Prolog
Di dunia sihir bernama Aerth, konflik abadi telah merenggut kedamaian. Sejak Zaman Kegelapan, ketika cadangan Aetherium—sumber daya alam, energi magis dan teknologi Aerth—mulai menipis, dua faksi besar, Timur dan Barat, telah terlibat dalam konflik berdarah. Berabad-abad peperangan telah merenggut banyak nyawa dan meninggalkan luka yang dalam di kedua belah pihak. Kini, di ambang kehancuran —ketika sihir mulai memudar dan teknologi kuno mulai menghilang—semenjak Barat dalam kekuasaan sosok misterius yang hanya dikenal sebagai "The Despot." Ia terobsesi untuk melakukan dominasi dunia dan menguasai seluruh sumber daya alam dan sisa-sisa Aetherium.
Sosok The Despot, meski tidak ada yang pernah melihat sosoknya secara langsung, dia terkenal sebagai sosok yang kejam dan tanpa belas kasih. Wilayah kekuasaannya adalah panggung bagi pesta pora para penjahat—rumah judi kumuh, bordil yang ramai, dan pasar gelap narkoba. Tawa serak para penjudi bercampur dengan jeritan putus asa para korban, menciptakan simfoni mengerikan yang menjadi ciri khas kekuasaan The Despot. Ketakutan merayap di setiap sudut kota, menjadi fondasi bagi imperiumnya. Keadaan ini menjadikan diri dan kekuatannya sebagai simbol penindasan yang menjadi tirani bagi banyak orang.Dua tahun lalu, perjanjian damai yang diharapkan menjadi lem perekat antar faksi, hancur berkeping-keping. Bukan dentang pedang di medan perang yang memecahkannya, melainkan bisikan-bisikan beracun yang merayap di antara para pemimpin. Lidah-lidah licik, bekerja atas perintah Euro -tangan kanan setia The Despot-, entah bagaimana ia berhasil menabur benih perselisihan di dalam tubuh Timur. Kecurigaan satu sama lain merayap seperti kabut beracun, meracuni persatuan yang dulunya kokoh. Propaganda halus namun efektif, diputarbalikkan melalui saluran-saluran rahasia, memecah belah aliansi dan memicu konflik internal. Divide et impera—pecah belah dan kuasai—menjadi strategi utama mereka, jurang pemisah semakin dalam di antara faksi-faksi Timur.
Cino Shikai tuan putri sekaligus salah satu dari pemimpin party timur, dengan segala kebijaksanaannya, berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan integritas Party Timur. Namun, serangan dari dalam dan luar yang dilancarkan Barat begitu cepat dan terkoordinir, demo, kericuhan dan perpecahan terjadi dimana-mana. Satu per satu sekutu Timur mulai goyah dan runtuh, Sebagian wilayah yang sekarat ditarik ke dalam pusaran pengaruh Barat melalui suap, ancaman, dan janji-janji manis. Wilayah-wilayah perbatasan jatuh ke tangan Barat tanpa pertempuran yang berarti, bahkan tanpa kekuatan militer, timur denan keberagaman ras dan sukunya kalah telak dengan perpecahan internal.
Satu tahun setelah kekalahan Timur, di balik bayang-bayang intrik dan psetiap rencana baru The Despot, muncul sebuah teka-teki bagi nya: seorang pemuda misterius. Ia datang seperti angin, tak terduga dan sulit dilacak. Intel Euro yang biasanya efisien dan kejam, dibuat frustrasi oleh pemuda ini. Laporan demi laporan datang dengan informasi yang sama: kegagalan. Rencana penyusupan, sabotase, dan pengumpulan informasi yang disusun dengan susah payah, selalu digagalkan oleh campur tangan yang misterius dan tepat waktu. Jejak nya selalu menghilang sebelum para pengejar Euro dapat mendekat, meninggalkan pertanyaan yang membingungkan: siapa sebenarnya pemuda ini?
Titik balik 1
[kilas balik, satu tahun yang lalu setelah kekalahan besar timur]
Debu beterbangan di jalanan berdebu saat Sean Devan ini pertama kalinya ia memasuki wilayah Timur. Bukan gembar-gembor pasukan atau iring-iringan mewah yang menandai kedatangannya, melainkan ransel usang dan tatapan mata yang mengamati setiap detail. Ia datang seperti angin—misterius dan tak terduga. Langkah pertamanya di tanah Timur membawanya ke sebuah desa kecil di perbatasan. Di sana, di tengah kesibukan pasar pagi, matanya tertuju pada seorang wanita yang tengah membantu seorang ibu tua membawa keranjang belanjaannya. Wanita itu tersenyum ramah, dan senyum itu menular, menghangatkan suasana di sekitarnya. Itu adalah Aisya Liaoning.
Kebaikan hatinya itu memikat perhatian Sean, bahkan merasa ketenangan dari aura yang terpancar dari dalam dirinya. Aisya bergerak dengan anggun, namun tangkas, menunjukkan bahwa ia bukan hanya seorang wanita biasa. Sean mendekat, merasa tertarik untuk berbicara dengannya.
"Permisi," sapa Sean dengan sopan. "Bolehkah saya membantu?"
Aisya menoleh, menatap Sean dengan mata yang jernih. Senyumnya semakin lebar. "Tentu saja," jawabnya. "Terima kasih banyak."
