"Mulai sekarang, keperawananmu jadi milikku," bisik Andi dengan suara penuh kepuasan, sembari mendorong "rudalnya" semakin dalam ke dalam tubuh Marisa.
Marisa menggigit bibirnya, menahan erangan bercampur rasa sakit yang perlahan mulai berkurang. Tatapannya melembut meski pipinya masih memerah. Ketika Andi menarik dirinya keluar sejenak, cairan berwarna merah menetes, menjadi saksi momen istimewa itu.
Andi menatap Marisa dengan penuh perhatian. "Gimana? Sakit banget, nggak?" tanyanya sambil mengusap lembut pipi Marisa.
Marisa menggeleng pelan, meski matanya sedikit berkaca-kaca. "Awalnya iya... tapi sekarang mulai nyaman," ucapnya dengan suara serak, mencoba tersenyum.
Andi mendekatkan wajahnya, mengecup bibir Marisa dengan lembut. "Gue bakal bikin lo lupa sama rasa sakit tadi," bisiknya sebelum kembali melanjutkan dengan gerakan yang lebih lembut namun tetap penuh gairah.
Marisa mulai merasakan kehangatan dan kenikmatan yang menggantikan rasa sakit sebelumnya. Desahan kecil keluar dari bibirnya, tubuhnya secara naluriah merespons setiap gerakan Andi.
"Rasanya... aneh, tapi enak," gumam Marisa dengan mata yang sedikit terpejam.
Andi tersenyum nakal, tangannya mengeksplorasi tubuh Marisa dengan penuh kelembutan. "Lo bakal ketagihan sama yang aneh-aneh ini," balasnya sambil meningkatkan intensitas gerakannya.
Marisa hanya bisa mengangguk, tidak mampu berkata-kata lagi. Sensasi yang terus mengalir melalui tubuhnya membuatnya merasa seperti melayang di awan.
Andi menggendong Marisa ke kamar mandi dengan hati-hati, membiarkan air hangat mengalir membasuh tubuh mereka. Cairan merah yang menjadi saksi malam pertama Marisa mulai memudar, tetapi tidak dengan hasrat Andi yang kembali membara.
Tatapannya yang intens membuat Marisa merasa sedikit gugup namun tetap nyaman di bawah perlindungannya. "Lo nggak pernah puas ya, Din?" tanya Marisa dengan nada menggoda, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis.
"Lo pikir gue bisa berhenti, habis lihat tubuh secantik ini?" balas Andi sambil memeluknya dari belakang, tubuhnya menyatu erat dengan tubuh Marisa yang masih basah.
Marisa menggigit bibirnya, merasa kehangatan tubuh Andi kembali menyelimuti dirinya. Ketika tangan Andi mulai menjelajahi tubuhnya, Marisa hanya bisa bersandar ke dadanya, membiarkan dia melakukan apa pun yang dia mau.
"Andi, di sini? Serius?" tanya Marisa, meski suaranya terdengar lebih seperti dorongan untuk melanjutkan.
"Sekarang, angkat kaki lo sedikit," bisik Andi di telinga Marisa sambil membantu mengangkat salah satu kakinya, membuat posisi mereka semakin intim.
Tanpa menunggu lebih lama, Andi kembali memasukkan "rudalnya" dengan gerakan perlahan namun penuh tekad. Air dari pancuran mengalir di tubuh mereka, menambah kesan sensual dari setiap gerakan yang mereka lakukan.
Marisa mendesah pelan, tubuhnya mengikuti ritme yang diberikan Andi. "Ini gila, Din... tapi gue suka," bisiknya dengan suara serak, tangannya mencengkeram lengan Andi untuk menahan keseimbangan.
Andi mempercepat gerakannya, memastikan setiap tarikan dan dorongan membawa Marisa ke puncak kenikmatan. "Lo bakal makin suka setelah ini," jawabnya dengan nada yang penuh percaya diri.
Andi menggendong tubuh Marisa yang lemah namun penuh gairah, dengan "rudal" yang masih tertanam erat di tubuhnya. Langkahnya mantap, membawa mereka menuju kamar besar milik Marisa. Cahaya lampu yang redup menambah suasana intim di antara mereka.
"Aku akan membuat lubang ini menjadi ukuran yang pas untuk rudalku," ucap Andi dengan nada menggoda, matanya menatap dalam ke arah Marisa.
