Chereads / The Story Of Police Azuma / BAB 1: Azuma Nakazawa

The Story Of Police Azuma

Ronal_Arisandi
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 13
    Views
Synopsis

BAB 1: Azuma Nakazawa

Azuma Nakazawa menjalani hari-harinya dengan jadwal yang tidak biasa bagi seorang remaja. Pada pagi hari, ia mengenakan seragam SMA-nya dan berangkat ke sekolah seperti murid lainnya. Namun, begitu bel sekolah berbunyi menandakan akhir jam pelajaran, Azuma bergegas menuju kantor polisi Kabukicho untuk mengenakan seragam birunya dan melanjutkan tugasnya sebagai polisi.

Meskipun usianya muda, Azuma memiliki tekad yang kuat. Kehilangan orang tuanya dalam sebuah perampokan bersenjata beberapa tahun lalu membuatnya bertekad menjaga keamanan kota ini. Kabukicho, yang terkenal sebagai kawasan hiburan malam di Tokyo, penuh dengan bahaya, mulai dari geng jalanan hingga organisasi kriminal besar.

Pada suatu malam, setelah selesai dengan tugas patroli reguler, Azuma menerima panggilan darurat melalui radio. Ada laporan tentang seorang pria bersenjata yang menyandera beberapa warga di sebuah bar di tengah Kabukicho. Tanpa ragu, Azuma berlari menuju lokasi bersama rekannya, seorang polisi senior bernama Detektif Saito.

Ketika tiba di lokasi, Azuma merasakan adrenalin mengalir deras. Bar tersebut dikelilingi oleh cahaya neon, tetapi suasananya tegang. Penjahat itu, seorang pria bertato besar, tampak memegang senjata dan berteriak-teriak di dalam bar. Saito meminta Azuma untuk tetap di belakang, tetapi Azuma merasa ia harus melakukan sesuatu.

Setelah menganalisis situasi, Azuma menyadari bahwa penjahat itu tampak gelisah dan emosional. Ia teringat pada pelatihan dasarnya tentang negosiasi. Dengan hati-hati, Azuma masuk ke dalam bar, mencoba berbicara dengan pria itu. Ia menggunakan nada suara yang tenang dan mencoba mengalihkan perhatian penjahat dengan cerita pribadinya tentang kehilangan orang tuanya di tangan penjahat.

"Jika kamu menyerah sekarang," kata Azuma perlahan.

" kamu masih punya kesempatan untuk memperbaiki hidupmu. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan segalanya. Tapi membahayakan orang lain tidak akan membuatmu merasa lebih baik."

Penjahat itu tampak bimbang. Suasana mencekam, tetapi perlahan-lahan ia mulai menurunkan senjatanya. Tim polisi langsung bergerak cepat untuk menangkap pria itu tanpa ada korban luka.

Setelah kejadian itu, Azuma kembali ke rumahnya yang kecil, kelelahan tetapi puas. Ia menyadari bahwa tugasnya sebagai polisi tidak hanya tentang menangkap penjahat, tetapi juga memahami manusia di balik kejahatan itu.

Namun, malam itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Di meja dapurnya, Azuma menemukan amplop tanpa nama. Di dalamnya, terdapat sebuah surat dengan pesan singkat:

" Kamu tidak akan bisa menyelamatkan semua orang, Azuma. Bersiaplah untuk yang berikutnya. "

Azuma merasakan bulu kuduknya merinding. Ia sadar, perjalanannya baru saja dimulai, dan ancaman yang lebih besar menantinya di kota yang tidak pernah tidur ini.

Azuma memandangi amplop itu dengan napas tertahan. Surat yang sederhana itu membawa ancaman yang tidak kentara, namun jelas bahwa seseorang mengamatinya. Seseorang yang tahu namanya, tahu apa yang baru saja ia lakukan, dan mungkin lebih dari itu. Dengan hati-hati, ia memeriksa amplop dan surat tersebut, berharap menemukan petunjuk, namun tidak ada yang mencolok. Kertas biasa. Tulisan tangan dengan pena hitam. Tak ada jejak sidik jari atau hal mencurigakan lainnya.