Interaksi singkat itu meninggalkan kesan mendalam bagi Sean. Ada sesuatu yang istimewa dari Aisya, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman dan tenang. Tanpa ia sadari, pertemuan pertama itu menjadi awal dari sebuah ikatan yang kuat.
Beberapa malam sebelum kedatangan Sean, Aisya Liaoning bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat siluet seorang pemuda, samar-samar terlihat di tengah reruntuhan bangunan kuno. Detail wajahnya buram, namun matanya… matanya menyimpan kesan yang kuat, perpaduan antara kedamaian dan badai. Sekilas, Aisya melihat beberapa artefak aneh di sekitarnya, bentuknya sulit diidentifikasi, namun terasa asing dan tidak ada di jamannya. Ia melihat pemuda itu membawa Timur menuju kekejauhan cakrawala, namun dengan harga yang sangat mahal. Di antara reruntuhan itu, Aisya melihat simbol-simbol yang familier, yang mengingatkannya pada legenda kuno Aerth, kisah tentang seorang pemuda yang akan bangkit di saat dunia akan hancur. "Apakah pria yang ada dalam mimpiku ini berhubungan dengan legenda itu?" bisiknya dalam hati, matanya menatap kosong ke langit-langit kamarnya setelah terbangun. "Simbol-simbol itu… artefak-artefak itu… seolah bukan berasal dari dunia ini." Ia merasakan firasat yang kuat, campuran antara peringatan dan harapan, bahwa nasib Timur dan pemuda itu saling terkait. Saat Sean pertama kali sampai di timur dan disaat kedua sorot mata mereka pertamakali bertemu, "dia…" dalam hati Aisya tersentak. Setelah beberapa hari saling mengenal, persaan yakin dari Aisya sudah mantap, intuisinya benar-menar merasakan keterkaian Sean dengan pemuda dimimpinya, dan ia bergegas memperkenalkan Sean pada Cino dan membisikan apa yang dia lihat dalam mimpinya.
Mendengar bisikan dari orang yang sangat ia percaya Cino menatap Sean dengan tatapan menyelidik. Ia melihat tatapan mata Sean yang jujur dan ketenangan yang terpancar dari dirinya. Mendengar bisikan sekaligus melihat langsung potensi misterius itu, Cino memutuskan untuk memberi Sean kesempatan.
"Baiklah," kata Cino. "Kau boleh tinggal di sini dan membuktikan dirimu."
Dari sinilah Sean sering kali ditugaskan sebagai bagian dari regu pengintai dan mata-mata -dengan pertimbangan dia adalah wajah baru yang tidak dikenali musuh- dan ternyata setiap misinya berjalan dengan baik bahkan sangat signifikan hanya dalam beberapa bulan Sean berhasil mengcounter setiap Gerakan barat, hal ini menguatkan kepercayaan Cino pada intuisi dan mimpi yang dialami Aisya.
Dunia diskeitar Sean
Di antara para pemimpin Timur, Cino Shikai, Putri cantik, dewasa, dengan berambut merah pendek dengan aura kepemimpinan yang kuat, menatap Sean dengan tatapan menilai. Bukan hanya karena ramah, kemampuan berbaur Sean juga sangat menarik perhatiannya, tetapi juga kilatan kecerdasan yang ia lihat di mata pemuda itu. Saat Sean berlatih di halaman istana, Cino mengawasinya dari kejauhan. Setiap gerakan Sean, setiap ayunan pedang kayunya, menunjukkan potensi terpendam. Setelah latihan selesai, Cino mendekati Sean.
"Gerakanmu cukup baik," kata Cino dengan suara tenang. "Tapi masih ada ruang untuk perbaikan."
Sean menoleh, tersenyum hormat. "Terima kasih atas penilaiannya, Nyonya Cino."
Mata Cino menyipit. "Panggil aku Cino saja. Dan aku ingin melihatmu berlatih lagi besok."
Dari situ Cino mulai sering mementori Latihannya, terkadang di sela-sela latihan yang intens, Cino melihat kilatan berbeda lagi di mata Sean, seolah ia menyembunyikan pengetahuan yang jauh melampaui usianya. Namun, Ketika Cino mencoba menanyakannya, Sean hanya tersenyum misterius dan mengalihkan pembicaraan."
Seorang kesatria sihir yang dihormati, Aisya memiliki intuisi yang tajam dan hati yang penuh kasih. Ia melihat kebaikan dalam diri Sean, dan merasakan bahwa pemuda itu dapat memberikan kontribusi besar bagi Timur. Suatu malam, di bawah langit bertabur bintang, Aisya berbicara dengan Cino.Namun, tidak semua sekutu memiliki niat tulus. Baron EstoMido Eastya, seorang pembawa masalah dalam Party Timur, seringkali bertindak untuk kepentingannya sendiri, memanfaatkan bahkan membuat situasi menjadi kacau demi keuntungan pribadi. Kehadirannya menciptakan ketidakpercayaan dan keraguan di antara anggota, sebuah kontras tajam dengan sosok Aisya.