Marisa yang berada di pelukannya hanya bisa tersenyum kecil, wajahnya memerah. "Kamu nggak akan bikin aku bisa jalan normal besok, Din," balasnya dengan suara serak.
Andi menurunkan tubuh Marisa dengan lembut di atas ranjang, tubuhnya yang indah dan kulitnya yang bercahaya di bawah lampu kamar membuat hasrat Andi semakin membara. Dia menatapnya sejenak, menikmati setiap lekuk tubuh wanita itu, sebelum dia menundukkan kepalanya untuk mencium lembut bibir Marisa.
"Tapi gue tahu lo suka ini," ujar Andi sambil mulai menggerakkan pinggulnya perlahan, memastikan Marisa kembali menikmati setiap momen.
Marisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan desahan yang keluar dari mulutnya. "Din, lo emang nggak punya rem, ya?" godanya sambil melingkarkan kakinya di pinggang Andi, memastikan dia tidak bisa pergi ke mana-mana.
"Tentu saja nggak, apalagi kalau lawannya lo," jawab Andi sambil mempercepat gerakannya.
Setiap tarikan dan dorongan yang dilakukan Andi membuat tubuh Marisa semakin mendekat ke puncak kenikmatan. Ranjang berderit pelan mengikuti irama mereka, sementara suara desahan Marisa memenuhi ruangan.
Andi membungkukkan tubuhnya lebih dekat, bibirnya mencium leher Marisa, meninggalkan jejak kecil sebagai tanda kepemilikannya. "Gue pastiin ini jadi malam yang nggak akan lo lupain," bisiknya dengan penuh percaya diri.
Marisa hanya bisa memeluk erat tubuh Andi, merasakan seluruh dirinya tenggelam dalam momen yang penuh gairah itu.
"Jangan di dalam, Din!" teriak Marisa dengan suara bercampur antara panik dan kenikmatan. Tubuhnya bergetar, merasakan dorongan terakhir dari Andi yang semakin intens.
Namun, Andi hanya tersenyum samar. "Gue nggak peduli," bisiknya serak, sambil terus menggenjotnya dengan irama yang semakin liar. Tangan Andi mencengkeram pinggul Marisa, memastikan tubuhnya tetap di tempat saat dia memberikan segalanya.
Tubuh Marisa melengkung, seluruh otot di tubuhnya menegang. "Din... ahh...!" erangnya ketika akhirnya puncaknya datang. Lubang miliknya terasa semakin sempit, seperti memeluk erat rudal Andi yang masih bergerak di dalamnya.
Andi menggigit bibirnya, merasakan tekanan yang luar biasa. Dengan satu dorongan terakhir, dia membiarkan seluruh cairan hangatnya mengalir masuk, memenuhi lubang Marisa sepenuhnya.
"Ini milik gue sekarang," ucap Andi dengan nada penuh kepemilikan, menatap mata Marisa yang masih kabur oleh kenikmatan.
Marisa terdiam sejenak, tubuhnya gemetar karena sensasi yang baru saja dia alami. "Din, lo benar-benar nggak tahu aturan," gumamnya, mencoba mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal.
Andi hanya terkekeh, tubuhnya menempel erat pada Marisa. "Aturan apa? Gue cuma ambil apa yang memang udah jadi hak gue."
Marisa memalingkan wajahnya, pipinya memerah, tapi tidak ada rasa marah di matanya.
"Kalo nanti gue hamil gimana?"
"Lo kan bisa pakai obat KB." Jawab Andi.
Marisa menatap Andi dengan matanya yang berbinar, meskipun ada keraguan samar yang terpancar. "Tapi… apa nanti nggak repot, Din?" tanyanya perlahan.
Andi hanya tersenyum. "Gue akan urus semuanya. Yang penting lo tahu, gue nggak akan berhenti mengisi tubuh lo," jawabnya penuh keyakinan.
Marisa sedikit menghela napas, kemudian mengangguk lemah. "Semoga lo nggak main-main, Din," ucapnya lirih.
Andi menatapnya dalam, tangannya meraih wajah Marisa dengan lembut. "Percaya aja sama gue, Mar. Kita jalani semuanya bareng," bisiknya sebelum mengecup bibirnya dengan penuh hasrat.