Chereads / Elenthar / Chapter 4 - Tidak ada waktu untuk istirahat – Bagian 2

Chapter 4 - Tidak ada waktu untuk istirahat – Bagian 2

Sekarang, Minho dan Siwon berdiri di depan pintu masuk kapal besar. Aura megah kapal itu membungkam Siwon, sementara Minho terpesona dengan desainnya. Tapi momen itu segera pecah oleh suara tajam seorang pria berpakaian besi hitam yang tiba-tiba memarahi mereka.

"Hei, minggir dari sana! Apa kau ingin mati?" bentaknya dengan nada penuh otoritas. Seragamnya mengindikasikan dia adalah penduduk lantai dua.

Siwon mengepal tinjunya, tak terima. "Apa katamu? Kau mau ber–"

Minho segera mengangkat tangan, menghentikannya. "Tenang, Siwon," katanya lembut. Dia melangkah maju dan membungkuk sedikit, menundukkan kepala dengan sopan. "Maafkan aku. Aku hanya terpesona melihat betapa megahnya kapal ini."

Pria berpakaian besi hanya mendengus, tak berniat membalas permintaan maaf itu. "Lain kali, sadarilah tempatmu." Dia melangkah pergi dengan dingin..

"Dia menghina kita, Minho! Kau serius hanya akan membiarkan ini berlalu?" Siwon tampak mendidih..

Minho menghela napas panjang, menahan emosinya. "Tidak apa-apa. Bukankah dia benar, Siwon? Kita hanya tamu di sini." Matanya menatap Siwon serius..

Siwon terdiam, bingung dengan reaksi itu. "A-apa maksudmu?"

Minho menepuk pundaknya pelan. "Apa kamu ingin mengalami kejadian seperti tadi sekali lagi?"

Tubuh Siwon bergetar ketakutan, memori mengerikan itu memenuhi pikirannya lagi.

Lantai dua, dunia yang seluruhnya lautan tanpa daratan. Rasa putus asa pertama kali menyerang mereka saat mereka jatuh dari langit. Mereka bertiga—Minho, Siwon, dan satu temannya lagi Hyunsuk—berenang tanpa arah, mencari sisa-sisa bangunan yang terlihat.

"Apa ini... liburan ke pantai gratis?" canda Hyunsuk, berusaha meringankan suasana meski dirinya tampak kelelahan..

Minho hanya tertawa kecil sambil berenang di depan. "Liburan katamu? Cari dulu bangunan itu sebelum kita mati kedinginan di sini."

Gelombang ombak yang besar menggulung tanpa ampun, mendorong mereka semakin jauh dari tempat yang dituju. Tapi Hyunsuk, seperti biasanya, terus mencoba membuat lelucon. " Jangan kaku seperti itu, Kapan terakhir kita bercanda begini?"

Saat mereka mendekati bangunan yang masih menyembul dari permukaan laut, suasana mulai berubah mencekam. Hyunsuk, yang berada di belakang, tiba-tiba berhenti bergerak.

"Hei, kenapa kau berhenti?" teriak Siwon dari tengah..

Hyunsuk menatap sesuatu di atasnya dengan mata membelalak. "Minho... ada... sesuatu... di atasku..."

Minho dan Siwon mengira Hyunsuk bercanda, tapi saat mereka melihat ke belakang, napas mereka terhenti. Sesosok monster ikan raksasa dengan mulut penuh gigi tajam meluncur cepat ke arah mereka.

"Hyunsuk! LARI!" teriak Minho panik..

Terlambat. Boom!!

Gelombang besar menghantam mereka, dan Hyunsuk tertelan seiring monster itu menerkamnya. Siwon membeku, tak sanggup bergerak. Minho segera berenang ke arahnya, menarik Siwon yang hampir tenggelam dalam ketakutan.

Dalam perjuangan mati-matian, Minho memanfaatkan kekuatan telekinesisnya untuk menghancurkan puing-puing bangunan dan menyerang monster itu. Tapi serangan itu hanya membuat makhluk itu mundur sejenak.

Akhirnya, mereka berhasil mencapai bangunan terakhir yang masih berdiri. Tapi keheningan yang tersisa membawa rasa bersalah yang mencekik.

"Ini salahku.." gumam Minho sambil menatap kosong ke lantai. "Aku seharusnya lebih cepat. Seharusnya aku melindungi Hyunsuk."

"Tidak," bantah Siwon dengan suara bergetar. "Ini salahku, andai saja aku tidak ketakutan.. Jika saja aku punya keberanian..." Kata-katanya terhenti, digantikan oleh tangisan yang tertahan.

Kini mereka berdua terdiam, tenggelam dalam ingatan akan kehilangan. Hyunsuk sudah tiada—dan ini baru awal dari perjalanan mereka di lantai dua. Kedamaian? Bahkan bayangannya pun tak tersisa di dunia ini.