Sebagai yang paling dekat dan berperan dalam penerimaan Sean di Faksi Timur adalah Aisya Liaoning Di dunia yang terpecah belah, Earl Aisya Liaoning hadir sebagai sosok pemersatu dan pembawa harapan. Ia bukan hanya seorang pejuang handal dan penyembuh yang berbakat, tetapi juga seorang pemersatu yang mampu merangkul perbedaan dan membangun jembatan antar kelompok. Aisya memiliki karisma luar biasa, menyatukan orang dengan latar belakang berbeda, meredam perselisihan, dan menumbuhkan rasa saling percaya—sebuah kemampuan yang berakar dari keyakinannya pada kebaikan setiap individu dan kapasitas mereka untuk bekerja sama. Di saat Keberadaan Sean beresonansi kuat dengan impian Aisya, sebuah kesamaan visi yang mengikat mereka. Berlandaskan keselarasan inilah Aisya dengan penuh keyakinan bahwa cita-cita bangsa yang diskongnya akan segera terwujud
Di sisi lain seorang gadis muda dengan topi Breton hitam, dengan bekas luka yang memerah terlihat jelas di pipinya yang seputih salju, Arisu Astranova kapten regu tim utara. Matanya yang sedingin es menyapu kerumunan prajurit Timur, berhenti sejenak pada Sean, lalu beralih lagi. Ia berdiri di antara mereka, Kapten dari Regu Utara, bukan sebagai bagian dari barisan mereka, lebih seperti ceetah yang menyamar di Tengah singa.
Bisik-bisik terdengar di antara para prajurit di sekitar Sean. "Regu Utara," desis seorang prajurit, nadanya bergetar antara hormat dan rasa takut. "Mereka bilang satu orang dari mereka bisa merobohkan troll gunung sendirian." Cerita-cerita tentang prajurit-prajurit utara yang tangguh, yang memilih isolasi di balik pegunungan es, sudah lama menjadi legenda. Padahal, mereka jarang sekali terlibat dalam urusan pihak lain. Kehadiran Arisu di Party Timur memunculkan pertanyaan besar: apa yang mendorong Regu Utara untuk mengirim perwakilan mereka?
Kehadiran Arisu di pihak Timur merupakan kejutan besar, bahkan memicu spekulasi di antara para perwira. Kenapa Regu Utara, yang begitu menjaga jarak dari dunia luar, tiba-tiba turun tangan dalam konflik ini? Sean tidak tahu jawabannya. Ia hanya beberapa kali melihat Arisu menentang keputusan para petinggi secara terbuka. Ketidakpeduliannya terhadap hierarki dan protokol militer sangat mencolok. Suatu senja, di depan perapian yang berderak, EstoMido, kapten saat itu, memerintahkan pembakaran desa musuh—sebuah taktik untuk melemahkan moral lawan. Beberapa perwira mengangguk setuju, api tampak berkilat di mata mereka. Namun, Arisu membalas dengan suara dingin dan datar, "Perang bukanlah pemusnahan." Tatapannya menusuk, tertuju pada EstoMido dan para perwira yang hadir.
Malam itu, setelah pertemuan yang tegang itu, Sean mendapati dirinya berdiri di dekat perapian, mencoba menghangatkan diri dari dinginnya malam. Ia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya. Arisu.
Tanpa menoleh, Arisu berkata, "Kau terlihat khawatir." Suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi tetap dingin.
Sean menoleh, sedikit terkejut. "Hanya memikirkan... implikasi dari perintah itu," jawab Sean, mengacu pada perintah EstoMido.
Arisu mengalihkan pandangannya dari api ke Sean. Untuk sesaat, tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu dalam tatapan Arisu—sebuah kilatan yang sulit diartikan—sebelum ia kembali menatap api. "Implikasi... atau moralitas?" tanyanya, nada suaranya masih datar, namun ada sedikit penekanan pada kata 'moralitas'.
Sean terdiam. Ia merasa seperti sedang diuji. "Keduanya, kurasa," jawabnya jujur.
Arisu mengangguk kecil, hampir tak terlihat. "Moralitas adalah kemewahan yang jarang dimiliki dalam perang." Ia lalu terdiam sejenak, sebelum menambahkan, "Tapi bukan berarti harus ditinggalkan sepenuhnya." Ia melirik Sean sekali lagi, tatapannya singkat namun intens, sebelum beranjak pergi, meninggalkan Sean terpaku di dekat perapian.
Beberapa hari kemudian, Cino memberikan perintah yang berbeda: menangkap sekelompok kecil musuh yang terisolasi hidup-hidup untuk diinterogasi—taktik yang lebih masuk akal dan manusiawi. Meskipun demikian, Arisu kembali menyanggah. Kali ini, ia memberikan penjelasan yang lebih detail. "Memenjarakan mereka hanya akan menjadi beban logistik dan menimbulkan masalah di kemudian hari. Biarkan mereka pergi," ucapnya dengan nada dingin. "Menyebarkan berita tentang kekuatan kita, serta desas-desus bahwa kita tidak peduli dengan nyawa mereka yang tidak bersalah, akan jauh lebih efektif dalam melemahkan moral musuh." Cino terdiam, keraguan terlihat jelas di matanya, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
Malam sebelum pertempuran
Beberapa minggu sebelum misi penting, ketegangan merayapi setiap sudut Party Timur. Bisik-bisik tentang pengkhianat, seperti embusan angin dingin, berputar di antara para prajurit, meninggalkan rasa curiga yang tak terlihat namun terasa. Di dalam tenda komando yang remang-remang, Cino membentangkan peta di atas meja kayu kasar. Cahaya obor menari-nari di wajahnya yang serius. Sean dan Aisya berdiri di dekatnya, bersama beberapa perwira kepercayaan Cino.
