Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Isaac Frost

Its_viasama_10
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
0
Views

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1: Resign

Di sebuah ruangan luas dengan banyak pria dewasa bersama para wanita berpakaian terbuka duduk di atas sofa, bergelayut manja di pangkuan para pria. Bau alkohol bercampur bau obat-obatan menusuk indra penciuman, serta asap rokok memenuhi ruangan itu. Banyak senjata api tergeletak di atas meja bersama dengan beberapa tumpukan uang.

"Saya akan keluar dari pekerjaan ini," ucap seorang pria muda, berdiri tegak menghadap sang atasan.

"Apa kau yakin?" Tanya pria bertato ular di lengan kanannya, duduk di sebuah sofa sembari menghisap nikotin di sela-sela jari. Tubuhnya besar berotot, tatapan matanya tajam menatap sang bawahan.

"Ya, Tuan," pria muda itu menjawab. Keluar dari pekerjaan yang sudah dijalaninya selama tiga tahun terakhir ini, tidaklah mudah baginya. Disaat otak berpikir sangat mustahil untuk mencari pekerjaan baru, namun hati berkata bahwa mengundurkan diri adalah jalan terbaik daripada menanggung dosa lebih banyak lagi.

"Apa alasanmu? Pekerjaan ini sangat kau cintai, jadi mustahil kau berkata semudah itu," tanyanya menyelidik.

"Saya.." pria itu menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Saya tidak ingin anak saya nantinya yang akan menanggung dosa yang saya perbuat."

Semuanya hening lalu tertawa lepas dengan pandangan meremeh terarah padanya. Tidak memperdulikan tertawaan dari rekan kerja, dirinya dengan pandangan lurus menunggu jawaban dari atasan.

"Oii, Isaac. Kau itu seorang pembunuh. Tidak pantas berpikir tentang dosa, persetan dengan anakmu nantinya. Tanganmu sudah terlanjur kotor untuk pria muda sepertimu. Kau seharusnya senang karena Bos memberikanmu upah lebih dibanding kami yang lain," ceramah pria bertubuh gemuk. Dirinya yang sudah sangat lama bekerja dengan atasannya, merasa paling tinggi dari juniornya yang lain. Tidak segan-segan memberi ceramah pada pria muda didepannya, Isaac.

Isaac Frost. Seorang pembunuh bayaran di sebuah organisasi kriminal rahasia. Kerahasiaan mereka bahkan tidak bisa diselidiki polisi maupun detektif profesional sekalipun. Mereka akan mengedar narkoba, menjual senjata api di pasar gelap, melakukan perdagangan manusia bahkan menjual organ tubuh manusia. Semuanya dia lakukan selama 3 tahun lamanya.

* * *

Tiga tahun lalu...

"Tunggu sebentar lagi. Tolong katakan pada Ibu untuk bertahan, Aku mohon..aku mohon.."

Pria itu menangis. Tidak hentinya berlalu-lalang di depan pintu sebuah rumah mewah. Tangannya memegang ponsel, berbicara dengan seseorang di seberang dengan panik.

"Ibu tidak bisa menunggu lagi Kak.. Ibu harus segera dioperasi," jawab suara seorang bocah di seberang terisak-isak.

"Aagghht! Sial! Kenapa mereka tidak mengoperasi Ibu lebih dulu. Biayanya bisa belakangan, kan."

"...aku sudah mencoba berbicara, tapi dokter ingin kita mengurus pembiayaannya lebih dulu. Sebenarnya, kau dimana, Kak."

Isaac terdiam sejenak, "aku.. aku di—,"

"IBU! BERTAHANLAH! KAK, CEPATLAH!"

Panggilan ditutup.

"Logan? Logan?.. ARRGHHTT! Sial! Sial!.."

Dia menggedor pintu dengan keras, lalu berteriak memanggil seseorang didalam.

"Aku mohon bantu kami.. sekali ini saja!. aku berjanji akan melunasi semuanya! Aku mohon!"

