Chereads / Streamer Secret / Chapter 9 - Bab 9

Chapter 9 - Bab 9

Malam itu, suasana di sekitar api unggun begitu hangat. Suara petikan gitar Andi yang merdu mengiringi nyanyian beberapa temannya. Lagu-lagu sederhana membuat suasana menjadi santai dan penuh tawa.

Andi memainkan lagu terakhir sebelum berhenti sejenak, lalu menyandarkan gitar di pangkuannya. Beberapa teman bertepuk tangan sambil bersorak, merasa terhibur oleh penampilannya.

Saat Andi sedang menikmati momen tersebut, Dimas, salah satu temannya, berjalan mendekat dengan seorang wanita di sampingnya. Wanita itu memiliki rambut panjang yang terurai rapi, wajahnya ceria, dan mengenakan jaket pendakian yang terlihat pas di tubuhnya.

"Bro, kenalin nih," ucap Dimas sambil menepuk bahu Andi. "Ini cewek gue, Marisa."

Andi menoleh dan tersenyum ramah. "Oh, jadi ini Marisa yang sering lo ceritain? Hai, gue Andi," katanya sambil mengulurkan tangan.

Marisa menjabat tangan Andi dengan senyum manis. "Hai, Andi. Seneng akhirnya bisa ketemu. Dimas sering cerita tentang lo."

"Semoga yang dia ceritain bagus-bagus, ya," balas Andi sambil tertawa kecil.

Dimas terkekeh. "Santai aja, bro. Gue cuma bilang kalau lo itu gitaris handal dan cowok yang nggak kalah jago nyari perhatian."

Andi hanya menggeleng sambil tersenyum. "Ah, lo bisa aja."

Mereka bertiga duduk di dekat api unggun, bergabung dengan teman-teman lain yang masih bercanda dan menikmati malam. Sesekali, Andi merasa tatapan Marisa sedikit lebih lama dari seharusnya, tapi dia tidak terlalu memikirkannya.

"By the way, Andi," ujar Marisa tiba-tiba, "lo belajar gitar dari mana? Mainnya enak banget didengar."

"Ah, gue otodidak aja, sih," jawab Andi santai. "Cuma sering main buat ngisi waktu kosong."

"Hebat juga. Kayaknya seru kalau kita duet, ya?" goda Marisa sambil tersenyum.

Dimas menatap Marisa dengan alis terangkat. "Eh, kok lo ngajak duet dia? Gue juga bisa nyanyi, tau."

Marisa tertawa kecil, melirik Dimas. "Iya-iya, sayang. Nanti duet sama kamu juga."

Andi hanya tersenyum, merasa lucu melihat dinamika di antara mereka. "Santai, Dim. Gue nggak bakal rebut tempat lo kok," katanya sambil memainkan beberapa akor gitar ringan.

Suasana malam itu pun terus berlangsung hangat, diiringi canda tawa yang membuat lelah pendakian terasa seolah menghilang. Namun, di dalam hati, Andi merasa ada sesuatu yang aneh dengan cara Marisa memperhatikannya.

Keesokan paginya, setelah sarapan sederhana dan persiapan singkat, tim kembali melanjutkan perjalanan menuju puncak. Langit cerah, meskipun udara pagi terasa dingin menusuk. Mereka melangkah perlahan di jalur yang mulai menanjak lebih curam.

Andi berjalan di barisan tengah, menikmati pemandangan pepohonan hijau yang semakin jarang ditemui saat mendekati ketinggian tertentu. Di sampingnya, Siska melangkah santai sambil membawa tongkat trekking.

"Semakin tinggi kita mendaki, maka udaranya juga semakin dingin," ucap Siska sambil menarik napas panjang, mencoba mengatur ritme perjalanannya.

Andi mengangguk, sesekali menghembuskan napas yang terlihat seperti uap karena suhu yang semakin rendah. "Iya, udaranya segar banget, tapi dinginnya makin kerasa di tulang."

Siska tersenyum kecil, menarik jaketnya lebih rapat. "Makanya, gue selalu bawa syal. Lo nggak dingin, Andi?"

"Gue sih tahan, tapi kalau tambah dingin nanti, mungkin bakal butuh pelukan, nih," jawab Andi sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

Siska mendengus pelan, namun pipinya sedikit merona. "Halah, alasan aja. Tapi serius, Andi, lo seneng nggak ikut pendakian ini?"

Andi mengangguk mantap. "Seneng banget. Ini pengalaman pertama gue, tapi gue ngerasa bebas di sini. Pemandangannya, udaranya, semuanya bikin gue pengen terus lanjut."

"Bagus kalau gitu. Tapi lo harus tetap jaga energi, soalnya jalur ke puncak makin berat," ujar Siska sambil melirik ke arah tas carrier Andi. "Kalau tas lo berat, kasih tahu aja, ya. Gue bisa bantu bawain sebagian."

Andi tertawa kecil. "Gue cowok, Sis. Masa gue nyuruh cewek bawain barang gue? Lo aja yang hati-hati jangan sampai kecapekan."

Siska tersenyum, merasa senang mendengar perhatian dari Andi. "Santai, gue udah biasa kok. Yang penting kita semua sampai puncak bareng."