"Regu pengintai kita melaporkan pergerakan mencurigakan di jalur suplai utara," Cino menunjuk titik merah di peta. "Barat memperkuat pertahanan mereka di sana. Mereka merencanakan sesuatu."
Seorang perwira berkumis tebal bertanya, "Adakah indikasi keterlibatan Regu Utara?"
Cino menggeleng, kerutan di dahinya semakin dalam. "Belum. Namun, kehadiran Arisu di sini tetap menjadi teka-teki. Regu Utara selalu menjaga jarak dari konflik kita dengan Barat. Keterlibatan mereka—jika memang ada—bisa mengubah segalanya."
Dari jendela tenda, Sean melihat Arisu berdiri di bawah cahaya bulan, di ujung lapangan. Siluetnya tampak tegar dan tenang, namun matanya menyapu setiap sudut, setiap bayangan, seolah mencari sesuatu—atau seseorang. Sean merasakan ada rahasia yang disembunyikan di balik ketenangannya itu. Ia merasakan tarikan aneh, antara rasa ingin tahu dan kekaguman yang bercampur dengan kecurigaan.
Beberapa hari kemudian, di bawah naungan pohon maple raksasa yang daunnya mulai menguning, Sean dan Aisya beristirahat setelah latihan pedang yang intens. Keringat membasahi pelipis mereka, napas mereka tersengal.
"Aku khawatir tentang misi ini," kata Sean, menyeka keringatnya dengan punggung tangan. "AstaLia itu… dia psikopat. Ia membantai pasukannya sendiri tanpa ragu."
Aisya mengangguk, matanya memandang kejauhan. "Dia memang lawan yang berbahaya. Tapi kita harus percaya pada kemampuan kita. Dan pada satu sama lain."
Sean menghela napas. "Aku masih belum mengerti mengapa Regu Utara mengirim Arisu. Apa kepentingan mereka dalam konflik ini?"
Aisya menatap Sean, raut wajahnya berubah serius. "Regu Utara adalah kekuatan yang disegani di utara. Mereka menjaga perbatasan dari makhluk dan monster yang berkeliaran di sana. Ada desas-desus bahwa mereka terhubung dengan kekuatan kuno. Jika mereka berpihak pada Barat…" Aisya berhenti, tatapannya dipenuhi kekhawatiran.
Tiba-tiba, suara EstoMido yang riang memecah keheningan. Ia menghampiri mereka dengan senyum lebar. "Kalian berdua terlihat serius sekali! Ada apa?"
"Kami sedang membahas misi," jawab Sean.
"Ah, itu! Jangan khawatir! Aku akan menghancurkan semua musuh!" seru EstoMido dengan percaya diri, menepuk dada.
Aisya tersenyum tipis, namun matanya menyimpan kekhawatiran. "Memang itu tujuan kita, EstoMido Eastaya. Tapi ini bukan hanya tentang kekuatan. Kita harus bekerja sama sebagai tim."
Malam itu, di tenda Sean, di bawah cahaya lilin yang redup, ia menemukan sebuah catatan kecil di bawah bantalnya. Tanpa nama pengirim, hanya tertulis satu kalimat: "Jangan percaya pada siapa pun." Jantung Sean berdebar kencang. Ia merasakan kehadiran seseorang di luar tendanya. Perlahan, ia membuka tirai tenda dan melihat Arisu berdiri di bawah cahaya bulan, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kau tidak bisa tidur?" tanya Arisu, suaranya pelan namun menusuk keheningan malam.
Sean mengangguk. "Catatan itu…" Ia menunjuk ke arah bantalnya.
Arisu melangkah mendekat, bayangannya jatuh di atas Sean. "Beberapa rahasia lebih baik disimpan sendiri," bisiknya, matanya menatap Sean intens. Ia mendekat selangkah, jarak mereka begitu dekat hingga Sean bisa merasakan hawa dingin yang menguar dari tubuh Arisu. "Tapi…" Arisu berhenti sejenak, tatapannya beralih ke bibir Sean sebelum kembali menatap matanya, "ada beberapa rahasia yang terlalu berat untuk dipikul sendirian." Arisu kemudian berbalik dan menghilang di kegelapan malam, meninggalkan Sean dengan jantung berdebar kencang dan pikiran yang dipenuhi teka-teki.
Regu Pengintai
Berhari-hari Sean memimpin tim kecilnya dalam senyap, menyusuri hutan dan lembah, mengintai pergerakan Party Barat. Dengan kesabaran seorang pemburu dan ketelitian seorang ahli strategi, mereka mempelajari setiap detail: pola patroli musuh, titik-titik lemah pertahanan mereka, dan yang terpenting—jalur suplai logistik mereka. Malam itu, rembulan sabit menggantung di langit seperti kuku perak, menerangi jalan Sean kembali ke markas. Di tangannya tergenggam peta kasar, hasil pengamatannya yang teliti. Garis-garis arang menandai rute rahasia yang digunakan Party Barat untuk mengirim pasokan ke garis depan—sebuah informasi berharga yang berpotensi membalikkan jalannya perang.