"Sudah ku bilang berapa kali, Isaac. Kita sudah tidak ada hubungan lagi, kau pergi sekarang!" Teriak seorang pria dari dalam rumah.

Isaac dibuat geleng-geleng kepala mendengar jawaban seseorang dari dalam. Dia tersenyum miris.

"Kau akan menyesalinya! Ayah Sialan!" Dengan langkah lebar, Isaac melangkah keluar dari halaman rumah, ayahnya.

* * *

"Baiklah, kau boleh keluar dari pekerjaan ini," jawab Victor dengan raut wajah datar. Dia membuang puntung rokok ke sembarang arah. Isaac yang mendengar jawaban dari Victor, pun tersenyum lebar dan membungkukkan badannya.

"Terimakasih banyak, Tuan Victor. Terimakasih..Terimakasih," pria bersurai coklat itu tidak henti-hentinya berterima kasih. Jawaban dari sang atasan membuatnya bernafas lega.

"Tapi.."

Hanya bersenang sesaat, Isaac kembali menatap Victor. Tapi? Tapi apa? Isaac sangat tau watak dari atasannya itu. Dia akan meminta sesuatu yang aneh-aneh untuk menyenangkan hatinya.

"Tapi ada syaratnya," Victor lanjut berbicara.

Isaac mengernyitkan dahi. Jantungnya berpacu dengan cepat, perasaannya tak karuan. Berusaha dia tetap berpikir positif dan membuang pikiran aneh yang datang tiba-tiba.

"Syarat apa, Tuan," tanyanya tak sabaran.

"Syaratnya, kau harus—" Victor menggantungkan ucapannya, sengaja membuat Isaac takut apa yang akan dimintanya. Dia beranjak dan berjalan mendekati Isaac.

Hening.

Sama seperti Isaac, semua orang yang ada di sana pun ikut terdiam dengan pikiran masing-masing. Kini, Victor berdiri tepat di depan Isaac. Jarak diantara mereka hanya satu langkah. Isaac menjadi canggung menatap wajah serius dari sang atasan.

Beberapa detik tidak bicara, Victor akhirnya membuka suara.

"Istrimu."

Istri? Kenapa harus membawa-bawa wanita yang tidak tau apa-apa. Tidak. Isaac tidak akan membiarkan Victor melakukan apapun pada istrinya. Wanita itu bahkan tidak tau apa pekerjaan Isaac sebenarnya.

Dia tidak tau. 2 tahun menikah, sang istri tidak mengetahui pekerjaan gelap suaminya. Isaac selalu berbohong dan mencari berbagai macam alasan jika ditanyakan tentang pekerjaannya oleh sang istri. Rasa cinta pada Luna yang tinggi, membuat Isaac melakukan apapun untuk membahagiakan wanita itu.

"I-istri saya? Maksudnya?" Isaac bertanya kebingungan.

Pria 52 tahun itu terkekeh pelan. "Isaac... Isaac..Ck..ck..ck.." Dia berdecak seraya menggeleng kepala. "Tidak ada yang gratis didunia ini."

Isaac masih tidak mengerti apa yang dimaksud Victor saat ini. Apa maunya?

"Kau, sudah punya anak?" Tanyanya menatap Victor.

Isaac hanya menggeleng pelan.

Victor mengangguk mengerti. "Apa istrimu sedang hamil?" Tanyanya lagi.

"Tidak, Tuan."

Victor bertepuk tangan. Apa yang pria itu mau sebenarnya? Dia terlihat begitu senang.

"Bagus kalau begitu. Istrimu akan mudah untuk bekerja," jawabnya seraya berjalan berbalik menuju tempatnya duduk tadi.

"Apa maksudmu sebenarnya, Tuan. Istri saya? Bekerja? Apa maksudnya? Saya hanya ingin mengundurkan diri, kenapa harus bawa-bawa istri saya?" Isaac tidak lagi tenang. Jika menyangkut istrinya, dia tidak bisa tinggal diam.

HAHHAH..!!

Suara tawa dari yang lain membuatnya bertambah bingung. Apa yang mereka tertawakan? Ini sama sekali tidak lucu!

