Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

magical Isekai:the school of fate

Alextonalanomano
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
42
Views
Synopsis
Bercerita tentang seorang berwujud setengah naga yang terjatuh dari isekai dan bereinkarnasi menjadi pelajar disebuah sekolah sihir disana ia bertemu dengan beberapa teman baru dan mencari cara agar bisa kembali ke dunia asalnya.apakah ia bisa menemukan caranya? Penasaran? selalu tunggu cerita terbaru dariku dan follow untuk lebih lanjut:)

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - bab 1:siapa aku?

langit yang merah dan tanah yang berpasir itulah tempat kediaman ku dulu.aku tidak ingat mengapa aku bisa ada di dunia yang disebut bumi ini.seingatku aku tidak sengaja menyentuh portal yang terlarang dan membuatku terpental ke bumi.dulu aku merupakan orang dengan kekuatan terendah dibandingkan yang lainnya.aku hanya bisa menguasai beberapa magic saja.mungkin itu alasannya sensei guredo memberiku latihan untuk mempelajari ilmu,

menahan emosi dan sebagainya.namun,aku malas untuk mempelajari nya dan memutuskan untuk melarikan diri dan tanpa kusadari,aku menyentuh portal terlarang itu dan membuatku terjatuh ke bumi.itu membuat wujudku yang sebenarnya adalah manusia setengah naga menjadi manusia biasa.

lalu diriku diadopsi oleh keluarga kecil yang bahagia.saat ku remaja aku disekolahkan di sekolah magis yang besar dan dekat dengan rumah ku.saat pertama kali masuk sekolah,aku pun memperkenalkan diriku

Guru: "Baiklah, mari kita perkenalkan murid baru kita. Silakan berdiri di depan kelas dan katakan nama kamu."

Yusa: *berdiri dengan sedikit gugup* "Halo, semuanya. Nama saya Yusa na hachi."

Guru: "Baiklah, yusa. Sekarang silakan duduk di samping Ethan."

Ethan: *mengulurkan tangannya* "Hai, Yusa. Saya Ethan Silvershade. Senang bertemu denganmu."

Yusa: *menggenggam tangan Ethan* kita"Senang bertemu denganmu juga, Ethan."

Ethan: "Jadi, kamu baru di sini?"

Yusa: "Ya, ini hari pertama saya di sekolah ini. Saya agak gugup, sebenarnya."

Ethan: "Jangan khawatir, kamu akan cepat beradaptasi.oh iya ini temen masa kecilku namanya aria

Aria: "Halo, Yusa. Senang bertemu denganmu!"

Yusa: "Halo, Aria. Senang bertemu denganmu juga."

Guru: "Baiklah, mari kita lanjutkan pelajaran kita. Selamat datang di kelas, yusa.

Saat aku duduk ada seorang cewek yang ingin berkenalan dengan ku.namanya Aria Lumina, seorang yang baik dan terkenal di sekolah karena kepintaran nya.tidak heran kalau ia selalu didambakan banyak orang,membuat ku begitu iri dengannya.

rasanya aneh jika diriku yang bukan apa apanya berteman dengan seorang cewek pintar.lalu ia bertanya''apakah kamu pindahan dari sekolah lain?"

Lalu aku menjawab"ya aku murid pindahan dari sekolah lain,aku pindah ke sini karena lokasi nya dekat dengan rumah ku". "Oh begitu salam kenal ya" katanya

ketika istirahat tiba,aku pun diajak oleh Aria untuk makan bersama di kantin.saat di kantin ternyata aku lupa membawa dompetku.lalu tiba tiba ia mendekat dan meminjamkan ku uang,

"loh kok dia bisa tau aku tidak bawa uang"pikirku.lalu dia berkata"tidak usah dipikirin daripada kamu kelaparan nanti". setelah itu aku langsung membeli makanan dan langsung ke kelas.saat bel pulang berbunyi,aku,Aria dan Ethan memutuskan untuk pulang bersama.saat dijalan,aku melihat seekor kucing yang terkapar dipinggir jalan dengan badannya yang penuh dengan luka.karena tidak tega,aku pun membawa kucing tersebut untuk diobati.setelah ku obati beberapa hari kucing itu pun sembuh.namun aku terkejut ternyata kucing ini bisa berbicara dan ia berterima kasih pada ku atas pertolongan yang kuberikan pada kucing tersebut.lalu kucing tersebut berjanji padaku akan membantu masalah apapun yang terjadi padaku.keesokan harinya di Pagi itu, udara terasa segar meski sedikit dingin. Aku melangkah cepat menuju toko roti Bibi Jizo, tempat yang sudah menjadi langganan keluargaku sejak aku kecil. Aroma roti hangat bercampur dengan wangi mentega menyambutku begitu aku membuka pintu kayu tua yang berderit.

