"Hari ini, sejarah baru akan tercipta," suara Presiden menggema. "Eksperimen Hukuman Terakhir resmi dimulai. Tiga puluh individu telah dipilih untuk menjalani kesempatan kedua mereka. Satu di antara mereka akan keluar sebagai pemenang, menerima kebebasan, dan hadiah sebesar sepuluh juta koin. Namun, jalan menuju kemenangan tidaklah mudah."
Di salah satu sel bawah tanah Penjara CyberCore, Elijah Ward menatap lantai baja dingin di bawah kakinya. Nafasnya berat, dan pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Dia tidak tahu apa yang menantinya, hanya bahwa namanya telah dipanggil.
"Ward," suara sipir menggema melalui pengeras suara di sudut ruangan. "Bersiaplah."
Pintu sel terbuka dengan desisan mekanis. Dua penjaga berbaju lapis baja menunggu di luar. Tanpa sepatah kata, mereka menggiringnya ke lorong panjang dengan lampu neon biru yang berdenyut seperti detak jantung. Suara langkah sepatu bot mereka bergema, setiap langkah terasa seperti palu yang menghantam kesadarannya.
Elijah mencoba menenangkan pikirannya. Dia adalah mantan perampok bank, dihukum seumur hidup karena serangan yang berakhir dengan kematian. Namun, hatinya gelap; dia ingat bagaimana dia tanpa ragu menembak seorang penjaga yang mencoba menghentikannya. Semua demi uang, demi kebebasan. Dalam hati, dia tahu bahwa dalam permainan ini, dia harus menjadi lebih kejam dari sebelumnya jika ingin bertahan hidup.
Di sebuah sel lain, Sofia "The Siren" Rojas tersenyum dingin. Pembunuh bayaran berdarah dingin ini dihukum mati atas serangkaian pembunuhan brutal yang dilakukan tanpa ampun. Baginya, permainan ini hanyalah panggung lain untuk menunjukkan keahliannya. "Bertahan hidup? Itu mudah," gumamnya, suara lembutnya menyimpan racun. Dia berencana menggunakan pesonanya untuk memanipulasi lawan-lawannya sebelum menghabisi mereka.
Sementara itu, Leon "The Butcher" Crane, seorang kanibal bengis dengan reputasi mengerikan, meretakkan buku-buku jarinya saat dia menunggu panggilan. "Hanya satu yang bisa hidup? Aku sudah biasa berburu. Sekarang, buruan itu adalah mereka," katanya dengan seringai sadis.
Lorong tempat para narapidana digiring berakhir di sebuah ruangan besar yang penuh dengan alat teknologi tinggi. Tiga puluh kapsul transparan berjajar, masing-masing cukup besar untuk menampung satu orang. Teknisi dengan jas putih sibuk mempersiapkan peralatan, mengabaikan keberadaan para tahanan yang mulai berdatangan.
"Masuk ke dalam kapsul," perintah salah satu teknisi dengan nada datar.
Elijah memandang kapsul itu dengan ragu. Di sebelahnya, Sofia melangkah dengan percaya diri, senyumnya tipis namun penuh arti. "Semoga beruntung," ucapnya, meski nada suaranya jelas-jelas mengintimidasi.
Leon, di sisi lain, hanya mendengus, matanya berkilat dengan antisipasi. "Ini akan menyenangkan," gumamnya sambil menjilat bibirnya.
Elijah melangkah masuk ke dalam kapsul. Begitu dia berbaring, tutupnya perlahan menutup dengan suara mendesis. Cahaya biru menyelimuti tubuhnya, dan suara elektronik mulai menghitung mundur.
"Lima... empat... tiga... dua... satu."
Dunia di sekitarnya menjadi gelap. Ketika Elijah membuka matanya, dia berada di tempat yang sepenuhnya berbeda. Hutan lebat dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Angin dingin menerpa wajahnya, dan suara burung-burung elektronik terdengar di kejauhan.
Di kejauhan, layar besar melayang di udara, menampilkan angka "30" yang perlahan mulai berkurang.
"Selamat datang di Arena," suara mekanis menggema di udara. "Aturannya sederhana: bertahan hidup. Dan ingat, Anda tidak sendirian."
Elijah mendengar langkah kaki di belakangnya. Dia berbalik, hanya untuk melihat sesosok wanita dengan senjata tajam di tangannya. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya memancarkan sesuatu yang dingin dan tak manusiawi.
"Robot," bisiknya.
Di tempat lain, Sofia tersenyum puas ketika dia melihat seorang pria yang tampak kebingungan. Dengan gerakan cepat, dia meraih sebilah pisau di pinggangnya. "Selamat datang di permainan," katanya sebelum menghilang ke dalam bayangan.
Babak pertama dimulai.