Chereads / Mafia's Little Flower / Chapter 1 - pain and new things

Mafia's Little Flower

🇮🇩nurfaida_sambuaga
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 342
    Views
Synopsis

Chapter 1 - pain and new things

Warning!!

Cerita ini mengandung tema dark romance, diperuntukkan bagi pembaca berusia 18 tahun ke atas.

Mengandung kata-kata vulgar, seks, kekerasan, dan sebagainya, jadi harap diperhatikan.

Jangan lupa untuk memberikan vote, ya! Heheh🙏

Ini adalah cerita pertama saya, semoga kalian suka☺️

Be brave, keep doing good, behind goodness there is luck and miracles.. — "Rannia Agatha"

---

Rannia:

Rannia Agatha adalah seorang gadis mungil berusia 22 tahun, dengan rambut pirang panjang, kulit putih, bibir merah seperti mawar, dan mata ungu tua. Dia tinggal bersama ayah dan ibunya di sebuah rumah sederhana di kota Milan, Italia. Namun, hari itu, kesedihan datang menghampiri Rannia dan ayahnya.

"Rannia, kemarilah. Ibumu ingin berbicara padamu," ucap ayah Rannia yang bernama Cosnova.

Saat mendengar ayahnya memanggil, hatinya mulai tidak karuan, dan pikirannya melayang kemana-mana.

"Ya, ayah. Baiklah." jawabnya sambil melangkah menuju kamar ibunya.

---

"Ibu, bagaimana keadaanmu? Kau sudah merasa lebih baik?" tanyanya, meskipun dia tahu ibunya sedang tidak baik-baik saja.

"Rannia, kemarilah nak. Ibu punya sesuatu yang harus ibu sampaikan padamu. Aku tahu ini akan sangat membantumu menjalani hari-harimu. Kemarilah dekat, nak," kata ibunya, Ellena.

Rannia pun duduk di samping ibunya dan menggenggam tangannya.

"Apa yang ingin ibu sampaikan? Aku selalu siap mendengarkanmu," katanya dengan senyum kecil yang terpaksa ia paksakan. Ia tahu apa yang akan disampaikan ibunya, dan ia berusaha agar air matanya tak jatuh. Tidak sekarang, pikirnya dalam hati.

---

"Rannia, berjanjilah padaku, kau akan selalu menjadi gadis baik yang cantik. Kau tahu, jika kau terus berbuat baik, maka keberuntungan dan keajaiban akan selalu menghampirimu. Maukah kau menuruti permintaan terakhir ibu?" kata ibunya dengan suara yang lembut.

Hati Rannia terkejut mendengar kata-kata ibunya, matanya melebar. Ia berusaha tenang dan memaksakan senyumnya dengan setulus mungkin, meskipun dalam hatinya terasa hancur.

"Baik ibu, tentu saja aku akan menuruti permintaan ibu. Aku sangat menyayangi ibu," jawabnya sambil menahan air mata yang hampir jatuh.

---

"Ibu sangat menyayangi kamu, nak. Ibu sangat menyayangi ayahmu. Tolong, rawatlah ayahmu seperti ibu merawatmu selama ini." kata ibunya, sambil memegang tangan Rannia.

"Ya ibu, tentu saja aku akan merawat ayah dengan baik. Ayah juga sangat menyayangi ibu, begitu juga aku. Aku akan selalu menjadi gadis yang baik untuk ibu. Aku akan melakukan semua yang telah ibu ajarkan padaku. Aku akan berani dan terus berbuat baik," jawab Rannia sambil tersenyum, meskipun ia merasa sangat terkejut saat melihat ibunya menutup mata.

Rannia memanggil ibunya, namun tak ada jawaban. Dalam kebingungannya, ia memanggil ayahnya dengan panik.

"Ibu, ibu, kau baik-baik saja? Apa kepalamu sakit? Ibu?" teriaknya, namun ibunya tak memberi respons. Rannia mulai merasa panik.

Akhirnya, ia menyadari bahwa ibunya sudah tidak bernapas lagi. "Ibu… ibu…" tangisnya pecah. Ayahnya datang dan memeluknya dari belakang, menyatakan penyesalan yang mendalam.

---

Sejak saat itu, ayahnya menjadi pendiam, sering mengajak Rannia untuk ke makam ibunya. Rannia berharap suatu saat ayahnya bisa kembali tersenyum lebar seperti biasanya.