Sekembalinya Sean, Cino segera mengumpulkan para perwira tinggi di ruang rapat. Udara di ruangan itu terasa berat dengan ketegangan. Cahaya obor yang tergantung di dinding memantulkan bayangan yang menari-nari di wajah-wajah serius. Peta yang dibentangkan Sean di atas meja kayu kasar menjadi pusat perhatian. Cino, dengan suara berat dan nyaring yang membelah keheningan, membuka rapat.
"Laporan dari tim pengintai Sean sangat krusial," kata Cino, jarinya menunjuk ke sebuah titik di peta. "Jembatan kecil di pedesaan ini—itulah jalur suplai rahasia Party Barat. Jika kita berhasil memutusnya, mereka akan kesulitan mempertahankan posisi mereka."
Seorang perwira bertubuh gempal dengan bekas luka di pipinya menyela, "Tapi jalur ini dijaga ketat, Jenderal. Terlalu berisiko untuk menyerang langsung."
Cino mengangguk, matanya menyipit. "Benar. Karena itu, kita akan melakukan operasi rahasia. Sebuah tim kecil akan menyusup ke wilayah musuh dan menghancurkan suplai logistik mereka. Ini bukan hanya tentang memenangkan pertempuran, tapi tentang melumpuhkan mesin perang mereka." Cino mengalihkan pandangannya ke Sean, Aisya, dan EstoMido. "Sean, kau akan memimpin misi ini. Aisya dan EstoMido akan bersamamu. Dan Arisu akan memberikan dukungan dari balik bayang-bayang."
Sean mengangguk mantap, tatapannya bertemu dengan mata Aisya sekejap. Ada keyakinan dan sedikit kekhawatiran di mata Aisya. "Kami siap, Jenderal."
Cino menatap mereka dengan tatapan tajam namun penuh keyakinan. "Keberhasilan misi ini akan sangat menentukan arah peperangan. Berhati-hatilah. Nyawa dan nasib Party Timur ada di tangan kalian." Setelah rapat bubar, Sean merasakan sentuhan ringan di bahunya. Ia menoleh dan melihat Arisu berdiri di belakangnya, matanya yang dingin menatapnya intens.
"Misi yang berbahaya," kata Arisu, suaranya pelan, hampir berbisik, hanya terdengar oleh Sean.
"Memang," jawab Sean, merasakan jantungnya berdetak lebih cepat di bawah tatapan Arisu.
"Tapi… beberapa risiko pantas diambil," lanjut Arisu, tatapannya beralih sejenak ke peta sebelum kembali menatap Sean. "Terutama jika menyangkut sesuatu yang berharga." Arisu berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Sean dengan pertanyaan yang berputar di benaknya. Apa yang dimaksud Arisu dengan 'sesuatu yang berharga'
Titik Balik
Malam yang sudah direncanakan tiba. Misi dimulai di bawah kegelapan bulan. Tim kecil yang terdiri dari Sean, Aisya, EstoMido, dan Arisu menyusup ke wilayah musuh. Sean merasakan firasat buruk yang semakin kuat.
Saat mereka mendekati lokasi penyergapan, suara tawa sinis AstaLia terdengar memecah kesunyian. "Kalian datang juga rupanya. Kupikir kalian terlalu pengecut untuk menghadapi kami."
Pertempuran meletus. Aisya bergerak pertama, pedangnya berputar dengan lincah, membentuk busur cahaya keperakan di udara. Ia menyerang AstaLia dengan rangkaian tebasan cepat dan presisi, memanfaatkan kelincahannya untuk mendesak lawannya. Setiap ayunan pedangnya memancarkan aura tipis berwarna biru muda, menandakan aliran sihir penyembuhan yang aktif, memulihkan stamina dan memperkuat tubuhnya.
AstaLia menyambut serangan Aisya dengan tawa kecil yang dingin, matanya berbinar liar. Ada sesuatu yang gelap dan tak terduga di balik tawanya, seolah ia menari di tepi jurang kegilaan yang tak terduga. Setiap teriakan kesakitan membuatnya semakin bersemangat, seperti memanggil sesuatu yang tersembunyi dalam dirinya. Cambuk berduri di tangannya bergerak seperti ular hidup, mencambuk udara dengan suara mendesis. Meskipun kecepatan dan teknik Aisya unggul, AstaLia mengimbangi dengan jangkauan dan kekuatan cambuknya, serta aura kegilaan yang terpancar darinya. Setiap cambukan yang melesat, bahkan jika tidak mengenai Aisya secara langsung, memancarkan aura energi yang terasa seperti sengatan listrik ringan. Energi sihir ini, meskipun tidak melukai secara fisik, cukup untuk mengganggu konsentrasi Aisya dan membuatnya sedikit limbung. "Kau lambat sekali, manis," desis AstaLia di sela tawanya, "Apa ini yang disebut kecepatan seorang ksatria?"