Langit sore memudar, digantikan gelapnya malam. Api kecil yang sebelumnya memberi kehangatan telah padam, menyisakan kegelapan dan kesunyian yang mencekam. Tiba-tiba, sebuah aura menakutkan menyusup ke dalam ruangan, menusuk sampai ke tulang. Minho dan Siwon tersentak bangun, saling bertukar pandang dengan napas terengah-engah.

"Dengar itu?" bisik Minho, melirik ke jendela..

Di luar, bayangan besar mulai bergerak di air, berputar-putar seperti sedang mencari mangsa. Itu adalah ikan monster yang sebelumnya mereka kira telah pergi.

Siwon, ikut aku." ujar Minho tegas, menyentuh bahu temannya. Air di sekitar mereka perlahan mulai naik.

Mereka naik ke lantai paling atas, lantai terakhir yang tersisa. "Apa kita akan mati di sini?" gumam Siwon dengan suara gemetar. Tidak ada harapan yang terlihat di wajahnya..

"Diam.." Minho menempelkan jari di bibir, menyuruhnya tetap tenang. Matanya memindai ruangan. Di sudut, ia melihat meja besar yang masih kokoh.

"Bantu aku" katanya, menggenggam sisi meja. Bersama-sama, mereka mengangkat dan membalikkan meja, menutup tangga terakhir untuk mencegah air naik lebih jauh.

Namun saat melangkah mundur, Siwon tanpa sengaja menginjak sesuatu.

Grumm!

Suara gemuruh menggema. Dari jendela, mereka bisa melihat bayangan besar bergerak di bawah air. Suara itu menyadarkan monster itu.

Bhuum!

Bangunan mereka terguncang hebat. Hantaman dari bawah membuat Siwon terjatuh. Tubuhnya menggigil ketakutan.

Air semakin naik. Minho dan Siwon berusaha menahan meja besar di tangga, tapi tekanan dari air dan suara gemuruh di bawah membuat situasi semakin mencekam.

"Ini tidak akan bertahan lama!" seru Minho sambil memaksa meja tetap di tempatnya..

Di luar, bayangan besar terus berputar-putar. Siwon menggigil, matanya terpaku pada air yang mulai mencapai lantai. "Apa kita benar-benar akan mati di sini?" gumamnya dengan suara gemetar.

"Diam!" bentak Minho, otaknya berpacu mencari solusi.

Ia melihat jendela besar yang menghadap ke laut dan mengambil sebuay keputusan.

"Siwon, tetap di sini," katanya tegas.

"Apa? Kau mau ke mana?" Siwon memegang lengannya.

Minho melepaskan tangannya. "Jika kita tetap di sini, kita akan mati. Seseorang harus melawan monster itu."

"Jangan gila! Kau—"

Namun, Minho tidak lagi mendengarnya, segera dia melompat ke luar jendela.

Di luar, angin malam yang dingin menusuk kulitnya. Ia berdiri di atas puing-puing yang terapung, mencoba menjaga keseimbangan. Matanya menatap bayangan besar di bawah air.

"Baiklah," gumamnya, napasnya berat. Ia mengangkat kedua tangannya. Dengan telekinesis, ia menggerakkan puing-puing di sekitarnya, membentuk penghalang untuk melindungi dirinya.

Monster itu muncul ke permukaan, matanya yang besar dan hitam memandang Minho seperti mangsa. Gigi-gigi tajamnya berkilau di bawah sinar bulan.

Minho menggerakkan tangannya, melemparkan pecahan beton besar ke arah monster. "Majulah, dasar ikan busuk sialan!" teriaknya..

Monster itu menghindar dengan lincah, membuat gelombang besar yang hampir menjatuhkan Minho dari pijakannya. Ia terus menyerang, melemparkan pecahan demi pecahan, tetapi monster itu semakin pintar, menghindari semua serangannya.

Monster itu menyelam, menghilang dari pandangan. Minho terdiam, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tiba-tiba, dari belakang, monster itu muncul dan menghantam keras puing-puing tempatnya berdiri.

Minho terlempar ke udara, tubuhnya hampir jatuh ke laut. Dengan susah payah, ia menggunakan telekinesis untuk menahan dirinya agar tidak tenggelam. Mana-nya mulai terkuras.

Di atas bangunan, Siwon berteriak, "Minho! Berhenti! Kau tidak akan bisa melawannya sendirian!"

Minho tidak mendengar. Matanya menatap monster yang kembali mendekat.

"Inilah saat…" gumamnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melepas pijakannya, membiarkan tubuhnya meluncur ke arah monster sambil tersenyum.

"TIDAK.. MINHO!" Siwon menjerit, tubuhnya berguncang hebat.

Mana Minho terpusat pada suatu tempat, dia siap meledakkan dirinya.

Sedari awal dia sadar bahwa dia tidak akan bisa menang melawannya, karena itu ini adalah satu satunya cara untuk membunuh monster itu, agar temannya Siwon selamat.

Dia yakin, orang lainnya dari lantai satu akan sampai di sini dan menyelamatkannya.

Namun, tepat saat ia hampir memasuki mulut monster, suara seorang wanita menggema di udara. "Terima kasih sudah menjadi umpannya."

