Setelah beberapa hari berlalu, mereka terus melakukan live streaming dengan cara yang sama. Jumlah penonton mereka meningkat pesat, dan hasil yang terkumpul sudah mencapai 50 juta.
Sambil memeriksa pembagian uang, Andi mengernyit. "Eh, kok gue cuma dapat 2 juta doang?" tanyanya dengan nada protes, menatap Tiara yang sedang duduk santai di sofa.
Tiara meliriknya santai, lalu tertawa kecil. "Lo kira semua ini gratis, ya?" jawabnya sambil menyilangkan tangan di dada.
Andi menatapnya bingung. "Maksud lo?"
Tiara berdiri dan menunjuk dirinya sendiri dengan gaya dramatis. "Coba lo hitung, siapa yang masak buat lo? Siapa yang nyuci baju? Siapa yang ngeberesin semua hal yang lo mau?" katanya dengan nada penuh kemenangan.
Andi terkekeh kecil, menggaruk kepalanya. "Ya tapi, 48 juta buat lo sendiri?"
Tiara mendekat, menepuk pipinya lembut. "Anggap aja itu biaya jasa full service dari gue," ujarnya dengan senyum menggoda.
Andi hanya bisa tertawa sambil menggelengkan kepala. "Dasar cewek pintar. Oke deh, gue terima."
Tiara tertawa puas, lalu kembali duduk. "Good boy. Sekarang, mending kita siap-siap lagi buat live malam ini."
Namun, saat mereka bersiap untuk memulai live streaming seperti biasa, tiba-tiba layar ponsel mereka menampilkan sebuah notifikasi peringatan besar.
Andi mengerutkan kening, membaca pesan itu dengan hati-hati. "Karena melakukan penyiaran yang terlalu erotis, akun Anda mendapatkan banned selama 1 bulan," ucapnya pelan, membacakan isi notifikasi tersebut.
Tiara, yang sedang merapikan rambutnya, langsung menoleh. "Apa?! Banned sebulan?!" serunya dengan nada kaget.
Andi menatapnya, mengangkat bahu. "Iya. Mereka bilang konten kita terlalu... eksplisit."
Tiara menghela napas panjang, lalu duduk di sofa dengan ekspresi kesal. "Gila, padahal gue pikir kita udah hati-hati banget. Kamera nggak pernah nunjukin bagian bawah."
Andi mengangguk sambil memijat pelipisnya. "Mungkin mereka tahu dari komentar penonton atau ada yang ngelaporin kita."
Tiara melipat tangannya, terlihat sedikit kesal. "Jadi, gimana nih? Kita nggak bisa live sebulan penuh?"
Andi tersenyum kecil, mencoba menenangkan. "Tenang aja, kita masih punya 50 juta. Kita bisa pakai waktu ini buat rencana baru atau bikin konten lain yang nggak melanggar aturan."
Tiara mendesah, lalu menatap Andi dengan alis terangkat. "Rencana baru? Lo yakin? Kalau nggak ada live streaming, gimana caranya kita ngumpulin duit sebanyak itu lagi?"
Andi tersenyum misterius. "Santai aja, gue punya ide. Tapi, kita harus sedikit lebih kreatif kali ini."
Tiara menatapnya dengan curiga, tapi juga penasaran. "Oke, gue tunggu idenya. Tapi kalau gagal, lo yang tanggung jawab!"
Andi tertawa kecil. "Siap, bos."
Andi terdiam sejenak, wajahnya berubah ketika dia teringat sesuatu. "Eh, tunggu deh," gumamnya pelan.
Tiara menoleh, bingung melihat ekspresi Andi yang tiba-tiba serius. "Kenapa? Ada apa lagi sekarang?" tanyanya sambil menyilangkan tangan.
Andi menghela napas panjang, menatap Tiara dengan raut wajah penuh beban. "Gue baru inget, minggu depan gue ada kegiatan Mapala."
"Mapala? Maksud lo, pecinta alam itu?" tanya Tiara sambil mengernyitkan dahi.
Andi mengangguk. "Iya. Kita bakal camping di hutan selama seminggu penuh. Jadi, gue nggak bisa streaming atau ngerjain apa pun selama itu."
Tiara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi tersebut. "Hah? Lo serius? Terus gimana sama rencana baru lo?"
Andi tersenyum lemah. "Makanya gue bilang, kita harus sabar. Gue bakal fokus ke Mapala dulu, nanti setelah itu kita lanjut cari solusi buat masalah banned ini."
Tiara menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Jadi, gue ditinggal seminggu sendirian? Lo enak-enakan di hutan, gue di sini ngapain?"
Andi tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Lo kan selalu punya cara buat sibuk, Ti. Lagian, anggap aja ini waktu buat lo santai."
Tiara menatapnya tajam, lalu tersenyum tipis. "Santai, ya? Baiklah. Tapi gue tunggu ide lo pas balik nanti. Kalau nggak ada hasil, awas aja."
