Kalender Dunia Menunjukkan =
Hari = Senin
Tanggal = 01
Bulan = January
Tahun = 2005
Di Saat Tengah Malam, Rumah sakit nampak seperti biasanya, suster - doktor - pasien - orang-orang Berlalu di koridor menuju ke tempat tujuan.
Jam dinding di koridor menunjukkan pukul 3:00 Pagi.
Angin malam yang dingin Menyelimuti Ruangan, menggoyangkan tirai putih.
Di sebuah ruangan bernomor: 9, terletak di sudut rumah sakit, suara erangan kesakitan seorang wanita memecah keheningan.
Namanya nadira, Seorang wanita muda berusia 22 tahun, Usia kandungan 12 bulan yang tengah berjuang di ambang kehidupan dan kematian.
Di samping, nadira sedang di temani oleh suaminya bernama Arya.
Arya menggenggam tangannya erat, memberikan kekuatan meski wajahnya sendiri tak bisa menyembunyikan rasa cemas.
"Aku tidak apa-apa," bisik Nadira sambil mencoba tersenyum, meskipun jelas rasa sakit itu begitu kuat.
Arya mengangguk, meski hatinya tidak baik-baik saja.
Ia tahu kata-kata itu lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Dokter Mira yang memimpin proses persalinan, berusaha menjaga ketenangan.
Namun, ada kegelisahan di matanya. "Detak jantung bayi mulai melemah," katanya dengan nada serius.
"Kita harus segera melakukan tindakan."
"Operasi ?" tanya Arya, matanya melebar karena terkejut.
Dokter mengangguk.
"Ini darurat. Tidak ada pilihan lain."
Arya menatap Nadira, yang tampak kelelahan.
Wajahnya pucat, tetapi matanya tetap bersinar penuh harapan. "Lakukan apa pun yang diperlukan, Dok," katanya dengan suara gemetar.
Di tengah persiapan untuk operasi, Nadira memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya.
Namun, ketakutan akan kematian terus membayang-bayang.
Selama kehamilan, ia sering merasa ada yang berbeda.
Bayinya bergerak dengan pola yang aneh, kadang terlalu aktif, kadang terlalu diam.
Beberapa kali, dokter mengatakan bahwa hasil ultrasonografi menunjukkan anomali kecil, tetapi tak ada yang benar-benar menjelaskan anomali apa yang ada di kandungan.
Ketika Nadira dibawa ke ruang operasi, Arya hanya bisa berdoa.
Ia menunggu di luar ruangan, berjalan mondar-mandir sambil memegangi cincin kawin. Detik terasa seperti abad. Hingga akhirnya, suara tangisan bayi terdengar, tetapi tidak seperti tangisan bayi pada umumnya. Ada nada yang lebih tinggi, hampir seperti suara binatang kecil yang terluka.
Arya segera berlari masuk, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat ekspresi terkejut di wajah para perawat.
Di meja operasi, Nadira menangis haru sambil memeluk bayi kecilnya.
Namun, bayi ituā¦ berbeda.
Kulitnya lembut seperti pasta gigi kodomo---teman baikku, dengan telinga yang panjang menjulur keluar dari kepalanya, menyerupai telinga kelinci.
Tubuh mungilnya di lengkapi dengan ekor kecil yang menggeliat.
Nadira tak peduli. Ia memandang bayinya dengan penuh kasih sayang. "Dia cantik," katanya sambil tersenyum meski air mata mengalir deras.
Arya mendekat, masih terkejut. "Apaā¦ apa yang terjadi?" bisiknya.
Dokter Mira tampak bingung. "Iniā¦ sesuatu yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Struktur DNA bayi iniā¦ sepertinya tidak sepenuhnya manusia."
"Maksud Anda ?" tanya Arya, mencoba menenangkan diri.
"Saya tidak tahu. Ini bisa jadi mutasi genetik atau sesuatu yang lain. Kami harus melakukan tes lebih lanjut."
Di tengah kebingungan, Nadira tetap memeluk bayi kecilnya, memberinya nama Liora, yang berarti "cahaya."
Baginya, Liora adalah keajaiban, tak peduli seperti apa wujudnya.
Namun, konflik baru mulai muncul ketika berita tentang kelahiran bayi ini menyebar di mana-mana.
Beberapa perawat memandang Liora dengan ketakutan, sementara pasien dan yang lainnya merasa penuh rasa ingin tahu.
