Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Second's Life

Cael_Henituse
--
chs / week
--
NOT RATINGS
164
Views
Synopsis
Leon, seorang pembunuh bayaran profesional, di kenal sebagai jenius muda dengan kemampuan multitalenta. Sayangnya, di balik kehebatannya, ia memiliki satu kelemahan besar: kemalasan yang luar biasa. Baginya, menghabiskan waktu di atas kasur adalah hal terbaik di dunia. Namun, hidupnya berubah drastis ketika ia menemui ajal. Tak disangka, ia terlahir kembali sebagai seorang bayi di dunia yang tak terasa asing baginya. Alih-alih peduli, Leon memilih tetap setia pada kebiasaan lamanya-tidur dan bermalas-malasan, tidak peduli pada kekacauan yang terjadi di sekitarnya. Namun, sampai kapan Leon bisa mengabaikan dunia barunya ini? Apakah dia dapat mengungkap semuanya? Yang jelas... Di kehidupan kedua di dunia ini, aku ingin memiliki hidup yang bahagia! • In My Second Life In This World, I Want To Have A Happy Life! • [SLOW UPDATE] • [BUKAN NOVEL TERJEMAHAN, MURNI KARYA AUTHOR] • [NOVEL INI BERASAL MURNI DARI WATTPAD DENGAN AKUN @CaelHenituse] Jangan lupa vote, komen dan follow. Sekian, Typo tandai.
VIEW MORE

Chapter 1 - [1] Kehidupan Kedua

Malam Pukul 23.37

Semilir angin berhembus pelan, menyapu langit malam yang dipenuhi bintang-bintang indah. Cahaya bintang-bintang itu berkelap-kelip, seperti berlomba menunjukkan keindahan mereka. Bulan bersinar terang di atas sana, seolah tersenyum manis pada dunia yang tengah terlelap.

Di tengah hutan lebat yang sunyi dan gelap, berdiri sebuah rumah besar nan kokoh. Di salah satu ruangan rumah itu, sebuah meja panjang di kelilingi kursi-kursi berjejer rapi. Beberapa orang duduk di kursi-kursi tersebut, tampak sibuk membicarakan hal yang serius. Seperti apakah lebih baik tidur siang atau tidur malam, karena jelas mereka sudah kelelahan dengan hidup.

Meskipun sebagian besar dari mereka lebih tertarik pada suara hutan yang aneh daripada topik pertemuan.

Di antara mereka, seorang remaja lelaki hanya duduk diam, menatap malas pada perbincangan yang terdengar membosankan baginya. Dia adalah Leon Aditya Cakrawala.

Dengan mata sayu dan tubuh yang tampak setengah tertidur, Leon jelas tidak menunjukkan minat pada topik yang di bicarakan,sepertinya ia lebih fokus pada bagaimana cara tidur yang paling nyaman di kursi rapat itu.

"Baik, sampai di sini dulu. Ada yang ingin bertanya atau menambahkan?" tanya seorang pria dengan suara tegas, menandakan dirinya sebagai ketua dari kelompok tersebut.

Melihat semua anggotanya diam bagai patung, ketua itu mengalihkan pandangannya pada Leon yang duduk dengan santai, tampak malas memperhatikan.

"Leon, apa kau sudah menyelesaikan penangkalnya?" tanyanya, suaranya tetap tegas meski sedikit lebih pelan.

Leon hanya menggeleng pelan, menunjukkan bahwa ia tidak memiliki tenaga atau niat untuk menjawab lebih dari itu. Terlebih lagi, dia lebih tertarik pada mimpi indah yang sedang menunggunya di balik kelopak mata yang mulai tertutup.

"Baiklah... lakukan sesuai kemampuanmu. Masalah ini memang cukup besar," ujar ketua itu, menyerah dengan sikap Leon yang jelas-jelas tidak peduli.

"Istirahatlah di markas. Jangan ikut ke misi kali ini," tambahnya sebelum bangkit berdiri.

Leon hanya mendengus kecil, lalu memejamkan matanya tanpa niat membalas lebih jauh. Sementara ketua itu hanya bisa menghela napas panjang, pasrah menghadapi sifat Leon yang meski berbakat, lebih sering memilih untuk tidur daripada beraksi—seolah misi utama hidupnya adalah mencari kenyamanan, bukan kemenangan.

Memang.