---

Setahun Kemudian

Hari ini, setelah bekerja di toko roti, Rannia pulang dengan tubuh yang lelah. Begitu tiba di rumah, ia terkejut melihat ada seorang wanita dan dua gadis yang hampir seusia dengannya di rumah. Ayahnya juga tampak ada di sana.

"Rannia, kau sudah kembali. Kemarilah, nak. Ayah ingin memperkenalkanmu dengan Ms. Amber dan kedua putrinya, Nona Alya dan Nona Alita," kata ayahnya dengan senyum lebar.

Rannia terkejut melihat ayahnya tersenyum lagi setelah sekian lama. Namun, ia berusaha tenang dan menyapa mereka dengan ramah, meski hatinya penuh pertanyaan.

"Oh, hai Ms. Amber, senang bertemu denganmu. Juga Alya, Alita, senang bertemu kalian di sini," sapa Rannia dengan sopan.

Tiba-tiba, Alya dan Alita mengejeknya.

"Hei, kau sangat pendek seperti shortcake! Hahah..." ejek Alya.

Ms. Amber hanya tertawa dan berkata, "Diam, anak-anak. Tidak baik menyapa saudari tiri kalian seperti itu."

Rannia terkejut. "Saudari tiri? Ayah menikah lagi tanpa memberitahuku?"

---

Ayahnya menjelaskan bahwa Ms. Amber sudah menjadi istrinya dan Alya serta Alita akan menjadi saudari tirinya. Rannia terdiam, merasa seperti dihantam batu. Tidak tahu harus berkata apa.

S-saudari tiri? Apa maksudnya? Maaf, jika aku boleh bertanya, ayah?"

"Rannia, maaf, Ayah tidak sempat mengatakannya. Ms. Amber sudah menjadi istri Ayah, dan Alya serta Alita akan menjadi saudari tirimu. Ayah harap kalian bisa akur," ucap Ayah Rannia dengan penuh harap agar keluarga baru ini bisa bersatu.

Aku terkejut. Ayahku sudah menikah lagi? Sejak kapan? Aku benar-benar terkejut. Aku hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

"Baiklah, Ayah rasa sudah cukup perkenalannya. Ayah harus kembali bekerja karena pekerjaan di kantor menumpuk. Aku harap kalian bisa hidup rukun di rumah sederhana ini, Ladies," ujar Ayah Rannia, yang lalu pergi begitu saja keluar rumah, masuk ke dalam mobilnya, dan melaju pergi.

"Sial! Mengapa aku harus ditinggal bersama orang-orang aneh ini yang tidak punya adab saat berbicara?" gerutuku dalam hati.

"Hei, Shortcake! Tidakkah kau berpikir untuk mencari, membuat, atau membelikan kami makan malam? Kami lapar! Sambutlah keluarga barumu dengan baik," ejek Alya.

"Benar, apa yang dikatakan anakku memang benar. Pergi dan carilah makan malam untuk kami, Pajarita!" ujar Ms. Amber, mengejekku dengan memanggilku 'Pajarita' (burung kecil).

"Damn it! Baru jadi keluarga sudah menyuruhku seperti pembantu," gerutuku lagi dalam hati, merasa kesal.

"Hmm... Baiklah, aku... aku akan mencari sesuatu untuk kalian. Maaf atas ketidaknyamanannya," ujarku dengan terpaksa, lalu segera keluar rumah untuk mencari makan malam. Sejujurnya, aku sangat lelah baru pulang kerja dan mendapatkan kabar buruk seperti ini. Huh!

Aku mulai berjalan tanpa tujuan, tidak tahu apa yang harus dibeli dan dibawa pulang. Seharusnya aku bertanya pada mereka apa yang mereka inginkan untuk makan. Sial! Aku berjalan tanpa arah.

Hingga akhirnya aku melihat pedagang pizza dan lasagna di pinggir jalan kota Milan. Aku memutuskan untuk membeli itu saja. Terserah mereka mau makan atau tidak, aku tidak peduli," ucapku sambil mendekat dan memesan beberapa kotak pizza dan lasagna.

