Malam itu, desa kecil di Hutan Qi Berkabut berubah menjadi tempat perayaan kecil. Penduduk desa, yang sebelumnya hidup dalam ketakutan, sekarang tersenyum dan tertawa, bersyukur atas keberanian Raven. Tapi Raven sendiri tidak ikut dalam perayaan itu. Ia duduk di pinggir desa, di bawah langit berbintang, sambil memeriksa luka-lukanya.
Pak Tua Feng mendekatinya dengan semangkuk ramuan herbal. "Minumlah ini. Ini akan membantu memulihkan energimu."
Raven menerimanya tanpa banyak bicara, meneguk cairan pahit itu sambil merenungkan apa yang baru saja terjadi. "Kau bilang aku menyerap Qi," ujarnya, memecah keheningan.
Pak Tua Feng mengangguk. "Benar. Qi adalah energi esensial yang ada di segala sesuatu di dunia ini—di udara, tanah, dan makhluk hidup. Kultivator melatih tubuh dan jiwa mereka untuk menyerap, menyimpan, dan mengendalikan Qi."
"Dan aku melakukannya secara naluriah," kata Raven, lebih kepada dirinya sendiri.
"Itulah yang membuatmu istimewa," jawab Pak Tua Feng. "Tapi menyerap Qi tanpa kendali adalah hal yang berbahaya. Tubuhmu belum siap. Jika kau ingin bertahan di dunia ini, kau harus belajar cara memanfaatkannya dengan benar."
Raven menatap lelaki tua itu. "Kau bilang kau bisa mengajariku. Bagaimana caranya?"
Pak Tua Feng tersenyum tipis. "Kita mulai dari dasar. Besok pagi, aku akan menunjukkanmu cara membangun fondasi Qi."
Keesokan paginya, Pak Tua Feng membawa Raven ke sebuah lapangan terbuka di pinggir desa. Di tempat itu, udara terasa lebih padat dan segar. Burung-burung dengan bulu berkilauan terbang di atas kepala, dan embun pagi memancarkan cahaya samar.
"Hal pertama yang harus kau lakukan adalah merasakan Qi," kata Pak Tua Feng. Ia duduk bersila di atas rumput dan memberi isyarat kepada Raven untuk melakukan hal yang sama.
Raven meniru posisinya, meskipun tubuhnya yang terbiasa dengan gerakan cepat merasa aneh untuk duduk diam.
"Tutup matamu," lanjut Pak Tua Feng. "Rasakan aliran energi di sekitarmu. Fokus pada napasmu, dan biarkan dirimu terhubung dengan dunia."
Raven menarik napas dalam-dalam, mencoba mengikuti instruksi. Pada awalnya, ia hanya merasakan angin sepoi-sepoi dan suara alam di sekitarnya. Tapi perlahan, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda—seperti arus hangat yang bergerak di udara.
"Itu Qi," bisik Pak Tua Feng. "Sekarang, bayangkan dirimu menarik energi itu ke dalam tubuhmu melalui napas."
Raven mencoba. Ia membayangkan arus hangat itu masuk ke tubuhnya, mengalir melalui setiap pori-pori kulitnya. Tiba-tiba, ia merasakan gelombang energi kecil di dalam dirinya.
"Bagus," kata Pak Tua Feng. "Sekarang arahkan Qi itu ke pusat tubuhmu, tepat di bawah pusar. Itu adalah Dantian, tempat di mana Qi disimpan dan dikendalikan."
Raven merasa sulit untuk memusatkan energi itu. Ia berkonsentrasi, tapi arus Qi itu terasa liar, seperti mencoba melawan kehendaknya.
"Tubuhmu belum terbiasa," kata Pak Tua Feng. "Itu normal. Latihan ini membutuhkan kesabaran dan disiplin."
Selama beberapa hari berikutnya, Raven terus berlatih. Ia belajar mengendalikan napas, merasakan Qi, dan memusatkannya ke Dantian. Tapi hasilnya masih jauh dari sempurna. Kadang-kadang, Qi yang ia kumpulkan terlalu sedikit, sementara di lain waktu, ia merasa kelebihan energi yang membuat tubuhnya terasa sakit.
"Kultivasi adalah perjalanan panjang," kata Pak Tua Feng suatu malam. "Bahkan dengan bakat alamimu, kau butuh waktu untuk membangun fondasi yang kokoh. Jangan terburu-buru."
Namun, bagi Raven, terburu-buru adalah bagian dari dirinya. Sebagai prajurit, ia terbiasa dengan hasil yang cepat. Tapi di dunia ini, ia mulai menyadari bahwa kekuatan sejati bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga pengendalian.
Suatu malam, saat Raven sedang berlatih, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia membuka matanya dan melihat seorang pria muda berdiri di depannya. Pria itu mengenakan jubah hitam dengan lambang seekor naga emas di dadanya.
"Kau yang membunuh Qi Serigala Perak di hutan, bukan?" tanya pria itu dengan nada merendahkan.
Raven bangkit perlahan. "Ya, kenapa?"
Pria itu menyeringai. "Kau telah melanggar wilayah Sekte Naga Hitam. Semua binatang buas di hutan ini adalah milik kami."
"Jadi kau ingin aku meminta maaf?" jawab Raven dingin.
Pria itu tertawa kecil. "Tidak. Aku ingin kau menyerahkan semua yang kau miliki. Itu hukumanmu."
Raven merasakan bahaya dari pria ini. Energi yang memancar darinya terasa jauh lebih besar daripada yang ia miliki. Tapi ia tidak mundur.
"Jika kau ingin sesuatu dariku," katanya sambil mengambil pisau tempurnya, "kau harus mengambilnya dengan paksa."
Pria itu tersenyum lebar. "Dengan senang hati."