"Oh, tumben pagi-pagi begini, Yusa!" Bibi Jizo menyambutku dengan senyum ramah dari balik etalase kaca yang penuh donat dan kue-kue lainnya.

"Hehe, iya, Bi. Aku ada piket pagi di sekolah," jawabku sambil menggaruk belakang kepalaku, sedikit malu karena biasanya aku datang saat hampir siang.

"Wah, bagus! Anak rajin, ya. Donat cokelat seperti biasa, kan?" tanyanya sambil mengambil satu dari baki donat yang baru saja keluar dari oven.

"Iya, Bi. Itu favoritku," aku tersenyum sambil menghirup aroma manisnya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kucingmu? Sudah sembuh?" tanyanya sambil menyerahkan kantong kertas berisi donat.

*"Sudah lumayan, Bi. Dia sudah mulai lincah lagi."

"Syukurlah. Jangan sampai terlambat, ya. Cepat berangkat," katanya sambil melambaikan tangan.

"Siap, Bi. Terima kasih!" Aku melangkah keluar dengan hati ringan, ditemani aroma roti hangat yang masih tercium dari kantongku.

Di tengah perjalanan menuju sekolah, aku melihat Aria berjalan di depanku bersama seorang anak perempuan yang lebih muda. Aku mempercepat langkah dan menyapanya.

"Hai, Aria! Apa kabar?" tanyaku sambil tersenyum.

Aria menoleh dan membalas dengan ramah, "Hai, Yusa! Aku baik, kok. Kamu sendiri?"

"Baik juga," jawabku, lalu melirik ke arah gadis kecil di sampingnya. "Ini adikmu, ya?" tanyaku, penasaran.

Aria mengangguk sambil tersenyum lembut. "Iya, namanya Luna Seraphine. Kamu bisa panggil dia Luna."

Gadis kecil itu menatapku dengan mata ceria, lalu menjulurkan tangannya. "Halo, Kak Yusa. Salam kenal," katanya dengan suara riang.

Aku menjabat tangannya sambil tersenyum. "Salam kenal juga, Luna. Senang bertemu denganmu."

Aria tertawa kecil. "Dia memang suka kenalan dengan orang baru. Ayo, kita jalan bareng ke sekolah."

Aku mengangguk, lalu berjalan bersama mereka sambil menikmati obrolan ringan di sepanjang jalan.

Setelah sampai sekolah.aku pun langsung bergegas untuk mengambil tempat duduk paling depan disamping aria.

alasannya agar aku bisa mendengar penjelasan guru dengan jelas dan jika ada hal yang tidak kumengerti aku bisa bertanya pada aria.

Ketika aku duduk di samping Aria, ia menoleh ke arahku dan tersenyum tipis. Senyuman itu membuatku sedikit gugup, tetapi aku berusaha tetap tenang. Guru mulai menjelaskan pelajaran, dan aku berusaha fokus. Namun, pikiranku sesekali melayang pada Aria yang terlihat begitu serius mencatat di bukunya.

Saat pelajaran berakhir, aku memanfaatkan kesempatan untuk bertanya pada Aria.

"Aria, tadi aku kurang paham soal teori yang dijelaskan. Boleh aku minta penjelasan darimu?" tanyaku sambil menunjukkan catatanku.

Aria mengangguk, "Tentu. Bagian mana yang kurang jelas?"

Sambil ia menjelaskan, aku sadar bahwa suaranya begitu menenangkan, dan cara ia menjelaskan membuatku merasa lebih mudah memahami materi. Aku mulai berpikir, mungkin duduk di sebelah Aria bukan hanya soal pelajaran—ada sesuatu tentang kehadirannya yang membuatku merasa lebih percaya diri.

Namun saat memasuki pelajaran berikutnya,tiba-tiba pintu kelas terbuka. Seorang siswa baru masuk, dan suasana kelas langsung berubah. Wajahnya penuh percaya diri, dan ia tampak seperti seseorang yang sudah akrab dengan perhatian orang lain. Guru memperkenalkannya sebagai Ray, siswa pindahan yang akan bergabung di kelas kami.