Malam itu, seorang staf rumah sakit yang penasaran bahkan mencoba mengambil foto bayi tersebut secara diam-diam, tetapi Arya berhasil mencegahnya.
"Dia hanya bayi, manusia seperti kita" tegas Arya dengan nada marah.
"Bukan itu maksud saya, Pak," kata staf tersebut dengan nada gugup.
"Tapiā¦ apakah Anda tidak khawatir ?, Bagaimana jika bayi iniā¦ berbahaya?"
Arya terdiam.
Kekhawatiran itu sebenarnya sudah terlintas di benaknya, tetapi ia mengabaikannya. Bagaimana mungkin ia menganggap darah dagingnya sendiri sebagai ancaman.
Ketika Nadira dipindahkan ke kamar rawat, Arya duduk di tepi tempat tidur, memandangi Liora yang tertidur di pelukan ibunya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Nadira?" tanyanya dengan suara pelan.
Nadira menggeleng. "Aku tidak tahu, Arya, Aku hanya tahu dia milik kita, dan dia adalah anugerah dari tuhan."
Namun, jauh di lubuk hatinya, Nadira mengingat sesuatu.
Beberapa bulan sebelum kehamilan, ia sempat mengikuti program penelitian genetik di sebuah universitas sebagai sukarelawan.
Dosen dan ilmuwan menjanjikan bahwa eksperimen ini aman dan tidak memberi efek apapun ke sukarelawan.
Ilmuwan berkata hanya mengambil sampel darah untuk pengembangan teknologi kesehatan.
"Apakah mungkin ada hubungannya dengan ini ?" Benaknya dalam hati dengan wajah ketakutan.
Namun, ia memutuskan untuk merahasiakan penelitian ini dari Arya.
Ia takut jika kebenaran ini terungkap, suaminya akan memandang Liora dengan cara yang berbeda.
Malam itu, Nadira dan Arya hanya bisa berharap bahwa masa depan akan berjalan baik-baik saja.
Dua bulan telah berlalu sejak kelahiran Liora, dan kehidupan Nadira serta Arya berubah drastis.
Rumah mereka yang dulunya tenang kini penuh kekhawatiran.
Meski Liora tumbuh sehat, tubuhnya semakin menunjukkan perbedaan.
Telinga panjangnya terus memanjang dan lebih sensitif terhadap suara, membuatnya sering terbangun karena bunyi sekecil apa pun.
Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah Liora mulai menunjukkan perilaku yang tak biasa. Ia bisa merespons suara bahkan sebelum sumbernya terdengar jelas, seolah memiliki insting yang tajam.
Nadira menyimpan catatan kecil, merekam setiap perkembangan yang tak wajar.
Malam itu, ketika Liora tertidur di Britania, Nadira dan Arya duduk di meja makan, membahas apa yang selama ini hanya mereka simpan dalam hati.
"Arya, aku merasaā¦, ada yang harus kita lakukan. Kita tidak bisa hanya menunggu dan melihat, Liora berbeda," bisik Nadira dengan nada hati-hati.
Arya meletakkan gelasnya, menatap istrinya. "Maksudmu, kita harus membawanya ke dokter ?, Apa kamu tidak khawatir mereka akan memperlakukannya seperti objek penelitian?"
Nadira terdiam.
Ia tahu Arya benar.
Sejak hari pertama Liora lahir, beberapa dokter sudah menunjukkan ketertarikan yang lebih dari sekadar profesional.
Seperti malam di rumah sakit, ketika seorang perawat mencoba mengambil foto bayi mereka.
"Aku tidak tahu" gumam Nadira.
"Tapi aku tidak bisa berhenti berpikir, apakah aku yang menyebabkan ini."
Arya menatap istrinya dalam-dalam. "Apa maksudmu ?"
Nadira menarik napas panjang, matanya dipenuhi rasa bersalah. "Sebelum aku hamil, aku pernah ikut program penelitian genetik di universitas.
Dosen dan Ilmuwan bilang itu hanya pengambilan sampel darah, tapiā¦ aku rasa itu ada hubungan."
Arya membeku.
Kata-kata Nadira menggema di kepala.
Ia ingin marah, tetapi di balik itu semua, ia tahu Nadira tidak pernah bermaksud mencelakai anak mereka.
"Kenapa kau tidak bilang dari awal?" tanyanya dengan suara pelan, hampir berbisik.
"Aku takut," jawab Nadira lirih.
"Aku takut kamu tidak akan memaafkanku."
Mereka terdiam cukup lama, hingga suara tangisan Liora memecah keheningan.