Dalam sekejap, monster itu terpotong menjadi beberapa bagian seperti tahu.

Duum!.. Duum!.. Duum!.. Air bercipratan, dan tubuh besar makhluk itu tenggelam perlahan ke dalam laut dengan darah yang begitu banyak.

Minho membuka matanya lebar-lebar. Di hadapannya, seorang wanita berdiri di atas perahu kecil, pedang panjang di tangannya masih meneteskan darah. Gerakannya tadi begitu cepat.

Di jendela, Siwon terisak bahagia melihat Minho masih hidup. Meski ketakutannya belum sepenuhnya hilang, ia tahu satu hal: mereka diselamatkan.

Wanita itu melirik Minho yang masih terkejut di atas puing-puing. "Apa kau akan terus melongo di sana, atau kau ingin naik ke perahu ini?" tanyanya santai, menyarungkan pedangnya kembali..

Seorang wanita bertubuh kecil berdiri di atas perahu, melambaikan tangannya ke arah Minho.

Wajahnya terluka, dan sebuah pedang besar yang menyerupai belati terletak di punggungnya. Tubuhnya terbungkus armor hitam dari besi yang terlihat berat, kontras dengan ukuran tubuhnya yang mungil.

"Te-terima kasih," ucap Minho dengan nada gugup, wajahnya memerah. Ia segera meraih tangan wanita itu, dan dengan bantuan kecil darinya, Minho berhasil naik ke perahu.

Namun, sebelum ia sempat bertanya apa pun, cahaya lampu sorot besar menerangi mereka. Sebuah kapal besar mendekat, suaranya menggemuruh di atas air.

"Hei!" suara berat dari arah kapal memanggil. Sesosok pria berjenggot lebat berdiri di geladak, matanya mengarah pada wanita kecil itu.

"Kapten, setiap kali Anda turun tangan, kami bahkan tidak punya kesempatan untuk bertarung! Anda terlalu cepat!"

Pria berjenggot itu melompat dari kapal, bermaksud mendarat di perahu kecil. Namun, wanita itu langsung menendangnya sebelum ia sempat menyentuh dasar perahu.

"Kalau kau mendarat di sini, perahu ini akan tenggelam, bodoh" ujar wanita itu santai, menatapnya dengan tatapan tajam..

"Eh?" Pria berjenggot itu tercebur ke air, membuat percikan besar. Minho yang menyaksikan semuanya hanya bisa diam, bingung apakah harus tertawa atau tetap serius.

Wanita kecil itu memutar tubuhnya, menatap Minho dengan dingin. "Bawa dia ke kapal. Jangan buang waktu disini" ucapnya tegas..

"Ka-kapten, Anda mau ke mana?" tanya pria berjenggot yang sudah setengah basah, mencoba berenang ke arah perahu kecil.

Tanpa menjawab, wanita itu melompat ke perahu lain yang sudah disiapkan oleh anak buahnya. Dalam sekejap, ia meluncur menjauh, menghilang di balik kegelapan..

"Dasar... Dia selalu seperti itu," keluh pria berjenggot, menepuk dahinya. "Datang sendiri, menyelesaikan semuanya sendiri, dan pergi tanpa penjelasan. Seperti angin saja."

Pria itu kemudian mengarahkan pandangannya pada Minho. "Hah? Aku belum pernah melihat kalian sebelumnya." Matanya menyipit, memperhatikan pakaian Minho yang lusuh dan berbeda dari anak buahnya.

"Ka—" Minho mencoba menjelaskan, tapi pria itu memotong.

"Yah, bukan urusanku. Kapten memerintahkan untuk membawamu ke kapal. Jadi, ayo naik."

Minho mengangguk, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Tu-tunggu sebentar! Bisakah kalian menjemput temanku dulu?" Ia menunjuk ke arah Siwon yang masih berdiri di jendela bangunan yang setengah tenggelam.

Pria berjenggot menghela napas panjang. "Hah... Baiklah. Ayo jemput dia."

Mereka segera mendekati bangunan, dan setelah beberapa teriakan, Siwon akhirnya turun. Tubuhnya masih gemetar, tapi ia berhasil naik ke perahu.

Setelah keduanya berada di kapal besar, Minho melihat sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. Namun, kapten kecil yang sebelumnya menolong mereka sudah tidak terlihat lagi di mana pun.

"Dia sudah pergi lagi," gumam pria berjenggot, melihat tatapan Minho..

"Dia selalu seperti itu. Jangan terlalu memikirkan apa yang dia lakukan. Fokus saja pada keselamatan kalian. Sekarang kalian ada di kapal kami, jadi santai saja."

Minho dan Siwon saling menatap. Meskipun masih banyak pertanyaan yang menggantung di kepala mereka, mereka merasa lega bisa berada di tempat yang lebih aman—untuk saat ini.

"Lebih cepat, lebih cepat. Badai akan segera datang." Orang orang lainnya di atas kapal mulai menurunkan tali agar mereka bisa naik.

Bagi Minho dan Siwon, malam itu meninggalkan luka yang lebih dalam dari sekadar ketakutan.