Chereads / Streamer Secret / Chapter 10 - bab 10

Chapter 10 - bab 10

Hujan lebat turun dengan tiba-tiba, membuat rombongan pendaki panik mencari tempat berlindung. Angin dingin yang menusuk dan suara guntur yang menggelegar membuat situasi semakin mencekam. Para mahasiswa bergegas mendirikan tenda mereka masing-masing di tempat yang aman.

Andi, dengan cepat dan cekatan, selesai mendirikan tendanya di bawah pohon besar. Saat dia hendak masuk untuk berlindung, tiba-tiba Siska dan Marisa muncul dari kegelapan. Kedua wanita itu basah kuyup, rambut mereka menempel di wajah, dan pakaian mereka yang tipis semakin menonjolkan lekuk tubuh akibat air hujan.

"An-di! Boleh kita masuk? Tenda kita nggak sempat selesai didirikan, udah keburu basah!" seru Siska dengan suara gemetar, tubuhnya bergetar kedinginan.

Andi mengangguk cepat dan membuka tenda lebih lebar. "Masuk aja, sini cepetan!"

Siska dan Marisa langsung masuk ke dalam tenda tanpa ragu, membawa hawa dingin dan basah ke dalamnya. Mereka duduk di pojok, mencoba memeras air dari rambut dan pakaian mereka.

"Astaga, gila, gue kedinginan banget," kata Marisa sambil memeluk tubuhnya sendiri, giginya bergemeletuk.

Andi merogoh tasnya, mengambil handuk kecil dan jaket tebalnya. "Nih, pake dulu buat nutupin badan kalian. Lo harus kering, kalau nggak nanti bisa sakit."

Siska menerima handuk itu dengan senyum kecil. "Makasih, Andi. Lo selalu sigap, ya."

Andi hanya tersenyum, lalu memutar tubuhnya memberi mereka privasi. "Gue nggak ngeliat, santai aja. Ganti baju kalian dulu kalau punya ganti, biar nggak makin kedinginan."

Marisa mendesah. "Baju ganti gue ada di tenda, dan udah kebasahan semua. Ini aja yang gue punya."

Siska mengangguk pelan. "Sama. Kita nggak sempat nyelamatin barang-barang."

Andi berpikir sejenak, lalu melepaskan sweater tebal yang dia kenakan. "Oke, pake ini. Gue masih ada kaos dalem. Daripada lo basah kuyup terus."

Marisa menerima sweater itu, menatap Andi dengan tatapan terima kasih. "Lo baik banget, sumpah. Gue nggak tahu apa yang bakal gue lakuin kalau nggak ada lo."

Siska, yang sudah mulai mengeringkan tubuhnya dengan handuk, tersenyum hangat. "Iya, Andi. Lo emang pahlawan di tengah bencana."

Andi menggaruk kepalanya, merasa canggung. "Udah, biasa aja. Gue cuma nggak mau liat lo berdua sakit. Lagian, tenda gue cukup besar buat bertiga."

Hujan di luar masih belum reda, bahkan semakin deras. Suara guntur sesekali menggelegar, membuat ketiganya bergidik. Tenda kecil itu menjadi tempat perlindungan mereka dari cuaca yang semakin ganas, membawa mereka lebih dekat satu sama lain di tengah badai yang tak terduga.

Suara petir yang menggelegar semakin keras terdengar, mengguncang langit yang gelap. Hujan lebat yang tak kunjung reda membuat kedua wanita itu terdiam, ketakutan. Siska dan Marisa langsung merangkul Andi, tubuh mereka yang basah kuyup berdesakan dalam tenda kecil.

Andi bisa merasakan kehangatan tubuh kedua wanita itu, apalagi dengan dua gunung kembar yang berjejer di sampingnya. Setiap gerakan kecil dari mereka, setiap desah hangat yang keluar dari bibir mereka, membuat Andi merasakan sensasi yang berbeda, semakin intens.

Marisa menggigil, memeluk Andi lebih erat. "Gila, Andi… lo bener-bener bisa bikin tenang di tengah situasi kayak gini."