Nadira bergegas menghampiri betarnia, mendapati Liora menggeliat gelisah, Namun, sesuatu membuatnya tertegun.
Mata Liora yang biasanya cokelat gelap kini terlihat lebih terang, hampir seperti amber, memantulkan cahaya malam.
"Arya," panggil Nadira dengan suara gemetar.
Arya mendekat, dan ia juga terpana melihat perubahan itu. "Kenapa sayangku ?, Apa yang terjadi ?"
Mereka memutuskan untuk memotret perubahan itu, sebagai bukti jika nanti perlu berkonsultasi dengan ahli.
Namun, ketakutan mereka semakin dalam. Nadira mulai merasa bahwa rahasia ini terlalu besar untuk disimpan sendiri.
Keesokan harinya, Seorang pria berpakaian rapi mengetuk pintu rumah mereka.
Ia mengenalkan dirinya sebagai Dr. Adrian, seorang peneliti dari lembaga universitas.
"Kami mendengar tentang kelahiran putri Anda," kata Dr. Adrian dengan nada ramah, meski sorot matanya tajam. "Kami hanya ingin memastikan apakah semuanya baik-baik saja."
Arya segera berdiri di antara Nadira dan pria itu.
"Anak kami baik-baik saja. Terima kasih atas perhatiannya."
Dr. Adrian tersenyum tipis. "Kami tidak berniat mengganggu, Pak Arya. Namun, jika Anda membutuhkan bantuan atau pemeriksaan lebih lanjut, kami memiliki fasilitas terbaik untuk mendukung perkembangan bayi Anda. Tentu saja, semuanya tanpa biaya."
Nadira merasakan jantungnya berdetak kencang.
Ia tahu tawaran itu bukanlah bentuk belas kasihan, melainkan cara untuk mendapatkan akses penelitian ke Liora.
"Kami akan mempertimbangkannya," jawab Nadira, mencoba terdengar tegas.
Setelah Dr. Adrian pergi, Arya menutup pintu dengan keras. "Mereka sudah tahu, Nadira, Cepat atau lambat, mereka akan mencoba mengambil Liora."
Nadira memeluk Liora erat.
"aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Namun, kekhawatiran itu terus membayangi mereka.
Hari demi hari, Nadira dan Arya mulai merasakan ada yang mengawasi.
Mobil hitam sering parkir di ujung jalan, dan beberapa kali mereka mendapati seseorang berdiri di luar pagar rumah mereka.
Dalam situasi penuh tekanan itu, Nadira mengingat seorang kenalan lamanya, Dr. Aline, seorang ilmuwan independen yang dikenal kritis terhadap eksperimen genetik tak etis.
Nadira menghubunginya diam-diam, berharap mendapatkan jawaban atau solusi.
Dr. Aline setuju untuk bertemu di sebuah tempat terpencil.
Ketika akhirnya mereka bertemu, Dr. Aline mendengar cerita Nadira dengan serius, lalu berkata, "Jika program yang kau ikuti adalah apa yang aku pikirkan, maka mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan Liora. Ini bukan hanya tentang penelitian.
Ini tentang kontrol dan eksploitasi."
Nadira merasa tubuhnya lemas.
"Apa yang harus kami lakukan?"
"Aku bisa membantu menyembunyikan jejak kalian," kata Dr. Aline.
"Tapi kau harus siap, Ini bukan solusi mudah. Kalian harus meninggalkan kehidupan lama kalian."
Nadira tahu ini mungkin satu-satunya cara untuk melindungi Liora.
Namun, ia tidak yakin apakah Arya akan setuju. Ketika ia menceritakan hal ini kepada Arya di rumah, wajah suaminya penuh kebimbangan.
"Kita harus meninggalkan semuanya ? Pekerjaan, rumah, semua yang sudah kita bangun ?" Arya menggeleng.
"Tidak, Nadira, kita Harus mencari cara lain"
Namun, malam itu, saat Nadira terbangun dan mendapati seseorang mencoba membuka jendela rumah mereka.
Arya menyadari bahwa waktu mereka hampir habis.
"Kita akan pergi," katanya akhirnya, suaranya berat. "Demi Liora."
Di tengah malam, Nadira, Arya, dan Liora meninggalkan rumah mereka, memulai perjalanan baru dengan identitas baru.
Nadira, Arya, dan Liora tiba di sebuah kota baru yang jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sebelumnya.
Mereka tinggal di sebuah rumah megah di pinggir kota, tempat yang di kelilingi ladang dan hutan kecil.
