkaca-kaca. Dia menyadari, bahwa selama ini dia mencari cinta dalam bentuk yang besar dan dramatis, seperti yang ada dalam kisah Maya dan Johannes. Namun, kini dia menyadari bahwa cinta sejati itu bisa datang dengan cara yang lebih sederhana—melalui kehadiran seseorang yang selalu ada di sisinya, yang menerima dia apa adanya, yang mendukungnya dalam setiap langkahnya.

Hari itu, mereka menghabiskan waktu berdua, berjalan di galeri seni yang penuh dengan lukisan-lukisan indah. Alia merasa seperti dunia ini milik mereka berdua—sebuah dunia yang penuh dengan warna, seni, dan cinta. Nico tak hanya menjadi bagian dari kehidupannya, tetapi dia juga menjadi inspirasi yang membuat Alia merasa lebih hidup, lebih bermakna. Tidak ada lagi keraguan dalam hatinya. Cinta sejati itu hadir dalam bentuk yang ia butuhkan, dalam bentuk yang sederhana dan nyata.

Malam itu, ketika mereka duduk di sebuah kafe, menikmati secangkir kopi hangat, Alia memandang Nico dengan penuh rasa syukur. "Kamu tahu, Nico," katanya pelan, "Setelah semuanya selesai—setelah perjalanan ini berakhir—aku merasa bahwa aku sudah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar kisah cinta masa lalu. Aku menemukan cinta yang nyata, cinta yang bisa aku jalani denganmu."

Nico tersenyum lembut, meraih tangan Alia dan menggenggamnya erat. "Aku juga merasa hal yang sama, Alia. Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi kita bisa menciptakan masa depan kita sendiri. Aku ingin masa depan itu bersamamu."

Alia merasakan hatinya berdebar. Cinta ini—cinta yang tumbuh dengan kesabaran, kepercayaan, dan pengertian—adalah cinta yang tak pernah padam. Bahkan meskipun kisah Maya dan Johannes tak pernah berakhir dengan cara yang mereka inginkan, cinta mereka tetap hidup dalam hati Alia. Dan kini, cinta yang baru ini, cinta yang ia temukan dengan Nico, adalah bukti bahwa cinta sejati itu selalu ada, tak peduli seberapa banyak waktu yang telah berlalu.

Malam itu, Alia dan Nico duduk berdampingan, berbicara tentang masa depan mereka, tentang impian dan harapan yang mereka bagikan. Cinta mereka mungkin tidak seperti kisah-kisah besar yang sering diceritakan, tetapi bagi Alia, itu adalah cinta yang sempurna. Cinta yang tidak mengharuskan mereka untuk berubah menjadi siapa pun selain diri mereka sendiri. Cinta yang tidak terhalang oleh waktu atau masa lalu, tetapi mengalir begitu alami.

Alia tahu bahwa kisah Maya dan Johannes adalah bagian dari dirinya, bagian dari perjalanan hidupnya. Namun, kini dia juga tahu bahwa cinta sejati itu bukanlah sesuatu yang terhalang oleh waktu. Cinta sejati itu hadir, tumbuh, dan berkembang—terhubung, meskipun terpisah oleh jarak, waktu, dan perbedaan.

Dan dengan Nico di sisinya, Alia merasa bahwa cinta itu akan terus hidup, tak pernah padam, dalam dua zaman, dalam dua hati yang saling mencintai.

 *****The End*****