Axel adalah seorang pemuda tampan yang baru saja pindah ke kota bersama orang tuanya. Mereka pindah karena ayah dan ibunya mendapat tugas baru di kota. Axel kini menjadi murid kelas 1 SMA di sekolah baru, dan pada hari pertama sekolah, wali kelasnya, Pak Yanto, memperkenalkan Axel kepada teman-teman sekelasnya.
"Selamat datang di kelas Barumu, Axel," kata Pak Yanto sambil tersenyum, memperkenalkan murid baru itu. "Semoga kamu betah di sini. Ini teman-teman sekelasmu."
Axel hanya mengangguk singkat, merasa sedikit canggung dengan perhatian yang tiba-tiba mengarah padanya. Wajahnya yang tampan membuat banyak teman-temannya terkesima, tetapi sikap dinginnya membuatnya cenderung mengabaikan perhatian itu.
Axel memiliki segudang talenta dan kecerdasan luar biasa. Ia bisa melakukan banyak hal hanya dengan sekali lihat dan sangat cepat beradaptasi. Namun, meskipun memiliki kemampuan yang luar biasa, Axel memilih untuk menyembunyikan bakat-bakatnya. Ia lebih suka menahan diri, tidak ingin terlalu menonjol di antara teman-temannya. Axel merasa lebih nyaman jika dirinya bisa berada dalam kerumunan, sama seperti teman-temannya yang lain, tanpa menarik perhatian lebih.
Setelah Pak Yanto selesai memperkenalkan Axel, kelas pun dimulai. Ketika pelajaran berlangsung, Axel duduk di bangku belakang, memilih untuk tidak terlalu terlihat. Di sebelahnya, duduk Brian, teman pertama yang ia kenal.
"Hei, kamu baru pindah ke sini ya?" tanya Brian, mencoba memulai percakapan. "Dari desa ya? Gimana rasanya pindah ke kota?"
Axel menatap Brian sejenak sebelum menjawab, "Iya, baru kemarin. Cuma agak beda aja, tapi cepat terbiasa."
Brian mengangguk, sedikit bingung dengan sikap Axel yang tenang. "Kalau begitu, pasti bisa adaptasi cepat. Kayaknya kamu tipe orang yang bisa langsung masuk ke sini, ya?"
Axel hanya mengangguk lagi, sedikit tersenyum tipis. "Iya, mungkin. Tapi lebih enak kalau bisa nggak terlalu mencolok," jawabnya, menjaga jarak dari percakapan lebih lanjut.
Ketika pelajaran bahasa Inggris dimulai, Ibu Olive langsung memberikan ulangan harian kepada seluruh kelas. Brian yang duduk di sebelah Axel mulai merasa cemas. "Kamu baru pertama kali di sini, langsung dikasih ulangan, ya?" tanya Brian dengan khawatir. "Gimana, nggak terlalu berat, kan?"
Axel mengangkat alis dan menatap Brian sejenak. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat, kemudian mulai mengerjakan soal-soalnya dengan tenang.
Brian yang sempat cemas melihat Axel hanya duduk tenang, tampaknya sudah tahu apa yang harus dikerjakan. "Kamu kelihatan santai banget," ujar Brian, merasa sedikit bingung. "Padahal, ini ulangan pertama kamu di sini, loh."
Axel hanya tersenyum tipis tanpa memberikan banyak penjelasan. Ia tetap fokus pada tugasnya, meskipun sesungguhnya dia sudah tahu jawabannya dengan pasti. Namun, Axel memilih untuk menahan diri dan tidak menonjolkan kemampuannya.
Ketika ulangan selesai dan Ibu Olive mulai mengumpulkan hasilnya, Brian menoleh ke Axel. "Kamu pasti dapat nilai bagus, kan?" tanyanya, masih merasa penasaran. "Kamu kelihatan tenang banget pas ngerjainnya."
Axel hanya tersenyum tipis dan menjawab, "Aku hanya mengerjakan sesuai yang diperlukan."
Esoknya, hasil ulangan dibagikan oleh Ibu Olive. Axel menerima lembarannya dan melihat bahwa nilai yang didapatkan hampir sama dengan teman-temannya yang lain, meskipun dia tahu ia bisa mendapatkan nilai lebih tinggi. Brian yang melihatnya langsung terkejut.
"Kamu dapat nilai yang hampir sama dengan kita semua, Axel," kata Brian, masih merasa bingung. "Kenapa nggak lebih tinggi sih? Padahal kamu kelihatan gampang banget waktu ulangan."
Axel hanya tersenyum dan menjawab dengan tenang, "Aku hanya melakukan yang perlu dilakukan."
Brian mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dari Axel. Ia mulai curiga bahwa temannya itu sebenarnya jauh lebih pintar dan berbakat dari yang terlihat. Namun, Axel tetap menjaga jarak dan tidak terlalu membuka diri. Brian pun semakin penasaran dengan sifat misterius Axel yang sulit ditebak.