Andi hanya bisa tersenyum, mencoba menenangkan mereka berdua. "Santai aja, gue di sini kok. Nggak perlu takut."

Siska menatap Andi dengan tatapan hangat. "Beneran, Andi. Rasanya beda banget. Walaupun di tengah hujan dan badai, lo bisa bikin suasana jadi lebih… enak."

Andi merasakan tangan Siska menggenggam lembut tangannya, tubuhnya semakin dekat dengan tubuh Siska. "Iya, bener banget, Andi. Enak banget ada kalian berdua di sini."

Marisa tersenyum, sedikit memejamkan matanya. "Andi… lo tahu nggak, lo emang beda dari yang lain."

Andi menatap mereka bergantian, tersenyum penuh arti. "Lo berdua juga beda, dan gue nggak keberatan."

Hening sejenak memenuhi tenda, hanya suara gemuruh hujan dan petir yang terdengar dari luar. Andi merangkul kedua wanita itu lebih erat, memberikan rasa aman dan kehangatan yang mereka butuhkan di tengah situasi yang penuh ketidakpastian.

"Lo tahu, Andi," Siska berkata pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan. "Kadang, gue merasa di tempat yang salah tanpa lo."

Andi membalas pandangannya, membisikkan, "Jangan pernah merasa salah. Selama kita bersama, semuanya akan baik-baik saja."

Marisa juga mengangguk, masih memeluk Andi erat. "Terima kasih, Andi… lo emang beda."

Suara petir yang menggelegar terus menggema di luar, sementara tangan kiri Andi mulai bergerak lembut, meraba payudara Marisa yang basah kuyup. Tubuhnya yang hangat dan lembut dalam dekapan Andi membuat Marisa mengerang pelan, menikmati sentuhan itu.

Sementara itu, Andi dengan lembut mendekatkan wajahnya pada Siska yang masih memeluknya erat, bibirnya menempel dengan Siska yang tampak gelisah, namun berusaha menikmatinya. Andi melumat bibir Siska dengan penuh gairah, merasakan sensasi dingin dan basah yang perlahan teralihkan oleh kehangatan dan hasrat yang semakin menggila.

Keduanya, Marisa dan Siska, terhanyut dalam ciuman panas yang membakar di tengah suasana dingin dan basah. Andi membalasnya dengan penuh nafsu, tangannya terus memainkan payudara Marisa, sementara bibirnya merengkuh Siska yang mulai gemetar.

Desahan-desahan lembut terdengar di dalam tenda, bercampur dengan suara petir yang menggema di luar. Andi melanjutkan permainan bibirnya, beralih dari Siska ke Marisa, dan sebaliknya, menikmati setiap sensasi yang muncul.

"Enak banget, Andi…" bisik Siska dengan nafas yang terengah-engah.

"Andi… gue nggak tahu bisa merasa begini," Marisa menimpali, suaranya bergetar lembut.

Andi hanya tersenyum, semakin tenggelam dalam dunia yang penuh dengan gairah. "Lo berdua… bikin gue nggak bisa berhenti."

Dengan penuh gairah, Andi terus mempererat ciuman mereka, tangan kirinya tak henti-hentinya mengelus tubuh Marisa dan Siska, sementara tangan kanan Andi mulai meraba tubuh masing-masing, memperdalam hasrat yang menggebu.

Suara petir yang masih menggelegar terdengar dari luar tenda, namun di dalam suasana gelap dan basah ini, semuanya terasa begitu intens. Marisa tersenyum malu-malu, menatap Andi yang dengan penuh gairah membukakan bra-nya.

"Eh, Dimas aja belum pernah cium gue," godanya dengan senyum menggoda.

Andi membalas dengan senyum penuh kemenangan, "Berarti ini jadi milik gue dong sekarang."

Tanpa ragu, Andi mulai mengisap payudara Marisa dengan penuh hasrat. Bibirnya menempel pada puting yang tegang, merasakannya seperti seorang bayi yang haus. Marisa mengerang pelan, tubuhnya yang basah dan menggigil mulai terbuai oleh sentuhan dan gairah yang memuncak.

