Aku pergi meninggalkanmu malam itu, membawa langkah yang berat, seberat beban yang kurasakan di dadaku. Angin malam menyentuh wajahku, mengaburkan jejak air mata yang tak sempat kuusap. Aku tahu, ini keputusan yang harus diambil. Tapi kepergian tidak pernah mudah, terutama saat kau tahu kau meninggalkan seseorang di tengah badai yang belum reda.
Setiap langkah menjauh darimu terasa seperti memotong sebagian diriku sendiri. Ada suara di dalam hatiku yang terus bertanya: apakah aku benar-benar melakukan hal yang tepat? Namun, aku juga tahu, berlama-lama di sisimu hanya akan menambah luka. Aku hanyalah cermin retak; apa yang terlihat dariku hanyalah pantulan yang pecah, tak mampu memberi keutuhan pada dirimu.
Hari-hari setelah kepergian itu terasa kosong. Aku mencoba mengisi ruang hampa dalam batinku dengan aktivitas, dengan tawa-tawa yang dipaksakan, tapi bayanganmu selalu ada. Aku teringat sudut matamu yang penuh luka, air mata yang menggantung, dan tatapan yang pernah kau arahkan padaku seolah mencari jawaban yang tak pernah bisa kuberikan.
Sementara itu, aku membayangkan bagaimana kabarmu. Apakah kau sudah menemukan ketenangan? Atau justru semakin terpuruk dalam kesendirianmu? Aku ingin tahu, tapi aku tak berani mencari tahu. Aku tak ingin kehadiranku kembali mengusik perjalananmu menuju penyembuhan.
Namun, ada malam-malam tertentu ketika ingatan itu terlalu kuat, dan aku tak bisa menahan diri untuk merindukanmu. Aku teringat bagaimana kau pernah merasa nyaman di pelukanku, bagaimana sejenak kau tampak tenang meskipun bebanmu tak pernah benar-benar hilang. Aku bertanya-tanya, apakah kau juga merindukanku? Ataukah aku hanyalah mimpi buruk yang ingin kau lupakan?
Di sisi lain, aku mencoba memahami diriku sendiri. Mengapa aku begitu terikat padamu? Apakah aku benar-benar mencintaimu, ataukah aku hanya mencintai gagasan bahwa aku bisa menjadi penyelamatmu? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantuiku, seperti bayang-bayang yang tak pernah pergi meskipun siang telah berganti malam.
Waktu berlalu, dan aku mendengar kabar tentangmu dari seseorang yang pernah mengenal kita berdua. Mereka bilang kau mulai terlihat lebih baik. Senyum kecil kadang menghiasi wajahmu, meskipun ada guratan kesedihan yang belum sepenuhnya hilang. Aku tak tahu bagaimana harus merasa. Bahagia karena kau perlahan pulih, atau sedih karena aku tak lagi menjadi bagian dari proses itu?
Pada akhirnya, aku menyadari satu hal. Hidupmu adalah perjalananmu sendiri, seperti halnya hidupku adalah perjalanan yang harus kutempuh sendiri. Aku tak bisa terus-menerus hidup dalam bayangan masa lalu. Aku harus belajar melepaskan, belajar menerima bahwa tidak semua orang yang hadir dalam hidup kita akan tinggal selamanya.
Dan mungkin, suatu hari nanti, di persimpangan jalan yang tak terduga, kita akan bertemu lagi. Saat itu, aku berharap kau akan menatapku dengan mata yang telah bebas dari luka, dengan senyuman yang menunjukkan bahwa kau telah menemukan kedamaianmu. Hingga saat itu tiba, aku akan terus melangkah, membawa kenangan tentangmu sebagai pelajaran yang berharga. Sebab meskipun aku hanyalah bayangan dalam ceritamu, kau adalah bagian yang tak tergantikan dalam perjalanan hidupku