Aisya melompat mundur, menghindari cambukan yang menyapu tepat di depannya. Ia memanfaatkan momen tersebut untuk menusukkan pedangnya ke tanah, memfokuskan sihirnya. Cahaya hijau muda dari pedangnya mengalir ke telapak tangannya, lalu menyebar ke seluruh tubuhnya, mempercepat pemulihan lukanya yang kecil akibat gesekan cambuk. Ini adalah sihir penyembuhan Aisya yang sangat cepat, dapat memulihkan luka ringan dengan seketika.
AstaLia tidak memberi Aisya waktu untuk beristirahat. Tawanya semakin keras, bergema di medan pertempuran. Ia menghentakkan kakinya ke tanah, dan dari bawah tanah muncul beberapa duri kristal hitam yang tajam, mencoba menjebak kaki Aisya. "Mari bermain-main sedikit!" serunya dengan nada riang yang menakutkan. Dengan sigap, Aisya melompat tinggi, menghindari jebakan tersebut. Namun, saat ia mendarat, AstaLia sudah menunggunya. Ia mengayunkan cambuknya dengan gerakan memutar, menciptakan pusaran angin bercampur debu yang membatasi penglihatan. Tawanya bercampur dengan suara desiran cambuk, menciptakan kombinasi suara yang mengganggu.
Aisya menyipitkan matanya, mencoba melihat menembus pusaran debu. Tiba-tiba, dari dalam pusaran muncul beberapa bayangan AstaLia, masing-masing memegang cambuk yang berkilauan dengan energi listrik. Tawa AstaLia semakin menjadi-jadi, seolah ia sedang menyaksikan lelucon yang sangat lucu. Aisya terkejut, ia tidak tahu mana AstaLia yang asli. Ia terpaksa bertahan, menangkis serangan cambuk dari berbagai arah. Setiap kali cambuk menyentuh pedangnya, sengatan listrik mengalir, membuat otot-ototnya menegang. "Bagaimana? Apa kau menikmati kejutan kecilku?" tanya AstaLia dengan nada mengejek, tawanya masih terus terdengar.
Saat Aisya mulai kewalahan menghadapi ilusi AstaLia, dari belakang salah satu ilusi tersebut muncul AstaLia yang asli, siap dengan serangan mematikan. Matanya berkilat-kilat dengan kegembiraan yang mengerikan. "Saatnya mengucapkan selamat tinggal," bisiknya dengan senyum sadis. Dengan gerakan cepat dan beringas, AstaLia mengayunkan cambuknya, kali ini dengan kekuatan penuh. Cambuk berduri itu menghantam punggung kiri dengan niat menembus hingga ke jantung Aisya, namun niat dari serangan kuat itu gagal duri-durinya hanya menancap dalam dan merobek kulit serta dagingnya. Luka itu menganga, darah menyembur keluar membasahi pakaian Aisya.
Namun, alih-alih tersungkur atau menunjukkan kelemahan, Aisya justru menunjukkan reaksi yang mengejutkan. Dengan gerakan cepat yang tak terduga, di tengah rasa sakit yang luar biasa, ia meraih cambuk yang masih menancap di bahunya! Ia mencengkeramnya erat-erat dan menarik dengan sekuat tenaga, menarik AstaLia dengan paksa ke arahnya. Pada saat yang bersamaan, pedangnya yang masih berada di genggamannya diangkat tinggi-tinggi, siap menghunus AstaLia.
AstaLia terkejut dengan keberanian dan kekuatan Aisya yang tiba-tiba muncul begitu cepat. Ia kehilangan keseimbangan karena tarikan mendadak dan terbawa mendekat ke arah Aisya. Meskipun merasakan tarikan yang kuat, ia mencoba menahan diri, tapi terlambat. Pedang Aisya menyambar dengan kecepatan kilat, menggores dalam lengan atas AstaLia, tepat di dekat bahunya. AstaLia menggeram kesakitan, darah mulai merembes dari lukanya.
Saat itulah hal yang benar-benar diluar prediksi Aisya terjadi. Cambuk yang dipegang Aisya tiba-tiba bergerak dengan sendirinya, duri-durinya melebar dan melilit sekujur tubuh Aisya. Bukan hanya melilit, cambuk itu juga memancarkan sengatan listrik yang sangat kuat, mencabik-cabik kulit Aisya dan membuatnya berteriak kesakitan. Tubuhnya jatuh kejang-kejang akibat sengatan tersebu
Dengan memporak porandakan kepungan musuh Sean yang dari tadi bergerak lurus kearah tujuan utama misi mereka dan tinggal sedikit lagi tercapai, menyadari ada yang aneh Sean melihat kearah Aisya dari kejauhan dan melihat dia terluka parah hingga tergeletak Sean sentak berteriak, "Aisya!" Instingnya menyambar untuk berbalik arah segera menolong Aisya. Namun, sebelum ia sempat melangkah, sebuah bayangan tiba-tiba menyambar dari belakang. Sebuah rasa sakit yang luar biasa menusuk bahu kirinya, dan ia tersentak kaget. Euro Britanny! Ia muncul entah dari mana, dengan gerakan cepat dan tanpa suara, menusuk Sean dari belakang. Belatinya menancap dalam, merobek bahu kiri Sean hingga luka menganga lebar dan darah mulai membasahi pakaiannya.