"Ahh… Andi…" desah Marisa dengan nafas yang semakin terengah-engah.

Sementara itu, Siska yang melihat pemandangan itu tidak bisa menahan dirinya. Matanya menatap Andi dengan penuh gairah, bibirnya terkatup rapat, menunggu gilirannya. Andi tak beranjak, melanjutkan ciuman dan sentuhannya pada Marisa, seolah tak peduli dengan segala yang terjadi di sekitar.

Siska akhirnya melangkah lebih dekat, tangannya meraih wajah Andi, menariknya untuk berhadapan. "Giliran gue sekarang," bisiknya lembut di telinga Andi, dengan nada yang menggoda.

Andi melepaskan payudara Marisa, lalu perlahan beralih ke Siska. Tanpa ragu, dia mencium Siska dengan penuh hasrat, merasakan bibir dan lidah yang lembut itu. Tubuh Siska yang basah kuyup terasa begitu hangat dan menggoda, seolah menanti sentuhan dari Andi.

Marisa hanya bisa menatap mereka berdua, nafasnya yang masih tersengal, menyaksikan momen penuh gairah yang terjadi di hadapannya. Andi merengkuh Siska dengan penuh cinta, sementara bibirnya masih tak lepas dari payudara Siska yang menggairahkan.

"Lo emang beda, Andi," bisik Siska sambil mengerang pelan, tangan lembutnya membelai wajah Andi.

"Dan lo berdua…" Andi menjawab dengan senyum nakal, "akan selalu jadi milik gue."

Andi menarik napas dalam-dalam, menatap kedua wanita yang kini setengah telanjang di hadapannya. Tangan-tangannya dengan perlahan membantu melepaskan pakaian Siska dan Marisa, satu per satu, hingga tubuh mereka yang basah dan menggoda terlihat jelas di bawah temaram cahaya tenda.

"Eh, gue baru pertama kali loh," ucap Marisa dengan suara pelan, wajahnya sedikit memerah karena malu.

Siska, yang duduk di sampingnya, mengangguk pelan. "Gue juga… nggak pernah sampai sejauh ini."

Andi terdiam sesaat, menatap kedua wanita itu dengan sorot mata yang mulai memancarkan rasa bersalah. Dia tahu apa yang mereka harapkan, tetapi di sisi lain, pikirannya memutar kemungkinan yang mungkin terjadi setelah ini. "Kalau gue beneran melakukannya sekarang, mereka pasti lelah, dan gue bakal kesulitan membawa mereka naik ke puncak."

Setelah berpikir sejenak, Andi menghela napas. "Baiklah," ucapnya, menatap keduanya. "Gue nggak akan masuk lebih jauh."

Marisa dan Siska saling pandang, terlihat sedikit bingung namun lega. Namun, sebelum mereka sempat berkata apa-apa, Andi kembali tersenyum nakal. "Tapi gue tetap nggak akan berhenti menikmati kalian."

Tangan Andi mulai bergerak, menyentuh bagian luar tubuh mereka yang lembut dan basah. Jemarinya bermain-main dengan penuh kehangatan di sekitar lubang milik Marisa dan Siska, memberikan sensasi yang begitu menggoda tanpa benar-benar memasukinya.

"Aah… Andi…" erang Marisa, tubuhnya mulai menggeliat di bawah sentuhan Andi.

Siska, yang berada di sebelahnya, merasakan hal yang sama. "Ini… ah… bener-bener beda," bisiknya, menggigit bibir bawahnya.

Andi terus memainkan jemarinya dengan lembut namun penuh gairah, sesekali melirik wajah mereka yang memerah karena kenikmatan. "Gue nggak mau kalian terlalu capek, kita masih harus mendaki besok pagi," ucap Andi sambil tersenyum tipis.

"Kalau lo begini aja, gue udah nggak kuat, Andi…" sahut Siska dengan suara yang bergetar.

"Dan lo selalu tahu gimana bikin gue gila," tambah Marisa dengan nada penuh gairah.