*****

Beberapa Jam Kemudian

Di dalam kamar yang sunyi, Leon tertidur dengan tenang. Namun, tidur nyenyaknya terganggu ketika rasa haus membuat tenggorokannya kering.

Leon membuka matanya perlahan. Meski malas, ia menyerah pada rasa haus yang kian menyiksa.

Kapan aku bisa tidur tenang?

Dengan lesu ia bangkit dari kasur dan berjalan menuruni tangga menuju ke arah dapur di markas besar mereka. Berniat mengambil sebuah gelas air seperti itu adalah perjalanan epik yang penuh rintangan baginya.

Namun, saat ia hampir tiba di lantai bawah...

Dor!

Suara tembakan keras menggema, memecah kesunyian malam. Peluru itu melesat cepat, tepat mengenai dada Leon. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, jatuh berguling di tangga hingga mencapai lantai dasar, seakan-akan ia sedang berlatih untuk lomba guling paling dramatis.

Darah segar mengalir dari tubuhnya, membasahi lantai marmer yang dingin.

Samar-samar, ia mencoba menahan kesadaran,

Tetapi ia malas...

Biarlah... mati lagi pun tak masalah, yang penting bisa tidur saja. Pikir Leon.

Pelan-pelan, matanya yang biasanya tajam mulai terpejam. Semilir angin malam menyapu tubuhnya yang tergeletak tak bernyawa, menjadi saksi bisu dari akhir hidupnya kali ini.

*****

Di tempat yang gelap

Leon tiba-tiba terbangun di tempat yang gelap gulita. Tiba-tiba, sebuah cahaya muncul, melingkari sesuatu yang tampak seperti api putih. Cahaya itu perlahan menghilang, membawa sosok api itu bersamanya.

Apa dia akan di jual?

Apa yang terjadi?

Sebuah suara dingin menggema di pikirannya.

[Ting!]

[Bintang Leluhur '...' tertarik padamu.]

"..."

*****

"APA?!" suara keras seorang pria paruh baya memecah keheningan. Pria itu adalah Arthur De Altharic, seorang bangsawan dengan wajah tampan dan penuh wibawa. Namun, saat ini kemarahannya tak tertahan.

Melemparkan beberapa barang dengan perempatan imajiner yang terlihat di wajah tampannya. Seperti wanita yang sedang mengeluarkan tantrum.

"Ma-maafkan kami, Tuan! Kami sudah berusaha, tapi sang Grand Duchess tidak bisa diselamatkan..." ucap salah seorang tabib, gemetar ketakutan.

Srinnng!

Satu tebasan pedang cukup untuk menjatuhkan kepala tabib itu ke lantai. Darah mengalir deras.

Membuat tabib-tabib lain gemetar hebat. Jantung mereka terasa berdebar kencang, tapi ini bukan jatuh cinta!

"Namun! Putra bungsu Anda selamat, Tuan. Bayinya sehat dan aman," ucap seorang tabib lain, memberanikan diri berbicara.

Arthur menoleh perlahan, tatapannya dingin menusuk.

"Di mana anak itu?"

.....

Di sisi Leon

Samar-samar ia membuka matanya dan melihat keadaan sekitar.

Tunggu, ini cukup aneh?...

Hmm, Oh! Dia... Menjadi bayi lagi...

Kini ia dapat merasakan tubuh kecilnya di balut oleh kain yang lembut dan berkualitas, terasa hangat.

Hah~

Menghela nafas pasrah dalam hati.

Tak peduli dengan apa yang ia alami sekarang ini, yang penting ia bisa tidur dan bermalas-malasan saja, itu sudah cukup.

Sebelum menutup matanya kembali untuk tidur, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat.

Drap drap drap...

Pendengarannya memang cukup tajam, jadi dia bisa mendengar suara langkah kaki itu dengan jelas. Di tambah keadaan sekarang yang sangat sunyi, itu memperjelas suara yang di hasilkan langkah kaki yang kini tengah mendekat ke arahnya.

Setelah itu terlihat seorang pria dengan seseorang lainnya yang memasuki ruangan. Pria yang tak lain adalah Arthur dan tabib tadi.

"I-ini, Tuan..." ucap tabib itu dengan nada bergetar.

Arthur tak mempedulikan itu dan berjalan mendekat ke arah bayi mungil yang masih membuka netra birunya yang menawan, keduanya sangat mirip dengan milik sang istri—mendiang sang istri.