Setelah beberapa saat, akhirnya pesanan selesai. Aku mengambil dan membayarnya, juga membeli beberapa telur di minimarket untukku. Setelah itu, aku mulai berjalan pulang. Aku memutuskan untuk mengambil jalan pintas lewat depan hotel bintang lima agar lebih cepat sampai ke rumah. Aku terus berjalan dengan santai, mencoba menghibur diri untuk menghilangkan rasa lelahku.

Namun, saat aku sedang berjalan riang... Duaark! Aku terjatuh ke tanah dan terduduk.

---

Seorang pria besar dan tinggi, dengan tubuh berotot, bahu lebar, dan pinggang ramping, mengenakan setelan jas serba hitam, berdiri di hadapanku.

"Apa kau tidak punya mata, Nona? Huh?" ucap Alaendro dengan menyipitkan matanya.

Suara pria itu bergema di telingaku, membuatku langsung terbangun dan berdiri. Ketika melihatnya, aku semakin terkejut. Ya ampun, Rannia bodoh! Apa yang kau lakukan? Menjatuhkan telur-telur itu di pakaian mahal pria ini... gerutuku dalam hati, mengutuk diriku sendiri. Sial...

"Hmph, a-aku... s-sorry, sir, I didn't mean to, really..."

Alaendro berdiri di hadapanku, memperhatikanku dengan tajam. Dia terkejut melihat betapa mungil dan rapuhnya aku.

"Astaga, dia sangat mungil dan rapuh, tapi sangat cantik. Aku bisa mengangkatnya dengan satu tangan, lalu membantingnya ke tempat tidur. Bagaimana rasanya...? Ah, sialan, pikiran macam apa ini... Cih!" ucapku dalam hati, memandangi gadis kecil di hadapanku.

"Kau bilang tidak sengaja? Tapi apakah kau tidak punya mata? Huh? Kau tidak melihat kalau jas ini sudah kotor? Apa yang akan kau lakukan? Bisa menggantinya?"

Astaga, mana mungkin aku bisa mengganti jas mahal itu? Gajiku saja pas-pasan... Cih, Rannia bodoh... pikirku, semakin mengutuk diri sendiri.

"Hmm... a-aku memang tidak bisa menggantinya, Tuan. Tapi... kemarilah."

Tanpa pikir panjang, aku menarik lengan pria itu. Lengan yang berisi dan kekar... bagaimana rasanya jika dia menjebakku di tembok...? Eh, sial! Kenapa aku berpikir seperti ini?! pikirku cemas, sambil berusaha menepis pikiran buruk itu.

Aku menariknya ke sisi jalan yang ada bangku jalannya, lalu aku naik dan berdiri di atas bangku. Dengan hati-hati, aku mulai membersihkan pecahan telur yang menempel di jas mahalnya, berharap ini bisa meredakan kemarahannya.

Apa yang gadis ini pikirkan? Dia kira membersihkan ini akan menyelesaikan semuanya? Cih... Tapi... Astaga, tangannya sangat mungil, putih bersih, dan lembut. Rambut pirangnya, matanya yang berwarna ungu... dia benar-benar cantik. Seperti bunga kecil yang rapuh jika diterpa angin. Aku tak mengerti kenapa aku berpikir begitu, tapi gadis ini terasa begitu langka.

Setelah selesai membersihkan pecahan telur dengan tisu basah, aku menyemprotkan parfum milikku yang beraroma manis, seperti vanila cake. Aku tahu ini parfum murahan, tapi setidaknya bisa menutupi bau telur itu.

"Baiklah, Tuan. Ini sudah selesai. Aku sudah membersihkannya. Setidaknya sekarang tidak bau telur lagi. Maaf aku menabrakmu."

Dia menyemprotkan parfum ini. Apa dia sengaja ingin membuatku gila dengan terus mencium aroma parfumnya? Sialan, gadis ini... Apakah dia ingin membunuhku? Hah...

"Ya, mungkin ini terlihat bersih, dan harum parfum murahanmu ini. Tapi kau pikir kita sudah selesai? Ada cara lain, kan?" kataku, sedikit kejam. Tapi aku tak bisa menunjukkan kelembutanku padanya. Aku adalah seorang bos mafia. Aku tidak akan tunduk di depan gadis seperti ini.

Huh, sialan. Pria kaya sombong macam dia. Kalau aku tahu, aku tak akan menyemprotkan parfum ini. Biarkan saja dia bau telur... gerutuku dalam hati, merasa jengkel.