Sean tersentak kaget, tubuhnya terputar karena dorongan serangan. Matanya melebar, bukan hanya karena rasa sakit yang luar biasa, tetapi lebih karena orang yang menyerangnya. Kemunculan Euro yang tiba-tiba dari belakang, cara ia menyerang perti kilat dan menyiksa lawannya, memicu serangkaian ingatan yang terpendam di benak Sean. Ada sesuatu yang familier dalam sosok Euro, kilatan dingin di matanya, presisi gerakannya… semuanya membangunkan kenangan yang telah lama ia kubur. Untuk sesaat, ia terpaku, antara rasa sakit, terkejut, dan berusaha mengenali sosok di hadapannya.
Euro, setelah menarik belatinya, mendarat dengan ringan di hadapan Sean, menghalangi jalannya. Tatapannya tajam dan intens, seolah mencoba membaca jiwanya. Ada kerut tipis di dahinya, raut wajahnya bercampur antara keheranan dan pengakuan. Tatapan mereka bertemu untuk sepersekian detik yang terasa seperti keabadian. 'Kau—' Euro mulai berucap, sebuah kata yang menggantung di udara, seakan ia hendak mengucapkan sesuatu yang sangat penting.
Namun, sebelum Euro menyelesaikan kalimatnya, Sean bergerak. Rasa sakit yang luar biasa dari luka di bahunya seolah membangkitkannya dari keterkejutan sesaat. Insting bertarungnya kembali menyala, didorong oleh adrenalin dan kemarahan. Dengan langkah tertatih karena menahan sakit dan darah yang terus mengalir, Sean memutar tubuhnya, memanfaatkan inersia untuk meluncurkan serangan balik. Ia tidak menyerang dengan tombaknya, melainkan dengan sikunya, menghantam tepat ke arah dada Euro. Serangan itu begitu kuat dan terarah, didorong oleh adrenalin dan insting bertahan hidup. Luka di bahunya memang sangat mengganggu dan mengurangi sebagian kekuatannya, tapi justru keterbatasan itulah yang memaksanya untuk memaksimalkan setiap gerakan, membuatnya lebih efisien dan mematikan.
Euro yang tadinya kebingungan dan hendak mengucapkan sesuatu, sama sekali tak menyangka serangan secepat dan sekuat ini dari seseorang yang terluka parah dan sudah diserang dengan racun. Matanya melebar, ia hanya bisa mengangkat kedua tangannya untuk menangkis secara insting, tapi tetap saja kekuatan serangan Sean yang sangat cepat membuatnya terdorong mundur beberapa langkah. Ia kehilangan keseimbangan sejenak, raut kebingungan tercetak jelas di wajahnya. Kata yang tadinya hendak ia ucapkan lenyap begitu saja, digantikan oleh keterkejutan dan ketidak siapan, Euro memutuskan mundur.
Sean berdiri dengan napas terengah-engah, darah terus merembes dari luka di bahunya, membasahi pakaiannya. Ekspresinya dingin dan fokus, rasa sakit ia abaikan demi mempertahankan posisinya. Meskipun terluka parah dan sedikit terhuyung, kehadirannya tetap mengintimidasi. Pertarungan mereka diakhiri dengan menghilangnya Euro dalam kegelapan.
"UAAAAGHHH!" auman EstoMido
Tak disangka di sisi lain EstoMido mengamuk seperti Berseker, menyerang musuh dengan brutal hingga menghamburkan pasukan musuh seperti menyapu mainan. Serangan yang dia berikan bersifat area hingga secara massive menghancurkan formasi pengepungan yang dilakukan prajurit Barat, merasa lebih kuat dan diatas angin Ia kemudian terlena pada amukannya hingga tidak menyadari bahaya yang mengintai. Beberapa anak panah yang dilapisi sihir kuat menghujani tubuhnya, membuatnya jatuh berlutut dan sisa prajurit yang mengepunya perlahan mendekat untuk mengeksekusinya. Sean melihat EstoMido jatuh dan terkepung berteriak putus asa. "ESTOOOO!!!" serak teriak Sean yang sudah melemah
Saat itulah, Arisu bergerak. Dengan kecepatan yang luar biasa, ia menebas semua musuh yang mengelilingi EstoMido dan menjatuhkan semua pemanah yang bersembunyi, lalu menghilang lagi dalam kegelapan. Tidak ada yang melihat ke mana ia pergi.
Dengan sisa tenaga, Sean berhasil menghancurkan jembatan vital yang menjadi jalur suplai logistic barat. AstaLia, yang terluka karena serangan Aisya, menatap Sean dengan dingin. "Kalian mungkin memenangkan pertempuran ini," katanya, "tapi perang ini baru saja dimulai."
Setelah misi
Cino mengumpulkan para perwira di tenda komando. Cahaya obor berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang menari-nari di wajah-wajah tegang. "Kita telah mendapatkan jalur suplai penting Party Barat," Cino memulai, suaranya berat dan serak, "namun harganya… Aisya… terluka parah." Ia berhenti sejenak, suaranya tercekat. Matanya yang biasanya tajam dan penuh wibawa kini terlihat kosong dan penuh duka. Ia tidak menyebut nama EstoMido, bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena pikirannya sepenuhnya tertuju pada Aisya. Kehilangan Aisya akan menjadi pukulan yang lebih berat baginya, sebuah luka yang menganga dalam hidupnya. "Ini bukan kemenangan," lanjutnya, nadanya bergetar. "Ini adalah peringatan." Kemudian terungkaplah bahwa catatan yang ditemukan Sean malam sebelumnya bukan sekadar peringatan, melainkan pesan yang menyiratkan pengkhianatan di dalam internal Party Timur.