Tiba-tiba, ia mengayunkan pedang besi itu.

"TUAN, BERHENTI!"cegah tabib.

Ia berhenti sejenak.

"Kau berani memerintah Tuan mu?" ucapnya dengan nada yang menusuk hingga ke tulang-tulang.

"Berani, Tuan" ia segera menghentikan ucapannya.

"Eh... Tidak, maafkan saya..."

"T-tapi! Apa yang Anda lakukan saat ini sangat tidak tepat! Anda ingin membunuh darah daging Anda sendiri?"

"Saya tidak akan membiarkan itu, Tuan!..." ucap tabib itu sambil sedikit meninggikan nada suaranya pada Arthur, menunjukkan kemarahan. Wajahnya memerah seperti teko yang hampir mendidih.

Sementara orang yang di berikan ceramah, tak menjawab. Tabib itu menghela nafas gusar.

"Saya,"

"Akan menggantikannya..." tabib itu menunduk sambil mengucapkan kalimat itu.

"Kau sangat yakin ingin menggantikannya? Heh"

Tabib itu mengangguk, ia menutup matanya dan siap menerima pedang yang akan menebasnya dalam kurun waktu dekat. Dalam hatinya: "Baiklah, semoga pedang itu tidak tajam"

Srrinngg...

Tebasan pedang menggema di ruangan itu. Kepala tabib itu segera jatuh dan menggelinding ke lantai kuno di sana, di sertai darah yang bercucuran di sekitar tubuh dan kepalanya.

Arthur sendiri pergi dengan wajah datar dan tampang yang tak ada rasa bersalah sedikit pun.

Para tabib yang berada di sana ketakutan, ada yang mulai berdoa, ada juga yang diam-diam menyelipkan bantal di balik jubah, jaga-jaga kalau harus lari dan jatuh.

Salah satu tabib mendekat ke arah bayi itu, ia menggendongnya dengan perlahan dan pandangannya segera tertuju pada sepucuk kertas yang terselip di kain yang membalut tubuh bayi itu.

Tabib itu membuka kertas itu dan membacanya.

Setelah beberapa saat, tabib kembali menyimpan kertas itu di sakunya, Ia melihat kalung kristal zamrud yang menawan di dekat ranjang bayi.

Ia beralih pada bayi di gendongannya, bayi yang manis dan mungil dengan mata biru laut yang mempesona—seperti milik sang Grand Duchess. Tubuhnya sedikit lebih kecil dari bayi lain, tapi cukup untuk membuat semua orang berpikir, "Ini sih pasti punya rencana besar di masa depan"

Tabib menggendong bayi itu dengan perlahan agar tak membangunkannya, dan membawanya ke para tabib lain yang beberapa di antaranya masih bergetar takut. Mereka lalu melihat ke arah bayi itu, seolah-olah bayi itu membawa kutukan atau mungkin... Resiko kenaikan gaji.

Leon yang menjelma menjadi bayi itu sudah tidur beberapa menit lalu. Ia tak merasa memiliki kepentingan untuk bangun lagi jadi lebih baik tidur, pikir seorang Leon atau sekarang kita panggil Dion Neo Altharic.

Malam ini telah menjadi saksi bisu antara kekejaman dan belas kasihan manusia, yang akhirnya berujung pada keputusan sulit: apakah makan mie instan dulu atau tidur lebih awal.

*****

Beberapa tahun kemudian

Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa Dion kini berusia 9 tahun, hidup bersama seorang tabib yang ia panggil Bi Ella.

Kini, meski di umurnya yang masih terbilang muda, ia telah menguasai beberapa sihir dasar seperti elemen api dan teleportasi. Walaupun begitu, sifat malasnya tetap tak berubah—bahkan sihir teleportasi pun sering ia gunakan hanya untuk menghindari tugas rumah.

Saat tengah bersantai di bawah pohon di halaman belakang, ia merasakan aura sihir asing di sekitarnya. Dengan malas, ia menyalurkan elemen api kecil ke arah asal aura itu.

Sosok bayangan melesat pergi dengan cepat, tapi Dion tidak tertarik untuk mengejarnya. Ia hanya menutup matanya lagi, berharap bayangan itu tahu, "Aku lebih memilih tidur daripada repot-repot"