"Isaac. Apa kau masih ingat? Siapa korban pertamamu?" Pertanyaan Victor berhasil membuat Isaac membeku di tempat.

Korban pertama. Memikirkan kembali raut wajah takut dari korban pertamanya, selalu membuat Isaac dihantui rasa bersalah dan menyesal. Rasa bersalah yang menjadikannya lebih dalam menyelam ke dasar laut yang gelap. Rasa menyesal yang selalu membuatnya ingin melakukan lagi dan lagi, bahkan tidak memikirkan dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk. Kata-kata terakhir korbannya waktu itu membuat Isaac selalu dihantui perasaan menyesal.

"Kau bahkan mengorbankan nyawa orang terdekatmu untuk mendapatkan uang. Jadi kau tentunya akan membiarkan istrimu itu bekerja denganku."

* * *

Pria itu berjalan lemah melewati sebuah gang sempit. Air mata mengalir tak henti, memikirkan bagaimana caranya mencari uang dalam waktu cepat. Bahkan ayahnya sendiri tak ingin membantu. Membiarkan Logan menjaga sang ibu di rumah sakit, sedangkan dirinya berjalan kesana-kemari tanpa arah untuk mencari biaya operasi.

Dia berhenti melangkah, lalu duduk bersandar pada dinding gang. Kepalanya mendongak ke arah langit. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Dia tidak bisa berlama-lama memikirkan cara.

"Ibu.. Maaf.. aku memang tidak berguna sebagai seorang anak.." Dia menangis, tubuhnya gemetar. Setelah sang ayah menceraikan istrinya, dialah yang menanggung semua kebutuhan ibu dan adiknya. Bekerja serabutan untuk mencari biaya pengobatan dan biaya sekolah adiknya.

"Jadi.. kau membutuhkan uang?" Suara berat yang membuyarkan lamunan Isaac. Pria itu segera menoleh ke samping mencari sumber suara itu.

"Aku bisa saja membantumu."

Tak..tak..takk

Suara itu menggema bersamaan dengan suara langkah kaki yang semakin mendekat. Gang sempit yang gelap menyulitkan Isaac untuk melihat. Dia menyipitkan mata berusaha mempertajam penglihatan.

Tak..tak..tak..

Mendekat dan semakin mendekat. Dari arah kanan seorang pria setengah baya dengan setelan formal berjalan mendekat. Dia menghentikan langkah setelah berada tepat di depan Isaac. Isaac mendongak menatap pria dewasa di depannya itu.

Merasa muak dengan tatapan tajam pria asing itu, Isaac mengalihkan pandangannya dan menatap lurus ke depan.

"Pergilah. Aku tidak mengenalmu. Tinggalkan aku sendiri."

Pria itu terkekeh kecil, "aku bisa saja membantu biaya operasi Lily."

Nama sang ibu disebut, Isaac melototi pria itu. Tatapan tajam Isaac, membuat pria berwajah garang itu tersenyum tipis. Entah apa yang dipikirkannya.

"Tau apa kau tentang ibuku," tanya Isaac penuh penekanan.

"Itu tidak perlu kau ketahui. Tapi sekarang pikirkan ibumu terlebih dulu. Apa kau tidak ingin menyelamatkan nyawanya?" Kata-kata itu berhasil membuat Isaac berpikir keras.

Isaac tidak yakin. Apa dia bisa mempercayai orang asing ini? Dia bahkan belum pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya. Bagaimana jika dia menjebaknya?

"Berapa umurmu."

"19," jawab Isaac ragu-ragu.

"Kau terlalu muda jika harus kehilangan ibumu. Jangan berpikir terlalu lama. Kau hanya perlu melakukan satu hal untukku, maka berapapun yang kau mau akan aku turuti. Bagaimana?" Tawarnya.

Isaac berpikir keras, entah apa konsekuensinya setelah melakukan apa yang orang ini mau. Dia beranjak dari duduknya setelah menimbang-nimbang.

"Apapun itu, aku akan melakukannya. Demi ibu."