Andi mengangguk sambil tersenyum. "Deal. Tunggu gue balik, dan kita bakal bikin rencana yang lebih gila lagi."
Tiara menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. "Dasar. Ya udah, semoga lo nggak diserang hewan liar di hutan sana."
Andi hanya tertawa, merasa lega karena setidaknya Tiara mengerti.
Andi menatap Tiara dengan ekspresi serius, meskipun tangannya sibuk bermain-main di tubuh wanita itu. "Hemm, ingat ya… Selama gue pergi, lo gak boleh live di aplikasi aneh itu lagi," ucapnya sambil meremas pelan payudara Tiara, membuat wanita itu terkikik kecil.
Tiara mendorong bahunya dengan manja. "Ih, kok lo posesif gitu? Emang kenapa kalo gue live sendiri?" godanya dengan senyum nakal.
Andi mengerutkan kening, seolah tidak senang dengan jawabannya. "Ya jelas kenapa. Gue gak mau lo disalahgunakan orang-orang. Gue gak ada di sana buat jagain lo."
Tiara memiringkan kepalanya, menatap Andi dengan tatapan menggoda. "Santai aja, aku kan udah dewasa. Lagian, siapa juga yang berani macem-macem sama gue?"
Andi menariknya lebih dekat, tatapannya penuh keyakinan. "Tetep, Ti. Gue gak bakal tenang kalau tahu lo ngelakuin itu pas gue gak ada. Jadi janji dulu, oke?"
Tiara tersenyum kecil, lalu menghela napas. "Oke, oke, gue janji. Tapi kalau gue bosan banget gimana?"
Andi terkekeh, mengacak rambut Tiara. "Bosan? Ya tunggu gue pulang aja. Nanti gue hibur lo lebih dari sekadar live streaming."
Tiara hanya menggelengkan kepala sambil tertawa kecil, merasa tersanjung sekaligus terhibur oleh kekhawatiran Andi. "Baiklah, Tuan Posesif. Gue nurut deh, demi lo."
Andi tersenyum puas, lalu mencium kening Tiara dengan lembut. "Good girl. Gue bakal kangen sama lo di hutan nanti."
Tiara hanya tersenyum, memeluk Andi erat, menikmati momen sebelum mereka harus berpisah sementara waktu.
Pagi itu, langit cerah dan udara segar menyambut perjalanan Andi bersama tim Mapala dari kampusnya. Dengan perlengkapan mendaki yang sudah lengkap—tas carrier besar, sepatu gunung yang kokoh, dan jaket tebal—Andi bersiap memulai petualangan panjangnya.
Dia memandangi sekeliling, melihat teman-temannya yang tampak bersemangat. Ada yang sibuk memeriksa barang bawaan, ada pula yang saling bercanda untuk mencairkan suasana. "Yuk, kita mulai!" teriak ketua tim, memimpin mereka dengan antusias.
Andi menghela napas panjang, menyesuaikan tali tas di pundaknya, lalu mulai melangkah. Jalan setapak yang mereka lalui dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan aroma khas hutan yang menenangkan.
Seiring perjalanan, Andi sempat berbincang dengan beberapa teman. "Andi, ini pendakian pertama lo, kan?" tanya Raka, salah satu seniornya.
Andi mengangguk sambil tersenyum. "Iya, pertama kali. Tapi gue udah siap mental, kok."
Raka terkekeh. "Bagus deh. Tapi hati-hati, biasanya pendakian pertama selalu penuh kejutan."
Andi tertawa kecil, meskipun dalam hatinya merasa penasaran dengan apa yang dimaksud.
Selama beberapa jam, mereka terus mendaki, melewati jalur yang semakin menanjak. Keringat mulai membasahi wajah Andi, tapi dia tetap melangkah dengan semangat. Di beberapa titik, tim berhenti untuk beristirahat dan menikmati pemandangan.
"Diem-diem lo kuat juga ya, Andi," ujar salah satu teman perempuannya, Siska, sambil tersenyum.
Andi hanya mengangguk, mengusap keringat di dahinya. "Kan malu kalau gue kalah sama lo, Sis."
Semua tertawa mendengar jawabannya.
Saat senja tiba, mereka mencapai pos perhentian pertama. Andi merasa lega saat melihat lokasi untuk mendirikan tenda. Dia meletakkan tasnya dan duduk di atas batu besar, menikmati udara sejuk dan pemandangan matahari yang perlahan tenggelam di balik bukit.
Namun, dalam hati, Andi mulai merasa sedikit rindu pada Tiara. Bayangan wajahnya muncul, membuatnya tersenyum sendiri. "Semoga dia nggak nekat live streaming sendiri," gumamnya pelan sebelum bergabung dengan teman-temannya untuk mendirikan tenda.