Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

SANG PELINDUNG DAN GADIS KECILNYA

🇮🇩Littlemawar
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
97
Views
Synopsis
Tangan kecil yang mungil itu sudah tergeletak lemas di pojok ruangan. Sementara kakek itu masih marah dengan menggila. "Sudah kubilang kau pembawa sial... pembawa sial! Apa kubunuh saja kau?!" raungnya sambil mondar-mandir di tengah ruangan yang remang. Vaira, gadis kecil berusia tujuh tahun, hanya bisa diam. Tubuhnya lemah dan penuh luka. Sudah sejak tadi kakeknya, Marhatsel, menghujani tubuhnya dengan pukulan, tendangan, dan bahkan injakan. Setiap kali melihat wajah Vaira, amarah Marhatsel seperti tersulut kembali. Ia muak, begitu muak pada cucunya sendiri. Anak yang telah dibesarkannya selama tujuh tahun itu telah membuatnya membenci dunia.
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 1 Disiksa

Tangan kecil yang mungil itu sudah tergeletak lemas di pojok ruangan. Sementara kakek itu masih marah dengan menggila. "Sudah kubilang kau pembawa sial... pembawa sial! Apa kubunuh saja kau?!" raungnya sambil mondar-mandir di tengah ruangan yang remang.

Vaira, gadis kecil berusia tujuh tahun, hanya bisa diam. Tubuhnya lemah dan penuh luka. Sudah sejak tadi kakeknya, Marhatsel, menghujani tubuhnya dengan pukulan, tendangan, dan bahkan injakan. Setiap kali melihat wajah Vaira, amarah Marhatsel seperti tersulut kembali. Ia muak, begitu muak pada cucunya sendiri. Anak yang telah dibesarkannya selama tujuh tahun itu telah membuatnya membenci dunia.

Flashback

Sekitar delapan tahun lalu, kehidupan Marhatsel berubah drastis. Putri semata wayangnya, Laura, pulang ke rumah dalam keadaan mengenaskan. Malam itu begitu dingin. Ketukan di pintu membangunkan Marhatsel yang sedang terlelap.

"Tok... tok... tok... Ayah! Ayah!" Suara putus asa itu bercampur isak tangis, membuat Marhatsel segera bergegas membuka pintu. Betapa terkejutnya ia melihat Laura berdiri di ambang pintu, tubuhnya berlumuran darah. Tulang pinggulnya terlihat tidak pada tempatnya, dan lebam memenuhi wajah serta tubuhnya.

"Kenapa bisa begini? Kamu dari mana?!" tanya Marhatsel panik sambil memapah tubuh putrinya masuk ke rumah.

"Sakit, Ayah... Sakit..." rintih Laura di tengah tangisnya yang memilukan.

Tanpa berpikir panjang, Marhatsel segera berlari mencari dokter di desa mereka. Tidak lama berselang, ia kembali bersama seorang dokter tua yang membawa peralatan medis sederhana. Dokter itu memeriksa Laura dengan seksama, lalu menatap Marhatsel dengan raut wajah serius.

"Putrimu... telah diperkosa," ucap dokter itu pelan namun tegas. Kata-kata itu menghujam hati Marhatsel seperti belati tajam. Tangannya mengepal, matanya memerah. Ia merasa dunianya hancur seketika.

Laura tidak pernah menceritakan siapa pelakunya. Trauma membuatnya bungkam. Seminggu berlalu, dan tubuh Laura mulai menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Marhatsel marah, kecewa, dan bingung. Namun, ia tidak punya pilihan selain merawat putrinya yang hancur.

Bulan demi bulan berlalu. Laura akhirnya melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Vaira. Namun, persalinannya begitu berbahaya akibat tulang pinggulnya yang rusak. Laura, dengan penuh keberanian, memilih untuk mempertahankan nyawa bayi itu meskipun ia tahu itu berarti kehilangan hidupnya sendiri.

Di saat-saat terakhirnya, Laura dengan napas lemah menggenggam tangan Marhatsel. "Ayah, aku mohon, rawatlah anak ini. Jadikan dia sebagai gantiku. Sayangi dia seperti Ayah menyayangiku," bisiknya penuh harap.

"Aku tidak mau menggantikanmu dengan siapapun. Bertahanlah, Sayang," jawab Marhatsel dengan tangis, membelai kepala putrinya.

"Aku sudah tidak kuat, Ayah," balas Laura pelan. Dan dengan kata-kata itu, Laura mengembuskan napas terakhir, meninggalkan bayi kecil bermata biru di pelukan Marhatsel. Bayi yang seharusnya menjadi simbol cinta, tetapi malah menjadi lambang kebencian di mata sang kakek.

Flashback Off

Marhatsel berhenti mondar-mandir. Ia memandang Vaira yang tergeletak lemah di lantai. Napas gadis kecil itu tersengal-sengal. Mata mungilnya memandang kosong ke arah dinding, tanpa ekspresi, tanpa harapan.

"Kenapa kau harus ada? Kenapa aku harus menanggung malapetaka ini? Kalau saja kau tidak pernah lahir... kalau saja ibumu tidak dirusak... hidupku mungkin masih berarti!" Suaranya parau, penuh kebencian.

Vaira tidak menjawab. Bahkan jika ia ingin, tubuhnya terlalu lemah untuk bersuara. Dalam pikirannya yang masih polos, ia bertanya-tanya: mengapa kakeknya begitu membencinya? Apa salahnya? Bukankah ia hanya seorang anak kecil yang ingin dicintai?