Tempat itu terasa aman, setidaknya untuk sementara.
Dr. Aline telah membantu mereka mendapatkan identitas baru.
Nadira kini bekerja sebagai penjaga toko buku, sementara Arya mengelola keuangan di sebuah perusahaan fopuveria.
Liora yang kini berusia hampir satu tahun, tumbuh dengan pesat.
Telinganya semakin panjang, tetapi ia selalu mengenakan topi rajut yang Nadira buat untuk menyembunyikan keunikannya.
Nadira mulai memperhatikan bahwa putrinya tidak hanya berbeda secara fisik, tetapi juga memiliki kemampuan yang tak biasa.
Liora dapat merasakan emosi orang-orang di sekitarnya. Ketika Nadira merasa cemas atau takut, Liora akan menggenggam tangannya erat, seolah-olah mencoba menenangkan ibunya.
Meski mereka berusaha menjalani kehidupan normal.
Suatu sore, ketika Nadira pulang dari toko buku, ia melihat seseorang berdiri di ujung jalan yang mengarah ke rumah mereka.
Orang itu mengenakan mantel panjang dan topi, tampak seperti sedang mengamati.
Nadira berusaha untuk tidak panik, tetapi malam itu ia menceritakan apa yang dilihatnya kepada Arya.
"Kita tidak bisa terus hidup seperti ini, Arya. Aku merasa mereka masih mencari kita," kata Nadira dengan suara gemetar.
Arya menggenggam tangannya. "Kita sudah sejauh ini. Kita akan menemukan cara untuk melindungi Liora. Kita harus tetap tenang."
Di tengah ketakutan itu, sebuah harapan datang dari tempat yang tak terduga.
Nadira bertemu seorang wanita tua bernama Bu Ratna, pemilik toko herbal di dekat toko buku tempat Nadira bekerja.
Bu Ratna adalah seseorang yang tampak bijaksana, dengan tatapan yang mampu menenangkan hati.
Ketika Nadira secara tak sengaja menjatuhkan buku dari rak, Bu Ratna memperhatikan tangan Nadira yang gemetar.
"Kau terlihat lelah, Nak," kata Bu Ratna. "Kau menyimpan sesuatu yang berat di hatimu."
Nadira tersentak, tetapi ia hanya tersenyum samar.
"tak apa bu, kaki saya hanya keseleo karena semut merayap."
Bu ratna hanya terdiam dan tidak faham apa yang di ucapkan oleh Nadira.
Namun, setelah beberapa kali pertemuan, Nadira mulai merasa nyaman berbicara dengan Bu Ratna. Suatu hari, tanpa sadar, Nadira menceritakan sedikit tentang Liora.
Ia tidak menceritakan semuanya, tetapi cukup untuk membuat Bu Ratna mengerti bahwa anaknya "istimewa."
"Aku tahu kau khawatir," kata Bu Ratna sambil menuangkan teh.
"Tapi kadang, keistimewaan membawa kita pada jalan yang tidak mudah, Jangan takut pada apa yang berbeda, Dunia mungkin tidak selalu mengerti, tetapi kau harus percaya pada anakmu."
Kata-kata itu menguatkan Nadira.
Kalender Dunia Menunjukkan
Hari = Senin
Tanggal = 01
Bulan = January
Tahun = 2009
Ketika Liora mencapai usia empat tahun, Nadira dan Arya menghadapi dilema baru yaitu memberi pendidikan melalui jalur sekolah.
Mereka tidak bisa terus menyembunyikan Liora di rumah, tetapi bagaimana caranya mengirim anak mereka ke sekolah tanpa mengundang kecurigaan ?.
Setelah berdiskusi panjang, mereka memutuskan untuk menyekolahkan Liora di sebuah taman kanak-kanak bernama TK Aisyah 2.
Nadira membuatkan Liora topi khusus dengan penutup tali agar tidak mudah terlepas.
Liora tampak senang bisa bertemu anak-anak lain, tetapi Nadira selalu merasa tegang setiap kali mengantar dan menjemputnya.
Pada awalnya, semuanya berjalan lancar.
Namun, lama-kelamaan, Nadira mulai mendengar bisikan dari beberapa orang tua.
"Anak itu aneh, Apa kau melihat telinganya? Kadang sepertiā¦ bergerak," bisik seorang ibu di dekat pagar sekolah.
Meski tak secara langsung menghadapi Nadira, ia tahu bahwa kecurigaan mulai muncul.
