Langit sore mulai memudar menjadi kelabu, mengisyaratkan hujan yang akan turun kapan saja. Fara duduk sendirian di sebuah kafe kecil, tempat favoritnya setiap kali ia ingin melarikan diri dari kebisingan kota. Meja kayu tua di sudut itu adalah tempatnya merenung—dan hari ini, pikirannya dipenuhi oleh satu pesan singkat yang baru saja ia terima dari Raka.
*"Aku nggak bisa lanjut lagi, Far. Maaf, tapi ini lebih baik buat kita berdua."*
Pesan itu hanya terdiri dari beberapa kata, tapi dampaknya jauh lebih dalam. Tidak ada penjelasan panjang, tidak ada diskusi, hanya sebuah pernyataan akhir yang menghancurkan hubungan mereka yang telah berjalan selama lima tahun.
Namun, alih-alih menangis atau panik, Fara hanya duduk di sana, memandangi cangkir cappuccino di hadapannya. Uapnya perlahan hilang, sama seperti harapannya tentang masa depan yang selama ini ia bayangkan bersama Raka.
"Sudah biasa," gumamnya, nyaris tidak terdengar.
Ini bukan pertama kalinya Fara merasakan kehilangan. Selama hidupnya, ia terbiasa ditinggalkan—baik oleh keadaan maupun orang-orang yang ia sayangi. Ayahnya meninggal ketika ia masih SMA, meninggalkan Fara dan ibunya untuk menghadapi kehidupan tanpa sosok pria yang selalu melindungi mereka. Kehilangan itu mengubah Fara menjadi seseorang yang tangguh di luar, tapi rapuh di dalam.
Namun kali ini, perasaan itu berbeda. Hubungannya dengan Raka adalah sesuatu yang ia pikir akan bertahan selamanya. Ia selalu membayangkan Raka sebagai pria yang akan bersamanya melewati suka dan duka. Tapi kenyataannya, cinta mereka ternyata tidak cukup kuat untuk melawan ego dan perbedaan yang terus tumbuh di antara mereka.
Fara memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Di sekelilingnya, suara tawa pengunjung kafe terdengar kontras dengan kesunyian yang ia rasakan di dalam hatinya.
"Kenapa selalu seperti ini?" pikirnya.
Ia membuka ponselnya lagi, membaca pesan itu untuk kesekian kalinya, berharap ada makna lain yang bisa ia temukan. Tapi tidak ada. Pesan itu tetap dingin dan tegas, seperti pintu yang tertutup rapat tanpa kesempatan untuk dibuka lagi.
---
Malam itu, Fara pulang ke apartemennya yang kecil namun nyaman. Ia duduk di meja kerjanya, menatap laptop yang menyala tanpa niat untuk mengetik apa pun. Di layar, dokumen rencana kerja untuk proyek kantornya tetap kosong. Biasanya, Fara adalah orang yang terorganisir dan penuh semangat, tetapi hari ini ia merasa kosong.
Ia membuka folder foto di laptopnya, mencari kenangan bersama Raka. Ada foto mereka saat liburan ke Bali tahun lalu, senyum mereka begitu bahagia. Ada juga foto sederhana di mana Raka membawa es krim untuknya setelah Fara mengalami hari buruk di kantor.
Fara tersenyum kecil, tapi senyum itu segera menghilang. Semua momen itu terasa seperti milik orang lain sekarang, bukan miliknya.
"Kenapa aku nggak sedih seperti dulu?" bisiknya kepada diri sendiri.
Ia ingat saat pacar pertamanya, Adrian, meninggalkannya. Waktu itu, ia menangis selama seminggu penuh, hampir kehilangan nafsu makan, dan tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Tapi kali ini berbeda. Ada semacam kelelahan emosional yang membuat Fara merasa mati rasa.
---
Keesokan paginya, Fara terbangun lebih awal dari biasanya. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan kesedihan menghancurkan rutinitasnya. Setelah mandi dan sarapan, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang selama ini hanya menjadi wacana: membuka usaha kecil-kecilan.
Donat kentang, atau yang sering disebut *donken*, adalah salah satu kenangan terindah yang ia miliki bersama ayahnya. Ketika masih kecil, ayahnya sering membuat donat kentang di akhir pekan, mengajaknya mencampur adonan, dan mengajarkan cara membentuk lingkaran yang sempurna. Bagi Fara, donat kentang bukan hanya makanan, tetapi simbol cinta dan kebahagiaan yang tulus.
Ia membuka laptopnya dan mulai mencari informasi tentang cara memulai usaha kecil. Ia mencatat semua hal penting: bahan-bahan, peralatan, lokasi, hingga strategi pemasaran.
"Dunia nggak berhenti hanya karena aku patah hati," katanya pada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat.
---
Setelah beberapa hari mencari lokasi yang tepat, Fara menemukan sebuah kios kecil di sudut jalan yang cukup ramai. Tempat itu sederhana, tapi cukup untuk menjadi awal dari impian barunya. Ia menamai usahanya *Donken*, singkatan dari donat kentang.
Hari pertama outlet itu buka, Fara bekerja keras dari pagi hingga malam. Ia mengaduk adonan, membentuk donat, dan menggorengnya hingga keemasan. Aroma manisnya menyebar ke seluruh jalan, menarik perhatian banyak orang yang lewat.
Namun, meskipun sibuk, ada momen-momen ketika pikirannya melayang kembali ke Raka. Ia bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan pria itu sekarang. Apakah ia merasa bersalah? Apakah ia merindukan Fara seperti Fara merindukannya?
Namun, sebelum ia tenggelam dalam pikiran itu, seorang pelanggan datang, menarik perhatian Fara.
---
Pelanggan itu adalah seorang pria muda dengan senyum ramah yang memancarkan kehangatan. Ia tinggi, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan, tetapi tetap terlihat menarik. Pria itu memesan tiga donat sekaligus, lalu berhenti sejenak untuk melihat ke arah Fara.
"Enak nih, Donken kamu. Baru buka, ya?" tanyanya sambil menggigit donat pertama.
Fara tersenyum tipis. "Iya, baru hari ini."