Langit di luar mulai berubah menjadi gelap. Malam datang membawa keheningan yang mencekam. Marhatsel akhirnya duduk di kursi tua di sudut ruangan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikirannya terus berputar, dipenuhi oleh bayang-bayang masa lalu yang tidak pernah bisa ia lupakan.

Saat itu, pintu depan rumah mereka terbuka perlahan. Seorang wanita paruh baya masuk. Dia adalah Marie , tetangga yang sering membantu merawat Vaira. Marnie terkejut melihat kondisi Vaira yang babak belur.

"Marhatsel! Apa yang kau lakukan?! Ini keterlaluan!" serunya, mendekati Vaira dengan cepat.

Marhatsel hanya diam. Matanya memandang kosong ke lantai.

"Vaira butuh pertolongan! Dia bisa mati kalau terus seperti ini!" kata Marie dengan nada memohon. Ia menggendong tubuh kecil Vaira dan membawanya keluar rumah.

Marie membawa Vaira ke rumahnya sendiri, merawat luka-luka gadis kecil itu dengan hati-hati. Dalam keheningan malam, Vaira menangis pelan. Tangisannya bukan hanya karena sakit fisik, tetapi karena luka di hatinya yang belum mampu ia ungkapkan.

Di rumah, Marhatsel duduk termenung. Amarahnya perlahan surut, digantikan oleh rasa bersalah yang menghantui. Ia tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa Vaira tidak bersalah. Gadis kecil itu tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Namun, rasa benci yang begitu mendalam membuatnya sulit menerima kenyataan.

Malam itu, Marhatsel memutuskan untuk tidur lebih awal. Namun, tidurnya tidak pernah benar-benar lelap. Dalam mimpinya, ia melihat Laura, putrinya, menangis sambil memohon, "Ayah, tolong jaga Vaira. Jangan sakiti dia. Dia darah dagingku

Setelah terbangun, Marhatsel termenung dan bergumam pelan, "Bagaimana mungkin aku tidak membencinya? Wajahnya sama sekali tidak mirip denganmu, Laura. Mata birunya... pasti milik orang yang telah merusakmu. Dia juga yang membuatmu harus pergi meninggalkan dunia ini. Maafkan aku, Laura, tapi aku tidak bisa menerimanya."

Marhatsel berhenti bicara, hanya hening yang terdengar di rumah itu. Bayangan masa lalu terus menghantuinya, kebencian yang ia rasakan tetap tak bisa ia buang. 

— 

Kesokan paginya, Marie dan suaminya, Dakron, kembali datang ke rumah Marhatsel. Mereka baru saja membawa Vaira ke rumah mereka sehari sebelumnya, merawat luka-luka gadis kecil itu yang begitu parah.

Wajah Dakron penuh amarah ketika ia melangkah masuk ke rumah tua itu. Tanpa basa-basi, ia langsung menegur Marhatsel. "Kau sungguh keterlaluan! Tubuh anak itu penuh luka lebam karena kau! Apa kau tidak punya hati?" sergahnya dengan nada tinggi.

Marhatsel, yang sedang duduk di kursi tuanya, mengangkat pandangan sekilas dan menjawab dengan dingin, "Aku tidak peduli."

Jawaban itu membuat Dakron mendidih. Ia menggebrak meja di depannya dengan keras. "Hah! Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi laki-laki tua sepertimu! Hanya karena dia memecahkan secangkir gelas, apakah dia layak dihajar sampai seperti itu?!" bentaknya, suaranya bergema di ruangan kecil itu.

Marie, yang berdiri di belakang suaminya, mencoba menenangkan Dakron dengan menyentuh lengannya. Namun, ia sendiri tidak mampu menyembunyikan rasa kecewa dan marahnya. "Kami sudah membawa Vaira ke rumah kami kemarin. Luka-lukanya parah, Marhatsel. Dia bahkan kesulitan berjalan. Apa kau tahu betapa ketakutannya dia setiap kali mendengar namamu disebut?" tanya Marie, suaranya bergetar.

Dakron melanjutkan, kali ini dengan nada lebih tenang namun tajam, "Kau harusnya merasa malu. Dia adalah cucumu. Darah dagingmu sendiri. Tapi kau memperlakukannya lebih buruk dari binatang."

Marhatsel hanya mendengus kecil. Dengan nada dingin, ia berkata, "Dia pantas mendapatkannya."

Marie terkejut mendengar kata-kata itu. "Pantas? Bagaimana mungkin seorang anak kecil pantas disiksa seperti itu? Dia hanya seorang anak, Marhatsel. Dia tidak bersalah atas apa yang terjadi di masa lalu."

Marhatsel memotongnya, "Dia adalah lambang dari kehancuran hidupku. Setiap kali aku melihatnya, aku hanya teringat pada malam di mana hidupku hancur. Jangan ajari aku tentang rasa sakitku, Marie."

"Rasa sakitmu tidak memberimu hak untuk melampiaskannya pada Vaira!" balas Dakron tajam. "Jika kau tidak ingin merawatnya, kami akan mengambilnya dan membesarkannya sendiri. Tapi jangan harap kau akan melihatnya lagi kalau begini caramu!"

Marhatsel tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, menatap ke arah jendela.

Marie dan Dakron saling bertukar pandang. Mereka tahu percakapan ini tidak akan mengubah hati Marhatsel, tetapi setidaknya mereka telah berusaha. Dengan langkah berat, mereka meninggalkan rumah itu, membawa keputusan untuk melindungi Vaira dari kebencian sang kakek.