Hal ini membuat Arya semakin khawatir.
"Bagaimana kalau mereka mulai bertanya ? Bagaimana kalau mereka melaporkannya ke pihak tertentu ?" tanya Arya pada suatu malam.
Nadira hanya bisa terdiam. Ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Masalah mulai memuncak ketika seorang anak di sekolah menarik topi Liora secara tidak sengaja.
Telinga panjangnya langsung terlihat, membuat anak-anak lain terkejut dan beberapa bahkan menangis.
Guru segera menghubungi Nadira, tetapi kejadian itu sudah menyebar di antara orang tua murid.
Saat Nadira datang untuk menjemput Liora, ia merasakan tatapan dingin dari beberapa orang tua.
Guru Liora, seorang wanita muda bernama Bu Niken, berusaha untuk bersikap profesional, tetapi Nadira tahu bahwa ia juga bingung.
"Bu Nadira," kata Bu Niken hati-hati, "Liora anak yang baik. Tapiā¦ beberapa orang tua merasa khawatir. Mungkin Anda ingin menjelaskan tentang kondisinya ?"
Nadira tahu ini adalah momen yang ia takuti.
Nadira hanya tersenyum tipis dan berkata, "Liora sempurna sebagaimana adanya seperti manusia lain, Dia hanya sedikit berbeda karena di beri anugrah lebih istimewa dari sang pencipta."
Namun, malam itu, Arya merasa mereka harus mengambil langkah lebih tegas.
"Kita tidak bisa terus begini. Cepat atau lambat, mereka akan meminta penjelasan lebih jauh. Dan kita tahu, jika hal ini sampai ke pihak tertentu, Liora akan dalam bahaya."
Nadira kembali menghubungi Dr. Aline untuk meminta saran.
Dr. Aline mengatakan bahwa pilihan mereka hanya ada dua: terus berpindah tempat untuk melarikan diri, atau menghadapi dunia dengan berani dan membuka kisah Liora.
Namun, pilihan kedua itu bukan tanpa risiko.
Jika mereka membuka kisah Liora, mereka harus siap menghadapi perhatian publik, sorotan media, bahkan kemungkinan besar ketertarikan dari lembaga-lembaga penelitian.
"Aku tahu kau ingin melindunginya," kata Dr. Aline.
"Tapi terkadang, cara terbaik untuk melindungi adalah dengan menunjukkan kepada dunia bahwa dia bukan ancaman, Dia adalah keajaiban."
Nadira dan Arya kini harus membuat keputusan besar.
Tetap hidup dalam bayang-bayang, atau membiarkan Liora menjalani hidupnya dengan segala risiko yang ada?
Di tengah kebimbangan ini.
Waktu berlalu sangat cepat.
Kalender Dunia Menunjukkan
Hari = Senin
Tanggal = 17
Bulan = Maret
Tahun = 2015
Suatu pagi, Tepat di umurnya yang ke 10 tahun, Liora kini sudah bisa berbicara dengan lancar, memeluk kedua orang tuanya dan berkata, "Aku tidak mau kalian sedih, Aku ingin kalian bahagia ketika bersamaku."
Kalimat sederhana itu menggetarkan hati Nadira dan Arya.
Keesokan harinya, Liora kembali ke sekolah dengan topi khusus yang lebih kuat, dirancang agar tidak mudah terlepas.
Nadira dan Arya tahu membuat keputusan yang rumit.
Sementara itu, Liora, dengan kepolosannya, tampak berusaha keras menyesuaikan diri dengan teman-teman barunya.
Di sekolah, ia berteman baik dengan seorang anak laki-laki bernama Mika, seorang anak yang pendiam dan sering duduk di pojokan kelas.
Sejak pertama kali bertemu, Mika tampak tidak terintimidasi oleh kehadiran Liora, ia tampak penasaran.
"Liora, kenapa kamu selalu pakai topi ?" tanya Mika.
Liora terdiam, matanya berkedip gelisah. "Topi ini membuatku merasa nyaman, A-aku takut nanti ada uang logam jatuh dari atas" jawabnya sambil tertawa kecil karena terpaksa.
Namun, Mika tidak mendesak.
Ia hanya tersenyum mendengar jawaban dari liora.
"Aku pikir itu keren, Kamu terlihat seperti tokoh di buku cerita."
Kata-kata Mika membuat Liora lega.
Meski ia tahu sebagian teman-temannya menatapnya dengan rasa ingin tahu atau bahkan ketakutan, keberadaan Mika memberinya rasa aman.