"Ray, kau bisa duduk di kursi kosong di belakang yusa," kata guru sambil menunjuk kursi di belakangku.

Entah mengapa, saat itu aku merasa ada sesuatu yang berubah.

Ketika bunyi bel istirahat terdengar, aku bergegas menuju kantin, berencana makan bersama teman-teman. Namun, saat sedang berjalan, rasa sakit yang tajam tiba-tiba menjalar di tanganku. Aku berhenti sejenak, mencoba menahannya, tetapi rasa nyeri itu semakin kuat.

Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Di sana, aku menggulung lengan seragamku dan terkejut melihat bekas luka itu—bekas luka yang kudapat saat terlempar dari dunia lain, isekai itu. Luka itu seharusnya sudah hilang saat aku kembali ke dunia ini, tapi nyatanya masih ada.

Bukan hanya bekas lukanya, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ketika aku memusatkan perhatian pada tanganku, ada percikan energi yang terasa mengalir, meski lemah. Aku mencoba menggerakkan jariku dengan lebih fokus, dan seberkas cahaya tipis muncul.

"Jadi... kekuatan itu belum benar-benar hilang," gumamku pelan.

Namun, sebelum aku bisa merenungkan lebih jauh, pintu kamar mandi terbuka. Aku buru-buru menurunkan lengan seragamku. Seseorang masuk, dan betapa terkejutnya aku saat melihat siapa itu—Ray, siswa baru tadi pagi.

Dia menatapku dengan tajam, seolah tahu apa yang baru saja kulakukan. "Kau tidak pandai menyembunyikan rahasia, ya?" katanya, dengan nada suara yang membuat bulu kudukku meremang.

Saat aku berdiri diam, Ray mendekat dengan ekspresi datar tapi matanya seperti mengamati setiap gerakanku. "Kau pasti sudah sadar," katanya pelan.

Aku mengerutkan kening. "Sadar apa?"

Dia tidak langsung menjawab, malah menatap bekas luka di tanganku. "Energi itu... hanya mereka yang pernah terhubung dengan takdir bisa memilikinya."

Aku tidak mengerti apa yang ia maksud. Namun, sebelum aku sempat bertanya, suara pintu kamar mandi terbuka lagi, dan Aria masuk. Dia tampak terkejut melihat kami berdua di sana.

"Ray? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Aria, nadanya terdengar tegas meski ada sedikit kebingungan di wajahnya.

Ray hanya tersenyum tipis, lalu menoleh ke arahku. "Kau pasti sudah menyadarinya, kan, Aria? Kita memiliki takdir yang bertabrakan. Itulah mengapa aku di sini."

Aku menatap mereka bergantian, kebingungan dengan percakapan yang terasa seperti teka-teki. Aria menatap Ray dengan tajam, dan untuk pertama kalinya aku melihatnya serius—berbeda dari biasanya.

"Kalau begitu, jangan ganggu dia," jawab Aria, matanya menunjukkan sesuatu yang misterius. "Aku yang akan menjaga takdir ini tetap seimbang.

Setelah kembali dari kamar mandi, aku menuju kantin. Aria sudah duduk di sana, tersenyum tipis ke arahku. Saat aku duduk, ia mengedipkan mata, isyarat kecil bahwa rahasiaku aman bersamanya. Aku mengangguk pelan, merasa sedikit lega meski tetap penasaran dengan ucapan Ray sebelumnya.

Ketika bel masuk berbunyi, kami semua bergegas kembali ke kelas. Pelajaran berikutnya adalah penjaskes, dan Pak Luka, guru kami yang terkenal tegas tapi humoris.

"Baik, anak-anak! Hari ini kita akan belajar teori permainan basket, tapi setelah itu, kita langsung praktek. Jadi, ganti baju kalian sekarang!" katanya dengan suara lantang.

Aku dan teman-teman laki-laki bergegas ke toilet di sebelah kelas, sementara Aria dan yang lainnya menuju toilet di dekat ruangan kepala sekolah. Saat aku mengganti baju, tanganku kembali terasa sedikit panas. Bekas luka di tanganku berpendar sangat redup, cukup untuk membuatku gelisah.

Ketika aku keluar dari toilet, aku menangkap Ray sedang berdiri tidak jauh dari sana, matanya menatapku dengan pandangan sulit ditebak. Tapi sebelum aku bisa bertanya, ia sudah berbalik dan berjalan ke arah lapangan, seolah tidak terjadi apa-apa.