Sean menatap perban yang melilit bahunya. Bekas luka itu terasa perih, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental. Luka itu bukan hasil dari kurangnya kemampuan, melainkan sepersekian detik kelengahan—sebuah celah yang dimanfaatkan Euro dengan tepat. Kilatan di mata Euro saat belati itu menusuk, entah mengapa membawa Sean kembali ke masa lalu, sebuah ingatan yang tiba-tiba muncul dan mengaburkan fokusnya sesaat. Seandainya ia tidak lengah… Ia menghela napas panjang. Ia tahu betul kemampuannya. Ia bukan orang yang mudah dikalahkan. Namun, ada sesuatu dari pertemuan dengan Euro yang membuatnya kehilangan pijakan, mengusik ketenangannya. Ia mengalihkan pandangan, memikirkan Aisya yang tengah dirawat di tenda terpisah. Kerja sama tim memang penting, tapi ia tahu, kali ini masalahnya lebih dari sekadar strategi di medan perang. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap.
Tujuan Sean di Party Timur lebih dari sekadar balas dendam atau hasrat untuk bertahan hidup. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih busuk di balik kekacauan yang ditimbulkan The Despot dan Euro. Bukan hanya sekadar kekuasaan dan keuntungan materi, melainkan agenda tersembunyi yang bersembunyi di balik tirai kekerasan dan korupsi. Sean merasakan aura gelap yang menyelimuti The Despot, sebuah ambisi yang lebih dari sekadar tirani biasa, sebuah kegelapan yang mengancam untuk melahap seluruh dunia. Ia belum bisa sepenuhnya memahami apa itu, namun ia bertekad untuk mengungkapnya. Ia mengepalkan tangannya, kuku-kukunya memutih, berjanji pada dirinya sendiri untuk mengungkap konspirasi yang menyelimuti The Despot dan menghentikan rencananya, apapun resikonya.
Keesokan harinya, perkemahan terasa kehilangan denyutnya. Tanpa kehadiran Aisya yang menenangkan—dan EstoMido yang… entahlah, kehadirannya selalu membuat perkemahan ramai, entah karena hal baik atau buruk—perkemahan kehilangan keseimbangannya. Kehampaan terasa di setiap sudut perkemahan. Luka Aisya meninggalkan kehampaan yang dalam, mengingatkan betapa pentingnya ia bagi persatuan dan semangat tim. Meskipun sebagian prajurit merasa lega dengan absennya EstoMido sementara, mereka tidak dapat menyangkal bahwa mereka merindukan dinamika, bahkan kekacauan kecil, yang selalu ia bawa. Absennya Aisya—dan secara sekunder EstoMido—membuat segalanya terasa berbeda.
Sean berjalan melintasi barisan prajurit dengan langkah gontai. Tatapannya kosong, menghindari mata siapapun yang berani menatapnya. Bahunya merosot, setiap langkahnya terasa berat, seolah memikul beban seluruh perkemahan. Kilasan adegan pertempuran berputar di kepalanya: wajah khawatir Aisya, teriakan EstoMido, kilatan belati Euro yang menusuk bahunya. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, kuku-kukunya memutih. Aku ada di sana. Aku seharusnya bisa mencegahnya. Bisikan-bisikan di sekitarnya terdengar samar, bercampur dengan suara desing di telinganya. Rasa bersalah itu seperti beban berat yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas. Ia merasa seperti telah mengecewakan semua orang, terutama Aisya.
Malam itu, setelah semua orang pergi, Cino berjalan menuju tenda perawatan. Langkahnya berat dan ragu. Ia berhenti di depan tenda Aisya, mendengar suara lirih dari dalam. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka tirai tenda. Aisya terbaring lemah di atas ranjang, wajahnya pucat dan matanya terpejam. Seorang tabib sedang memeriksa lukanya. Cino mendekat perlahan, duduk di sisi ranjang Aisya. Ia meraih tangannya yang dingin dan menggenggamnya erat.
Bayangan masa lalu melintas di benak Cino. Ia melihat Aisya kecil, seorang gadis kecil berambut hitam legam dengan mata yang berbinar, bermain di padang rumput dekat desa mereka. Mereka telah bersama sejak kecil, berbagi suka dan duka, mimpi dan harapan. Aisya selalu ada di sisinya, menjadi tangan kanannya, penasihatnya, dan sahabat terbaiknya. Kehilangan Aisya akan seperti kehilangan separuh jiwanya.
Air mata mulai menggenang di mata Cino. Ia menatap wajah Aisya yang pucat, berdoa dalam hati agar ia segera pulih. Ia mengusap air matanya dengan kasar, berusaha tegar. Ia tahu, sebagai seorang pemimpin, ia harus kuat di depan pasukannya. Tetapi saat ini, ia hanyalah seorang sahabat yang takut kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Ia mengecup kening Aisya dengan lembut, berbisik lirih, "Bertahanlah, Aisya. Kumohon."