Saat jam istirahat, anak-anak sedang bermain di halaman sekolah.
Liora duduk di bawah pohon sambil memerhatikan Mika yang bermain bola dengan anak-anak lain.
Ia ingin bergabung, tetapi ragu karena takut topinya terlepas lagi.
Namun, tiba-tiba, bola yang dimainkan anak-anak menggelinding ke arahnya.
Salah satu anak bernama Dina, berlari mendekat untuk mengambil bola, tetapi berhenti tiba-tiba ketika melihat Liora lebih dekat.
"Kenapa kamu selalu duduk sendirian ?" tanya Dina dengan nada agak sinis.
"Aku suka duduk di sini," jawab Liora pelan.
Dina mengerutkan dahi, memperhatikan Liora dengan rasa ingin tahu. "Kamu aneh, tahu nggak ?, Semua orang bilang kamu aneh."
Kata-kata itu menusuk hati Liora.
Ia mencoba tersenyum, tetapi matanya mulai berkaca-kaca, Saat itulah Mika datang.
"Liora nggak aneh !" seru Mika sambil berdiri di depan Dina. "Dia cuma berbeda, dan itu nggak masalah."
Dina mendengus, tetapi akhirnya pergi dengan bola di tangannya. Setelah itu, Mika duduk di samping Liora.
"Kamu tahu, mereka cuma nggak ngerti," kata Mika. "Aku juga sering diejek karena aku nggak suka ngomong, Tapi aku pikir, orang-orang kayak kita lebih istimewa."
Liora tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada orang yang benar-benar memahami dirinya.
Di rumah, Nadira mendengar cerita tentang kejadian itu dari Liora.
Ia merasa bangga sekaligus khawatir. "Bagaimana kalau ada orang tua lain yang mendengar cerita ini? Bagaimana kalau mereka mulai bertanya lebih jauh?" pikirnya.
Namun, Arya mencoba menenangkannya. "Kita tidak bisa terus membatasi dia, Nadira. Dia harus belajar menghadapi dunia, meskipun itu sulit."
Malam itu, Nadira mendapati dirinya terjaga hingga larut malam.
Ia duduk di ruang tamu sambil memandangi foto keluarga kecil mereka.
Dalam hati, ia berdoa agar Liora selalu dilindungi, meski ia tahu dunia di luar sana tidak selalu ramah.
Beberapa minggu kemudian, sekolah mengadakan pesta kecil untuk memperingati hari jadi sekolah.
Semua murid diminta untuk datang dengan kostum unik.
Nadira, meski awalnya ragu, memutuskan untuk membuatkan kostum kelinci untuk Liora.
Ia berpikir, jika Liora tampil sebagai kelinci, telinganya yang panjang tidak akan menimbulkan kecurigaan.
Saat pesta berlangsung, Liora tampak bahagia.
Anak-anak lain terpesona dengan kostum yang di kenakan liora.
dan untuk pertama kalinya, ia merasa diterima.
Dina, yang sebelumnya sering mengejeknya, bahkan memuji kostumnya.
"Kostum kamu lucu banget !" seru Dina.
Liora hanya tersenyum, tetapi di dalam hatinya, ia merasa lebih percaya diri.
Namun, pesta itu juga menjadi momen yang mengundang perhatian orang dewasa.
Seorang guru, Bu Niken, memperhatikan bahwa telinga Liora tampak sangat realistis, seolah-olah bukan bagian dari kostum.
"Liora, boleh Bu Guru lihat kostummu lebih dekat ?" tanya Bu Niken.
Liora terkejut, tetapi sebelum ia sempat menjawab, Mika muncul dan dengan cepat mengalihkan perhatian Bu Niken.
"Bu, kami mau minta foto bareng, boleh, kan?"
Bu Niken teralihkan, tetapi Nadira, yang juga hadir di pesta itu sebagai orang tua, menyadari insiden tersebut.
Ia tahu, Liora semakin sulit disembunyikan.
Hari-hari berikutnya, Liora mulai belajar untuk lebih menerima dirinya sendiri.
Ia masih mengenakan topi, tetapi ia tidak lagi merasa malu dengan siapa dirinya.
Suatu hari, ketika seorang teman baru bertanya tentang topinya, Liora menjawab dengan percaya diri, "Aku suka topi ini, Dan aku suka telingaku juga. Itu bagian dari aku."
Jawaban itu membuat teman-temannya mulai melihat Liora dengan cara yang berbeda.
