Setelah kafe itu tutup, Tiara mendekati pemilik tempat tersebut. Dengan sedikit basa-basi dan senyum manisnya, dia bertanya, "Pak, boleh tahu nggak alamat orang yang tadi nyanyi? Saya teman lamanya."
Pemilik kafe, yang terpesona oleh kepribadian Tiara, akhirnya memberi tahu alamat Andi. Tiara pun segera pergi ke kontrakan Andi, penuh tekad untuk bertemu dengannya.
Di kontrakan, Andi tinggal bersama tiga orang temannya: Ricky, Fajar, dan Dimas. Suasana malam itu santai, mereka sedang ngobrol sambil menikmati kopi di teras kecil.
Tiba-tiba, Ricky yang sedang duduk di dekat pintu mengintip keluar. Dia terkejut melihat seorang wanita cantik berdiri di depan gerbang. "Eh, bro! Itu ada cewek yang nyari lo!" panggil Ricky sambil melirik ke arah Andi dengan ekspresi penasaran.
Andi yang sedang sibuk dengan gitar kecilnya di ruang tamu menoleh heran. "Cewek? Siapa?" tanyanya, lalu berdiri untuk melihat siapa yang dimaksud.
Saat dia keluar, matanya langsung bertemu dengan sosok Tiara. Wanita itu berdiri dengan senyuman lembut, rambutnya tergerai, membuat Andi tertegun beberapa detik. "Tiara?" gumamnya tak percaya.
Tiara melambaikan tangan kecilnya. "Hai, D. Lama nggak ketemu, ya?" ucapnya dengan nada santai, tapi matanya berbicara lebih dari sekadar sapaan biasa.
Setelah beberapa menit berbincang singkat di depan kontrakan, Tiara tersenyum lembut sambil berkata, "D, kayaknya nggak enak ngobrol di sini. Banyak orang. Gimana kalau kita ketemu di lain waktu, ya? Aku ada nomor lo, nanti aku kabarin."
Andi mengangguk, meski masih sedikit bingung dengan kehadirannya yang tiba-tiba. "Oke, kabarin aja, Ti."
Tiara melangkah pergi, meninggalkan aroma parfumnya yang samar tapi menggoda.
Begitu dia menghilang di tikungan, teman-teman Andi langsung heboh. Ricky, yang pertama kali melihatnya, menepuk pundak Andi keras-keras. "Bro, seriusan tuh cewek nyariin lo? Dia siapa, bro? Cantik banget, parah!"
Dimas yang baru keluar dari dapur ikut menimpali, "Eh, dia cewek lo, ya? Kalau iya, kenalin dong. Sekali-kali gue juga pengen punya temen secantik itu!"
Fajar hanya menatap Andi sambil mengangkat alis. "Lo selama ini diem-diem aja, padahal deket sama cewek level bidadari gitu? Jangan-jangan lo lagi nggak mau ngumbar, ya?"
Andi menggaruk kepala, merasa canggung dengan semua perhatian itu. "Dia cuma… temen lama, bro. Nggak ada apa-apa kok."
Ricky tertawa, jelas tidak percaya. "Ah, bohong lo! Kalau cuma temen, mana mungkin dia bela-belain datang nyari lo sampai ke sini."
Dimas menepuk meja. "Fix, kita harus tahu cerita lengkapnya. Ayo, D, spill semuanya!"
Andi hanya menghela napas panjang, mencoba mengalihkan topik sambil masuk ke dalam. "Udah, bro, nggak usah dibahas. Gue capek. Lagian nggak ada apa-apa yang perlu diomongin."
Tapi di dalam hatinya, Andi tahu kehadiran Tiara membawa sesuatu yang berbeda—sesuatu yang belum siap dia ungkapkan, bahkan kepada dirinya sendiri.
Pada akhir pekan, Andi dan Tiara akhirnya bertemu di sebuah taman yang cukup sepi dan nyaman. Andi sudah duduk di bangku kayu, menunggu Tiara yang datang sedikit terlambat.
Ketika Tiara tiba, Andi memperhatikan penampilannya. Kali ini, dia terlihat berbeda. Tiara mengenakan pakaian casual: kemeja putih longgar yang digulung lengannya, dipadukan dengan celana jeans ketat yang tetap memperlihatkan lekuk tubuhnya meskipun lebih tertutup dari biasanya.
Andi langsung tersenyum lebar begitu melihatnya. "Tumben lo, nggak pakai baju sexy kayak biasa," goda Andi, dengan nada jahil.
Tiara tertawa kecil sambil duduk di sebelahnya. "Kenapa? Ngarep ya?" balasnya dengan nada menggoda, sambil melirik Andi.
Andi tertawa kecil, mengangkat bahu. "Nggak sih, cuma aneh aja. Biasanya lo bikin semua mata cowok melotot."
Tiara mengibaskan rambutnya dengan gaya dramatis, pura-pura sombong. "Kadang gue butuh libur dari jadi pusat perhatian. Lagian, gue mau fokus ngobrol sama lo, D."
Andi menatapnya dengan alis terangkat. "Wah, spesial banget nih. Jadi, lo mau ngomongin apa, Ti? Kayaknya penting banget sampai bela-belain ngajak ketemu."
Tiara terdiam sejenak, tatapannya berubah serius meski masih ada senyum kecil di wajahnya. "D, gue kangen sama lo. Jujur, sejak lo pindah, gue ngerasa kosong. Gue sadar ternyata lo tuh lebih dari sekadar tetangga buat gue."
Andi terkejut mendengar itu, tapi dia mencoba menutupi rasa gugupnya dengan candaan. "Kangen? Aduh, gue nggak bawa tisu nih. Mau nangis lo?"