Pria berjubah hitam melangkah maju, aura Qi yang kuat mengalir dari tubuhnya seperti badai tak terlihat. Raven mencengkeram pisaunya dengan erat, tubuhnya bersiap dalam posisi bertahan.
"Kau hanya seorang kultivator pemula," ejek pria itu sambil mengarahkan telunjuknya ke tanah. "Satu serangan sudah cukup untuk menghabisimu."
Dengan gerakan cepat, pria itu mengayunkan tangannya, melepaskan gelombang Qi berbentuk sabit ke arah Raven. Angin tajam berdesing, memotong dahan-dahan pohon di sekitarnya.
Raven melompat ke samping, menghindari serangan itu dengan gesit. Namun, gelombang Qi berikutnya menyusul dengan kecepatan yang lebih tinggi. Kali ini, Raven tidak sempat menghindar. Serangan itu menghantam dadanya, membuatnya terpental dan jatuh keras ke tanah.
"Lemah," kata pria itu dengan nada dingin. "Kau bahkan tidak pantas disebut lawan."
Raven bangkit perlahan, tubuhnya terasa sakit. Dalam pikirannya, ia tahu ia tidak bisa mengandalkan kekuatan Qi-nya yang belum terlatih. Tapi sebagai prajurit, ia telah bertahan hidup melalui kecerdikan, bukan hanya kekuatan.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba merasakan Qi di sekitarnya. Meski belum sempurna, ia merasakan energi itu mengalir di udara. Ia memusatkan pikirannya, mencoba menarik Qi itu ke dalam tubuhnya, seperti yang diajarkan Pak Tua Feng.
"Aku tidak perlu mengalahkanmu," kata Raven sambil mengamati lingkungan sekitarnya. "Aku hanya perlu membuatmu lengah."
Pria itu menyeringai, menganggap ucapan itu sebagai lelucon. Ia maju dengan serangan lain, mencoba menyelesaikan pertarungan dengan cepat. Tapi kali ini, Raven menggunakan lingkungan untuk keuntungannya. Ia berguling ke belakang, mengambil kantong serbuk yang ia simpan dari pertempuran sebelumnya, lalu melemparkannya ke arah pria itu.
Serbuk itu meledak, menciptakan kilatan cahaya dan debu yang menyelimuti area tersebut. Pria berjubah hitam terkejut, kehilangan pandangan sejenak.
Saat itulah Raven bergerak. Ia menggunakan momentum serangan pria itu untuk mengarahkannya ke posisi yang lebih sulit, menjebaknya di antara pohon-pohon yang tumbang. Dengan satu gerakan cepat, ia menusukkan pisaunya ke bawah rahang pria itu. Tapi bukannya menembus, pisaunya terpental, seperti menghantam baja.
"Kulitku dilindungi Qi," kata pria itu sambil tertawa kecil. "Seranganmu tidak ada artinya."
Raven mundur, napasnya terengah-engah. Tapi di dalam dirinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Qi yang ia tarik ke dalam tubuhnya mulai bergerak lebih stabil, seolah-olah tubuhnya mulai beradaptasi dengan energi itu.
Ia mencoba memusatkan Qi itu ke pisaunya, seperti insting yang muncul tiba-tiba. Pisau itu berkilauan dengan cahaya samar, seperti dilapisi lapisan energi.
"Apa ini?" gumam Raven.
Pria berjubah hitam melihat perubahan itu dan menyipitkan matanya. "Kau… Kau menggunakan Qi? Tapi kau bahkan belum membangun fondasi!"
Raven tidak menjawab. Ia hanya bergerak maju, menyerang dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada sebelumnya. Kali ini, pisaunya tidak terpental. Pisau itu menembus lapisan Qi pria itu, melukai pundaknya.
Pria itu mundur dengan rasa tidak percaya. "Kau tidak mungkin…!"
Tapi Raven tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. Ia melanjutkan serangannya, memanfaatkan momentum hingga pria itu akhirnya jatuh ke tanah, terluka parah.
"Bunuh aku, kalau kau berani," kata pria itu dengan senyum dingin meski darah mengalir dari tubuhnya. "Tapi tahu ini: Sekte Naga Hitam tidak akan diam saja. Jika kau melukaiku, mereka akan mencarimu."
Raven berhenti, pisaunya hanya beberapa inci dari leher pria itu. Ia tahu ancaman ini bukanlah gertakan. Dari pengalaman militernya, ia mengenali struktur seperti sekte ini sebagai organisasi yang besar dan berbahaya.
"Pergilah," kata Raven akhirnya. "Katakan kepada mereka bahwa aku tidak mencari masalah, tapi aku tidak akan lari jika mereka datang."
Pria itu tertawa kecil, meski dengan nada getir. "Kau akan menyesali keputusan ini."
Ia bangkit perlahan, tertatih-tatih meninggalkan desa.
Setelah pertarungan itu, Pak Tua Feng menghampiri Raven, matanya dipenuhi kekhawatiran.
"Kau telah melibatkan dirimu dalam dunia yang jauh lebih besar," kata Pak Tua Feng. "Sekte Naga Hitam adalah salah satu kekuatan utama di wilayah ini. Mereka tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja."
Raven menatap Pak Tua Feng dengan tegas. "Aku tidak punya pilihan. Jika aku tidak melawan, aku sudah mati."
Pak Tua Feng mengangguk pelan. "Benar, dan kau melakukannya dengan baik. Tapi jika kau ingin bertahan, kau harus mempercepat pelatihanmu. Dunia ini tidak akan memberimu waktu untuk bernapas."
Raven menghela napas dalam. "Baik. Kita mulai lagi besok. Aku ingin tahu semua yang kau tahu tentang Qi, kultivasi, dan dunia ini."