Mereka tidak lagi merasa aneh, tetapi justru kagum pada keberaniannya.
Meskipun Liora mulai diterima oleh lingkungan kecilnya, Nadira dan Arya tahu bahwa Dunia di luar sana belum tentu sebaik hati anak-anak di sekolah itu.
Suatu sore, Nadira menemukan sebuah surat di kotak pos mereka.
Surat itu tidak memiliki pengirim, tetapi isinya membuat jantung Nadira berdegup kencang
"Kami tahu tentang Liora. Berhati-hatilah, Mereka tidak akan berhenti mencari."
Nadira segera menunjukkan surat itu kepada Arya.
Mereka menyadari bahwa ancaman lama masih mengintai.
Tapi kali ini, mereka tidak lagi hanya melarikan diri.
"Kita harus mempersiapkan Liora," kata Arya.
"Dia tidak hanya harus bisa bersembunyi. Dia harus bisa menghadapi apa pun yang datang padanya."
Nadira setuju.
Kalender Dunia Menunjukkan
Hari = Jumat
Tanggal = 20
Bulan = Desember
Tahun = 2017
Tahun 2017 menjadi awal baru bagi Liora, yang kini memasuki sekolah dasar. Ia berusia 12 tahun, tumbuh menjadi anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, tetapi tetap menyimpan rahasia besarnya.
Sekolah baru ini lebih besar daripada taman kanak-kanaknya dulu, dengan lebih banyak anak-anak dan guru.
Bagi Nadira dan Arya, ini adalah tantangan baru.
Mereka memilih sekolah yang terletak sedikit jauh dari rumah.
Sekolah dasar ini bernama SD 4 Made.
Sebuah SD berkualitas yang lebih sederhana dibanding sekolah-sekolah lain di kota.
Nadira berpikir, semakin sederhana komunitasnya, semakin mudah menyembunyikan rahasia Liora.
Di hari pertama sekolah, Liora mengenakan seragam putih merah yang terlalu besar sedikit di tubuh mungilnya
Ia tersenyum lebar sambil memegang tangan Mama.
Meski gugup, ia tidak ingin terlihat lemah.
"Liora, ingat," kata Nadira sambil berlutut di depan liora. "Kalau ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, langsung bilang ke Mama atau Papa, ya."
Liora mengangguk. "Aku akan baik-baik saja, Ma. Aku janji."
Di kelas, Liora bertemu anak-anak lain yang sebagian besar belum pernah ia kenal sebelumnya.
Sebagai anak baru, ia menarik perhatian teman-temannya.
Beberapa anak mengajaknya bicara, sementara yang lain hanya memandanginya dari jauh.
Salah satu anak yang paling ramah adalah Rani, seorang gadis ceria yang duduk di bangku sebelahnya.
"Hai! Aku Rani, Nama kamu siapa?" tanya Rani dengan antusias.
"Liora," jawabnya dengan suara kecil.
Rani tersenyum lebar. "Namamu bagus ! Kayak nama tokoh novel terkenal di masa depan."
Sejak itu, Rani menjadi teman pertama Liora.
Mereka selalu bermain bersama di jam istirahat, dan Rani sering melindungi Liora dari anak-anak lain yang terlalu penasaran.
Namun, tak semua anak bersikap ramah.
Ada seorang anak laki-laki bernama Fikri yang suka mengolok-olok Liora.
"Kenapa kamu selalu pakai topi ?, Emangnya kepalamu botak, ya ?" tanyanya sambil tertawa.
Liora mencoba mengabaikan, tetapi ejekan itu sering kali menyakiti hatinya.
Ia merasa tidak ada gunanya menjelaskan kebenaran, karena ia tahu mereka tidak akan mengerti.
Masalah lain muncul dari wali kelas Liora, Bu Sinta. Wanita itu sangat perhatian terhadap murid-muridnya, tetapi ia juga cenderung terlalu ingin tahu.
Suatu hari, saat Liora sedang mengerjakan tugas, Bu Sinta menghampirinya.
"Liora, kenapa kamu selalu pakai topi ?, Tidak panas ?" tanya bu sinta dengan nada lembut.
Liora terdiam.
Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Namun, sebelum ia sempat merespons, Rani menjawab untuknya.
"Liora itu suka pakai topi, Bu. Dia bilang itu bikin dia lebih semangat belajar!"
Bu Sinta tersenyum kecil, tetapi tatapannya tetap penuh tanda tanya.