Ia menyimpan surat itu di laci mejanya, lalu mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Pikirannya terus berputar. Siapa yang mengirimkan surat ini? Apakah ini dari penjahat yang berhasil ia tangkap malam itu, atau dari seseorang yang lebih besar, yang memperhatikan langkah-langkahnya di Kabukicho?

Keesokan harinya, Azuma memutuskan untuk menceritakan hal itu kepada Detektif Saito. Saat bertemu di kantor polisi, Saito mendengarkan dengan ekspresi serius.

" Kita harus hati-hati, " kata Saito sambil merapikan map di mejanya.

" Kabukicho penuh dengan orang-orang yang merasa terusik dengan keberadaan polisi seperti kita, apalagi polisi muda seperti kamu. Mereka mungkin ingin mengujimu. "

" Jadi, apa yang harus saya lakukan? " tanya Azuma.

" Terus jalani tugasmu seperti biasa. Tapi jangan abaikan instingmu. Kalau merasa ada sesuatu yang tidak beres, beri tahu aku, " jawab Saito tegas.

Malam itu, Azuma kembali ke patroli. Ia mencoba mengalihkan pikirannya dari surat itu, tetapi rasa was-was tidak kunjung hilang. Kabukicho, dengan lampu neonnya yang berwarna-warni, terasa lebih gelap dari biasanya. Bayangan orang-orang di sudut jalan tampak mencurigakan. Namun, malam itu berlalu tanpa insiden besar.

Beberapa hari kemudian, sebuah kasus baru muncul. Seorang wanita muda, seorang pelayan di salah satu bar terkenal di Kabukicho, ditemukan tewas di apartemennya. Polisi mencurigai adanya pembunuhan karena luka-luka di tubuh korban, tetapi tidak ada bukti yang mengarah pada pelakunya. Kasus ini mengguncang Kabukicho, terutama di kalangan mereka yang bekerja di malam hari.

Azuma dan Saito ditugaskan untuk menyelidiki. Mereka mengunjungi bar tempat korban bekerja dan berbicara dengan rekan-rekannya. Di sana, mereka mengetahui bahwa korban sempat menerima ancaman beberapa hari sebelum kematiannya. Salah satu rekannya, seorang pria paruh baya yang terlihat gelisah, akhirnya mengaku bahwa korban sempat bertengkar dengan pelanggan tetap bar tersebut, seorang pria misterius yang sering datang tetapi tidak banyak bicara.

" Dia selalu duduk di sudut bar, memesan minuman yang sama setiap malam," kata pria itu.

"Kami tidak tahu siapa namanya, tapi dia punya tato besar di tangannya—seekor naga hitam yang melilit dari pergelangan hingga bahunya. "

Deskripsi itu membuat Azuma teringat pada pria bertato besar yang ia hadapi beberapa malam sebelumnya. Tapi ini berbeda. Apakah ini hanya kebetulan, atau ada kaitannya?

Ketika ia dan Saito menggali lebih dalam, mereka menemukan bahwa pria dengan tato naga itu terhubung dengan organisasi kriminal yang lebih besar di Kabukicho. Organisasi itu dikenal dengan nama Yami-no-Kiba (Taring Kegelapan), sebuah kelompok yang mengendalikan banyak aktivitas ilegal di kawasan itu, mulai dari perdagangan narkoba hingga perdagangan manusia.

Malam berikutnya, saat Azuma sedang memeriksa dokumen di rumahnya, ia mendengar ketukan pelan di pintu depan. Ketika ia membuka pintu, tidak ada siapa pun di sana. Hanya ada sebuah amplop lain yang diletakkan di lantai.