Obrolan mereka terus mengalir sepanjang perjalanan, membuat langkah terasa lebih ringan. Sementara itu, Dimas dan Marisa berjalan beberapa meter di depan mereka, sesekali bercanda dan saling membantu di jalur yang terjal.

Semakin tinggi mereka mendaki, vegetasi mulai berubah, dan hawa dingin semakin menusuk.

Setelah berjalan seharian penuh, rombongan akhirnya tiba di posko terakhir menjelang puncak. Hari mulai gelap, dan suhu turun dengan cepat. Mereka segera memutuskan untuk mendirikan tenda dan beristirahat, menyiapkan tenaga untuk pendakian terakhir ke puncak esok pagi.

Andi sibuk membantu mendirikan tenda bersama beberapa teman lainnya. Setelah selesai, dia duduk di dekat tenda sambil menikmati udara malam yang dingin. Tiba-tiba, Siska datang menghampirinya dengan membawa kotak makanan kecil.

"Andi, ini ada makanan yang gue bawa dari rumah. Lo pasti laper, kan?" tawar Siska sambil menyodorkan kotak itu.

Andi melirik makanan di dalam kotak. Isinya nasi, lauk sederhana, dan sambal yang terlihat menggiurkan. Dia tersenyum lebar. "Wah, serius nih? Lo masak sendiri, Sis?"

Siska mengangguk, tersenyum malu-malu. "Iya, gue masak sebelum berangkat. Nggak terlalu enak, sih, tapi harusnya bisa ngisi tenaga lo."

"Ah, jangan merendah gitu. Masakan rumah itu selalu enak," balas Andi sambil menerima kotak itu. "Lo udah makan, belum?"

"Udah, gue tadi makan bareng cewek-cewek di tenda sebelah," jawab Siska sambil duduk di samping Andi.

Andi membuka kotak makanan itu dan mencicipinya. Ekspresinya langsung berubah menjadi puas. "Gila, ini enak banget, Sis! Sambalnya mantap. Lo jago juga masak, ya."

Siska tertawa kecil, merasa senang mendengar pujian Andi. "Ah, biasa aja. Yang penting lo suka."

Sambil menikmati makan malamnya, Andi melirik Siska. "Lo perhatian banget, ya. Padahal kita baru kenal, tapi lo udah baik kayak gini."

"Ya gimana, lo kan teman satu tim. Lagian gue nggak pengen ada yang sakit gara-gara kelaparan di sini," jawab Siska sambil tersenyum.

Andi tertawa pelan. "Kalau gue sakit, nanti lo yang jagain, dong?" godanya.

Siska hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. "Halah, lo bercanda mulu. Udah, habisin aja makanannya, biar lo kuat buat besok."

Malam itu, obrolan ringan mereka berlangsung cukup lama.

Saat Andi dan Siska sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Marisa datang menghampiri mereka dengan senyum lebar. Dia membawa secangkir teh hangat di tangan kanannya.

"Eh, kalian berdua udah kenal ya?" tanya Marisa sambil duduk di samping mereka.

Siska menoleh ke arah Marisa dan mengangguk sambil tersenyum. "Iya, tadi sepanjang perjalanan sempat ngobrol juga. Andi orangnya asyik."

Andi tertawa kecil mendengar pujian itu. "Halah, jangan dilebih-lebihin, Sis. Gue biasa aja kok."

Marisa menyipitkan matanya sambil menatap mereka bergantian. "Hmmm, kayaknya kalian cocok, nih. Dari tadi ketawa-ketawa terus."

Siska langsung tersipu dan mengalihkan pandangan ke arah lain. "Ah, Marisa, jangan bercanda, deh."

Andi ikut tertawa, mencoba mencairkan suasana. "Santai, Marisa. Kita cuma ngobrol soal makanan sama pendakian, kok. Lo sendiri ngapain keluar tenda malam-malam gini?"

Marisa mengangkat cangkir tehnya. "Gue cuma mau cari udara segar. Lagian, Dimas lagi tidur. Daripada bosen di tenda, mending gue ngobrol sama kalian."

Andi mengangguk sambil tersenyum. "Ya udah, gabung aja. Kita lagi ngomongin makanan, nih. Eh, Marisa, lo masak buat Dimas nggak?"

Marisa menggeleng sambil tertawa kecil. "Enggak, dong. Dimas harus mandiri. Gue cuma bawa makanan buat diri gue sendiri. Kenapa emangnya?"

Andi mengangkat bahu sambil melirik Siska. "Liat, Sis. Gue dapet makanan buatan lo, sementara Dimas disuruh mandiri sama Marisa. Gue menang banyak, nih."

Siska tertawa kecil sambil menutupi wajahnya dengan tangan. "Udah, jangan bandingin gitu. Kasian Dimas."

Marisa tertawa lebih keras, menikmati lelucon itu. "Ah, biarin aja. Dimas juga nggak protes, kok. Lagian, Andi beruntung banget ada Siska yang perhatian."

Obrolan mereka berlanjut dengan canda tawa. Malam itu, suasana di posko terakhir terasa lebih hangat meskipun udara begitu dingin.