"Hmm, apa lagi, Tuan? Aku sudah membersihkannya. Setidaknya sekarang tidak bau telur. Aku tahu ini parfum murahan. Aku tidak punya pilihan."

Sialan, dia cemberut seperti itu. Semakin adorable. Aku ingin sekali menciumnya. Bibirnya yang merah itu... Dia begitu mungil, seperti porselen. Bagaimana rasanya jika aku menggendongnya? What the hell! Apa-apaan ini? Alaendro, jangan berpikir seperti itu! Fokus pada apa yang harus dilakukan dengan gadis kecil ini...

"Tentu saja, kita belum selesai. Aku sedang memikirkan hukuman apa yang pantas untuk gadis yang tidak berhati-hati sepertimu, supaya kau bisa menggunakan mata cantikmu itu dengan lebih baik."

Apa?! Dia ingin menghukumku? Astaga, mimpi buruk macam apa ini? Tidak, tidak, aku tidak mau. Di sini, pria ini, di rumahku, bersama ketiga wanita yang tidak punya sopan santun... Ya Tuhan, ini ujian macam apa? Aku merasa kacau. Mungkin lebih baik jika aku melarikan diri... Ya, itu satu-satunya jalan.

"Hmm... T-Tapi Tuan, kau tahu aku hanyalah gadis mungil dan sederhana. Aku sudah tidak punya ibu. Begitu tegakah kau menghukumku?" Aku tahu ini terdengar menggelikan dan menjijikan, tapi aku hanya mencoba mengalihkan perhatiannya, lalu berlari sejauh-jauhnya.

---

Aku terkejut saat dia mengatakan bahwa dia tidak punya ibu. Refleks, aku mengangkat sebelah alisku, sedikit geli mendengar pernyataannya, meski rasa kasihan mulai menyeruak. Tapi... apa aku langsung menyeretnya masuk ke mobilku? Tidak!. Aku cepat-cepat menggelengkan kepala, menepis pikiran liar yang tak seharusnya terlintas.

Dia termenung. Apakah dia merasa kasihan padaku? Ah, ini kesempatanku. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku segera berlari sejauh mungkin. Namun, sebagai gadis yang baik, aku tetap mengucapkan salam perpisahan.

"See you again, sir! Sorry, bye!" teriakku sambil terus berlari. Aku memastikan suaraku cukup keras agar dia mendengarnya.

Alaendro

"Apa? Dia berlari? Tunggu... melarikan diri?!" pikirku, terkejut hingga hanya mampu berdiri mematung di tempat. Tindakannya begitu cepat, aku bahkan tak sempat bereaksi.

"Boss, perlu kami kejar gadis itu? Seret saja dia ke hadapanmu sekarang. Perintah saja, Boss, kami pasti menangkapnya," ucap salah satu anak buahku, membuyarkan lamunanku.

Aku menoleh. "Tidak, tak perlu! Biarkan saja dia lari kali ini. Lagipula sudah malam. Bunga kecil itu pasti butuh istirahat. Tapi besok pagi, cari tahu segalanya tentang dia. Aku ingin tahu siapa dia. Aku yakin, kami akan bertemu lagi. Entah secara kebetulan... atau aku sendiri yang mencarinya," ucapku, menyeringai tipis.

"Baik, Boss. Besok kami akan menyelidiki semuanya tentang gadis itu. Sekarang, mari kembali. Zander dan Alex sudah menunggumu di Gedung Grattacielo Pirelli. Ada banyak hal yang harus diurus malam ini, terutama tentang pangkalan."

Aku mengangguk. "Baiklah, ayo pergi."

Namun, sepanjang perjalanan, bayangan gadis kecil itu terus menghantui pikiranku. Wajahnya, tatapannya, semuanya berputar-putar di kepala. Apa-apaan ini, Alaendro? Aku sudah sering berurusan dengan wanita, tapi kali ini... rasanya sungguh berbeda.

"Damn it!" aku menggerutu, mengutuk diriku sendiri karena terlalu terpaku padanya. Cih!

Chapter 1 – Tamat.

Terima kasih telah membaca. Nanti aku lanjutkan lagi! 🌻 Mohon maaf jika masih ada kekurangan.