Azuma membukanya dengan hati-hati. Surat itu hanya berisi satu kalimat:

" Wanita itu hanya permulaan. Apa kamu siap untuk kehilangan lebih banyak? "

Jantung Azuma berdetak kencang. Kali ini, ia tahu bahwa ancaman itu nyata dan langsung ditujukan padanya. Namun, ia juga merasa sesuatu yang lain—rasa marah dan tekad yang semakin besar. Jika Yami-no-Kiba ingin bermain dengannya, ia tidak akan mundur.

" Kalau ini permainan mereka, aku akan memastikan mereka kalah, " gumamnya pelan. Ia mengambil teleponnya dan menghubungi Saito.

" Kita harus bicara. Aku yakin ini bukan kasus biasa. "

Saito mengangkat teleponnya dengan cepat, suaranya terdengar tegas.

" Apa yang terjadi, Azuma? "

Azuma menarik napas panjang sebelum menjawab.

" Aku baru saja menerima surat ancaman. Mereka menyebut 'wanita itu hanya permulaan.' Aku yakin Yami-no-Kiba sedang mengincar sesuatu yang lebih besar. Ini bukan lagi soal balas dendam kecil. "

Hening sejenak di ujung telepon, sebelum Saito berkata dengan nada serius,

" Dimana kau sekarang. ? "

" Di rumahku. Aku butuh kau di sini sekarang. " jawab Azuma.

" Baik. Aku akan segera ke sana. Jangan lakukan apa-apa sebelum aku tiba, " perintah Saito.

Setelah memutus panggilan, Azuma berjalan ke meja kerjanya dan membuka laci. Di dalamnya, tergeletak sebuah pistol yang jarang ia gunakan sejak pensiun dari operasi lapangan. Dengan tangan yang mantap, ia memeriksa pelurunya. Jika Yami-no-Kiba benar-benar ingin bermain permainan ini, ia tidak akan bertahan hanya dengan kata-kata.

Tak lama kemudian, suara ketukan di pintu membuyarkan pikirannya. Azuma mengintip melalui lubang intip, memastikan itu Saito sebelum membuka pintu. Detektif itu berdiri dengan jas hujan basah, wajahnya serius.

" Aku datang secepat mungkin. Mana suratnya?" tanya Saito sambil melangkah masuk.

Azuma menyerahkan surat itu tanpa berkata apa-apa. Saito membacanya dengan teliti, alisnya berkerut dalam. "Ini bukan gaya mereka biasanya. Yami-no-Kiba jarang memberi peringatan. Biasanya, mereka langsung menyerang."

"Itulah yang membuatku khawatir," kata Azuma.

" Mereka ingin aku tahu ini bukan ancaman kosong. Mereka punya rencana besar, dan aku bagian dari itu. "

Saito meletakkan surat itu di meja.

" Kalau begitu, kita harus mendahului mereka. Aku akan memanggil timku dan memulai penyelidikan. Tapi aku butuh kau tetap waspada. Kalau mereka mengejarmu, kau adalah kunci untuk mematahkan rencana mereka. "

Azuma mengangguk, tapi di dalam hatinya, ia tahu ini lebih dari sekadar bertahan. Ini adalah kesempatan untuk membalas dendam atas semua yang Yami-no-Kiba telah lakukan. Ia menatap Saito, mata penuh tekad.

" Jangan hanya memanggil timmu. Bantu aku mencari tahu siapa yang memimpin mereka sekarang. Kalau kita bisa menemukan otak di balik semua ini, kita bisa menghentikan mereka untuk selamanya. "

Saito menatapnya beberapa saat, kemudian mengangguk pelan.

" Baiklah. Tapi ingat, ini bukan hanya soal balas dendam. Ini soal menghentikan mereka sebelum lebih banyak orang menjadi korban. "

Azuma hanya tersenyum tipis.

" Aku tahu. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkan mereka lolos. "