"Wah, Azhar masih piket?" Suara Bapak Fahmi menggema di dalam kelas yang kosong. Guru matematika itu, dengan wajah awet mudanya yang selalu tampak lebih seperti kakak senior daripada seorang guru, berdiri di ambang pintu sambil menjinjing tasnya yang setengah terbuka.
"Iya, Pak," jawab Azhar tanpa mengalihkan pandangan dari lantai yang masih disapunya dengan pelan. Anak laki-laki berumur sepuluh tahun itu satu-satunya yang tersisa di kelas, menyelesaikan tugas piketnya sendirian.
Bapak Fahmi hanya mengangguk kecil, lalu berjalan ke meja guru untuk mengambil buku-bukunya yang berserakan. "Apa nggak takut sendirian? Ini nanti pulangnya agak telat, loh."
Azhar berhenti sejenak, lalu menyandarkan sapunya ke dinding. "Udah biasa, Pak," jawabnya singkat sambil meraih tasnya yang tergeletak di kursi. "Lagian Khalisa sama yang lain udah duluan. Kenapa, Pak?"
"Ah, nggak apa-apa kok, Zhar," jawab Bapak Fahmi santai, sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dengan satu tangan. Tangannya yang kekar—tapi entah kenapa tetap terlihat seperti tangan yang suka bikin teh manis di waktu senggang—bergerak luwes.
Setelah selesai, Bapak Fahmi mendekati Azhar dengan senyum khasnya yang ramah. "Azhar, apa cita-citamu nanti?" tanyanya tiba-tiba, seolah topik ini sudah ada di pikirannya sejak pagi.
Azhar menghentikan langkahnya sejenak. Cita-cita? Dia mengerutkan kening, berusaha memikirkan jawaban yang tepat. Tapi nihil. Akhirnya dia mengangkat bahu dan malah balik bertanya, "Kenapa emangnya, Pak?"
"Cita-cita itu penting," jelas Bapak Fahmi dengan nada penuh semangat, seperti sedang membahas soal matematika favoritnya. "Biar nanti kalau kamu udah gede, nggak bingung mau jadi apa."
Azhar menatap lantai untuk menghindari tatapan sang guru. "Hmm... belum kepikiran," jawabnya pendek, mencoba mematikan topik pembicaraan. Tapi Bapak Fahmi tetap keukeuh, jelas tidak akan menyerah begitu saja.
"Hadeh," guru itu mengusap dahinya sambil tersenyum tipis. "Kenapa nggak ada?"
Azhar menghela napas, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Karena Azhar nggak berbakat dalam apa pun, Pak." Jawabannya polos, tapi ada nada sedikit pasrah di sana.
Mendengar itu, Bapak Fahmi tertawa kecil. "Lah, emangnya kamu udah coba apa aja?"
Azhar mengangkat bahu lagi. "Belum ada."
Bapak Fahmi mengerutkan alisnya, lalu memasang ekspresi setengah bingung, setengah geli. "Kalau gitu, bukan nggak berbakat, Zhar. Itu mah kamu aja belum nyoba! Nih ya," katanya sambil duduk di meja guru dan menatap Azhar dengan serius, "Hobi kamu apa?"
Azhar terlihat bingung dengan pertanyaan itu. "Hobi ya, Pak?" Dia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
Azhar berpikir sejenak, lalu menjawab, "Main HP."
Bapak Fahmi tertegun, lalu menatapnya dengan ekspresi campuran antara bingung dan geli lagi. "Main HP? Serius? Itu hobi?"
"Iya, Pak. Kalau nggak main game, ya scroll TikTok," jawab Azhar santai, seperti itu adalah hal yang paling wajar di dunia.
Bapak Fahmi terkekeh sambil menggeleng. "Wah, kalau gitu cita-citanya jadi apa? Pro player? Atau influencer TikTok?" candanya, mencoba menghidupkan suasana.