Tiara menepuk bahunya pelan, sambil tertawa kecil. "Bodoh, gue serius ini. Jangan bikin suasana jadi awkward, dong."
Andi menghela napas dan menatap Tiara. "Oke, gue ngerti. Gue juga kangen, Ti. Tapi gue nggak tahu kita mau ke mana dengan semua ini."
Tiara tersenyum tipis, lalu berkata, "Nggak usah pikir jauh-jauh, D. Gue cuma pengen nikmatin waktu kita bareng. Itu aja."
Andi, seperti biasa, langsung melontarkan candaan. "Jiah, terus gue nikmatin lo boleh, dong?" katanya sambil terkekeh.
Tiara langsung menatapnya dengan ekspresi gemas, lalu menyahut, "Serius dikit napa, D. Lo nggak peka banget sih!"
Andi hanya tersenyum tipis, tahu Tiara mencoba menyampaikan sesuatu yang lebih dalam, tapi dia memilih menahan diri. "Ya udah, gue dengerin kok. Apa, Ti? Lo kangen gue kenapa? Sepi ya nggak ada yang ngelawak di kosan lo?"
Tiara menghela napas panjang, lalu menatap Andi dengan serius. "D, gue nggak cuma kangen obrolan kita. Gue kangen sama lo... sama kehadiran lo."
Andi terdiam sejenak, jarang melihat Tiara sejujur ini. "Jadi, lo serius banget sampai ngajak gue ke taman buat ngomong kayak gini? Tiara yang gue kenal biasanya lebih santai," balasnya, mencoba mencairkan suasana.
Tiara tersenyum kecil, lalu menyandarkan tubuhnya di bangku. "Ya, ini gue yang sekarang, D. Setelah beberapa bulan lo nggak ada, gue jadi sadar kalau ternyata lo itu lebih dari sekadar temen buat gue."
Andi mencoba mencerna kata-kata itu, lalu akhirnya menjawab, "Oke, kalau gitu gue tanya, lo mau hubungan kita jadi apa? Lo kan... ya, lo tau lah. Ada 'om-om' di belakang lo."
Tiara tertawa kecil, meski ada sedikit kesedihan di matanya. "Om-om itu cuma masa lalu, D. Gue udah nggak terlalu deket lagi sama dia. Dan kalau gue jujur sama diri gue sendiri... gue lebih bahagia sama lo."
Andi terkejut, tapi dia juga merasakan sesuatu yang hangat di hatinya. "Ti, lo tau gue nggak bisa ngasih lo hidup mewah atau apa pun yang om-om itu punya, kan?"
Tiara menatapnya, lalu tersenyum lembut. "D, gue nggak butuh itu. Gue cuma butuh lo yang selalu bikin gue ketawa dan ngerasa hidup."
Andi terdiam, merasa bingung sekaligus tersentuh. Dia hanya mengangguk pelan sambil menatap Tiara. "Kita coba dulu, ya, Ti. Gue nggak janji apa-apa, tapi kalau lo mau gue di sini, gue nggak bakal ke mana-mana."
Tiara tersenyum lebar, lalu tanpa ragu menarik Andi ke dalam pelukan singkat. "Itu aja cukup buat gue sekarang, D."
"Eh,Lo gak pengen balik ke kos yang lama." Tanya Tiara.
"Bukannya gak mau,disana mahal... Ya Lo tau sendirilah Gue harus bayar kuliah dan segala macam. Gue juga hidup sendiri di kota ini."
Tiara tersenyum kecil mendengar jawaban Andi. "Udah, nggak usah banyak alasan. Gue juga udah sumpek tinggal di sana, ngeliat muka orang-orang yang sama terus. Kita cari kos baru aja, gimana?"
Andi menatapnya dengan tatapan setengah bercanda. "Cie, ngajakin. Jangan-jangan lo mau gue jadi tetangga lo lagi, ya? Biar gampang ngintip kalau gue lagi mandi."
Tiara tertawa kecil sambil melayangkan pukulan pelan ke bahu Andi. "Bodoh! Siapa juga yang mau ngintip lo. Tapi serius, gue pengen pindah."
Andi mengangkat bahu dengan santai. "Ya, mau aja sih. Tapi, lo tau sendiri gue nggak punya duit buat pindah tempat lagi. Biaya pindah kos itu nggak murah, Ti. Gue masih harus bayar kuliah, makan, terus hidup sendiri di kota ini."
Tiara menghela napas pelan, lalu menatap Andi dengan ekspresi serius. "D, kalau soal duit, gue yang urusin. Lo nggak usah mikirin itu."
Andi langsung menatapnya kaget. "Hah? Lo yang bayarin? Gila aja, gue cowok, Ti. Harga diri gue nggak sampai segitu rendahnya."
Tiara tersenyum jahil. "Halah, gengsi banget sih lo. Gue cuma mau bantu temen lama. Lagi pula, lo kan bakal bikin hidup gue lebih rame. Gue nggak mau tinggal sendirian di tempat baru."
Andi masih ragu, tapi akhirnya dia mengangguk pelan. "Ya udah, gue pikir-pikir dulu. Tapi kalo gue jadi ikut, kos barunya harus murah. Jangan yang fancy-fancy gitu kayak tempat lo sekarang."
Tiara tersenyum puas, lalu menjawab santai, "Tenang aja. Gue udah tahu tempat yang cocok. Kita cari bareng nanti, ya."
Andi hanya bisa tersenyum kecil, merasa bahwa Tiara selalu punya cara untuk mengajaknya masuk ke dalam kehidupan yang lebih rumit, tapi sekaligus lebih menarik.