Azhar menggaruk kepala, lalu nyengir kecil. "Mungkin admin akun meme, Pak."
Bapak Fahmi tak bisa menahan tawanya kali ini. "Astaga, admin akun meme. Baru kali ini Bapak dengar cita-cita model begitu. Eh, tapi serius, Zhar. Siapa tahu dari hobi main HP, kamu bisa nemuin bakatmu. Misalnya, jadi programer, desainer game, atau pembuat aplikasi keren."
"Eng, maksudnya?" Azhar yang daritadi mendengarkan penjelasan gurunya tidak bisa mengikuti, seolah-olah dia sedang menjelaskan sesuatu dengan bahasa yang rumit.
"Begini, kita ambil saja contohnya Khalisa, temanmu itu." Bapak Fahmi meletakkan telunjuknya di meja, membayangkan itu adalah Khalisa, putri kedua dari guru bernama Bu Nur yang juga mengajar disini.
"Hobinya adalah menggambar, dia bisa menjadi pelukis hebat dan menjual lukisannya." Sambungnya menatap anak didepannya, pria itu sedang mencoba menguraikan hal serumit tadi menjadi bagian-bagian yang lebih simpel atau sederhana.
"Jadi tidak perlu repot-repot belajar hal baru, tinggal gunakan hal yang kau sukai sebagai hobi dan buat itu menjadi kerjaan sehari-hari!"
Azhar berpikir sejenak, lalu mengangguk faham sambil tersenyum. Mungkin benar, jika ingin lebih mudah dia harus tau keahliannya dalam satu bidang dan memanfaatkan itu, tapi untuk sekarang, langkah kakinya terasa lebih ringan saat meninggalkan kelas bersama-sama.
Sepulang sekolah, Azhar segera mengganti seragamnya, lalu merogoh di bawah bantal untuk mengambil ponsel yang selalu ia sembunyikan di sana. Satu per satu notifikasi ia cek dengan mata berbinar, tapi... pikirannya terasa berat.
"Cita-cita itu penting." Kata-kata Pak Fahmi tadi siang terus berputar di kepalanya, seperti lagu yang sulit dilupakan.
Sambil duduk di kasur dan menatap langit-langit kamarnya, Azhar menghela napas panjang. "Cita-cita ya... aku sebenarnya mau jadi apa?"
Dia memandangi ponselnya, mencoba mencari jawaban, tapi yang ada malah memikirkan hal-hal yang selama ini ia lakukan. Main ponsel, makan, minum, tidur, mandi... dan itu saja. "Apa ada orang yang kerjaannya cuma itu?" pikirnya polos.
Lalu, sebuah pertanyaan muncul di benaknya, kali ini lebih serius. Tatapannya mengeras seketika. "Bagaimana cara menghasilkan uang?"
Azhar tahu mama dan bapak selalu bertengkar soal itu. Hampir setiap malam, suara mereka memenuhi rumah kecilnya. Bapak pulang kerja dengan wajah lelah, sementara mama selalu sibuk mengomel—kadang soal cucian, kadang soal bapak, dan kadang soal Azhar yang jarang membantu.
Namun, di tengah kegelapan pikirannya, sebuah cahaya kecil muncul. "Belum coba belum tahu," kata-kata seseorang yang dia ingat jelas tapi tidak tahu dari siapa. Azhar bangkit dari kasur, membuka lemari pakaiannya yang penuh barang-barang tak terpakai, dan menemukan buku gambar usangnya.
Senyum kecil muncul di wajahnya. Dia ingat dulu suka mencoret-coret saat bosan di kelas, sampai dimarahi teman sekelas dan guru. Dengan penuh semangat, dia mengumpulkan alat gambar—pensil warna yang ujungnya sudah tumpul dan penghapus yang setengah habis.
Azhar mulai menggambar. Tangan kecilnya bergerak dengan hati-hati, menciptakan garis demi garis. Ia menggambar sesuatu yang sangat disayanginya: keluarganya. Tapi tidak hanya keluarga. Di atas keluarga itu, ia menambahkan gambar dirinya sendirian, duduk sambil makan mie instan.
Azhar memandangi hasil karyanya, lalu tersenyum tipis. "Mungkin aku bisa jadi pelukis... atau bikin gambar lucu untuk orang-orang."
Di tengah ruangan yang sepi, Azhar merasakan sesuatu yang baru. Mungkin belum jelas apa itu, tapi setidaknya ia merasa sedikit lebih ringan.
"Azhar, cepat ke sini! Mama sudah masak telur dadar buatmu," suara mamanya menggema dari dapur. Suara itu sudah terlalu familiar di telinga Azhar, seperti bagian dari rutinitas harian yang ia hafal di luar kepala.
Azhar menoleh, menggenggam gambarnya dengan hati-hati, lalu bergegas ke ruang tengah. Ruangan itu adalah tempat yang sering digunakan untuk makan bersama—jika itu bisa disebut "bersama." Ruangannya lebih luas dari kamar lain, tetapi terasa kosong. Kamar tidur Azhar menyatu dengan kamar adiknya, Winda, meskipun tentu saja, mereka punya kasur masing-masing.
Dengan semangat, Azhar duduk di lantai dan menatap sepiring telur dadar yang sudah menunggunya. "Mah, lihat gambar Azhar! Baru aja selesai ngegambar," katanya penuh antusias, sembari menyodorkan kertas gambar yang tadi ia bawa.
Namun, harapan di matanya redup ketika mamanya hanya melirik sekilas sambil mengaduk sesuatu di dapur. "Bagus, kok," jawabnya singkat, tanpa benar-benar memperhatikan apa yang Azhar gambar. Wanita itu segera kembali ke dapurnya, seakan tak ada hal lain yang lebih penting daripada wajan di depannya.
Azhar menunduk tapi berusaha tegar, perlahan menarik kembali kertas gambarnya. "Ah, ya sudah," gumamnya, mencoba mengusir rasa kecewa yang mengendap. Dia tahu ini sudah biasa. Lagipula, makan sendiri bukan hal baru baginya.
Di sekelilingnya, suara rumah begitu sunyi. "Kalau jam segini, Winda pasti masih di tempat mengaji, dan Farid masih kerja," pikirnya.
Azhar memandang piringnya. Dalam keluarganya, Farid adalah anak sulung yang selalu dibanggakan karena sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Sementara Winda, meski lebih muda darinya, sudah pintar membaca tulisan Arab dan punya banyak teman. Dan Azhar?
Azhar mendesah pelan, matanya menatap kosong ke piring di depannya. Dia tahu apa yang sering orang tuanya pikirkan tentangnya—anak kedua yang tak punya prestasi, tak punya arah, hanya menjadi beban. Tapi dia sudah terlalu terbiasa dihiraukan. Tatapan dingin, perbandingan tak adil, dan perlakuan pilih kasih itu bukan lagi hal baru.
"Ya, anak seperti aku memang nggak ada gunanya," pikirnya, mencoba menelan rasa pahit yang sudah ia kenal sejak kecil.
Namun, lamunan itu terhenti tiba-tiba. Saat ia menggenggam sendok, sebuah rasa dingin menjalar di tangannya. Azhar menoleh, matanya membulat saat melihat sebuah luka berwarna biru muncul di punggung tangannya. "Hah—apa ini!?"
Panik, Azhar mengusap-usap tangannya, berharap warna itu hilang. Tapi usahanya sia-sia. Warna biru itu tetap ada, menyala samar seperti lampu kecil yang hampir padam. "Ini... ini bukan pensil warna..." katanya tergagap, jantungnya mulai berdegup lebih cepat.
Tak tahu harus berbuat apa, Azhar segera bangkit dari duduknya, berlari ke dapur untuk mencari mamanya. "Mah! Mah! Lihat ini! Ada yang aneh di tangan Azhar!"