Setelah kejadian itu, Nadira menerima telepon dari sekolah, Bu Sinta ingin bertemu untuk membahas "kebiasaan Liora mengenakan topi"
Hati nadira seketika cemas.
"Bu Nadira, saya hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja, Liora adalah anak yang cerdas, tetapi saya perhatikan dia sangat menjaga topinya, Apakah ada alasan tertentu?" tanya Bu Sinta dengan nada hati-hati.
Nadira menarik napas dalam-dalam. "Liora punya kondisi kulit yang sensitif, Bu. Jadi dia merasa lebih nyaman mengenakan topi. Itu saja."
Bu Sinta tampak tidak sepenuhnya percaya, tetapi ia tidak mendesak lebih jauh.
Liora semakin sadar bahwa ia berbeda Di usia 12 tahun, ia mulai bertanya-tanya mengapa ia tidak bisa hidup seperti anak-anak lainnya.
"Mama, kenapa aku harus pakai topi terus ?, Kenapa aku nggak bisa main bebas kayak teman-temanku ?" tanyanya suatu malam.
Nadira terdiam, mencari kata-kata yang tepat.
"Liora, setiap orang itu berbeda, Kamu istimewa, dan itu bukan hal yang buruk, Tapi kadang, dunia ini belum siap untuk menerima keistimewaan mu itu, Mama dan Papa hanya ingin melindungi kamu."
Liora mengangguk pelan, tetapi di dalam hatinya, ia merasa kesepian.
Suatu hari, saat jam olahraga, hal yang ditakutkan akhirnya terjadi.
Topi Liora tersangkut pada cabang pohon saat ia bermain lompat tali.
Dalam sekejap, telinga panjangnya terlihat jelas.
Anak-anak yang melihatnya terkejut.
"Liora! Telinga kamuā¦ kayak kelinci!" teriak Fikri dengan suara keras.
Beberapa anak mulai tertawa, sementara yang lain terdiam dengan tatapan bingung.
Liora merasa malu dan takut, tetapi ia tidak tahu harus lari ke mana.
Rani yang selalu ada untuknya berdiri di depan Liora. "Berhenti ! Apa salahnya kalau dia punya telinga seperti itu? Dia tetap Liora yang kita kenali setiap harinya kan ?"
Namun, insiden itu menyebar cepat.
Orang tua murid mulai mendengar cerita dari anak-anak mereka dan bisikan-bisikan kembali muncul.
Nadira mendapat telepon dari pihak sekolah yang meminta penjelasan lebih lanjut.
Di rumah, Nadira dan Arya berdiskusi panjang. Mereka tahu ini adalah titik balik yang tidak bisa dihindari.
"Kita tidak bisa terus menyembunyikan ini, Arya. Tapi kalau mereka tahu, apa yang akan terjadi pada Liora?"
Arya mengangguk pelan.
"Mungkin saatnya kita mulai berbicara. Bukan untuk membela diri, tapi untuk menunjukkan bahwa Liora tidak berbahaya. Dia hanya seorang anak kecil."
Sementara itu, Liora mendengar percakapan mama dan papa dari balik pintu.
Ia tahu bahwa rahasianya tidak lagi sepenuhnya menjadi rahasia.
Meski takut, ia merasa lega.
Liora membuka pintu lalu berucap dengan nada pelan.
"Aku nggak mau sembunyiin hal ini lagi, Ma, Kalau mereka mau tahu, aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya."
Nadira dan arya hanya terdiam ketika mendengarkan kalimat itu keluar dari putri kecilnya yang manis.
Keesokan harinya, Nadira dan Arya mendatangi sekolah untuk berbicara dengan pihak sekolah dan beberapa orang tua murid, Dengan tenang, mereka menjelaskan kondisi Liora, tanpa terlalu banyak mengungkapkan detail ilmiah tentang eksperimen yang melibatkan liora.
"Liora adalah anak yang istimewa, Dia lahir dengan kondisi ini dan kami hanya ingin dia menjalani hidup normal seperti anak-anak lain" kata Nadira.
Awalnya, beberapa orang tua merasa canggung, bahkan khawatir.
Namun, perlahan-lahan, beberapa mulai melihat Liora sebagai seorang anak kecil yang sama seperti anak-anak mereka.
Rani dan beberapa teman lainnya tetap mendukung Liora.
Meski tidak semuanya langsung menerima, Liora mulai merasa sedikit lebih ringan.
"Kalau aku harus berbeda, nggak apa-apa" kata Liora kepada Rani. "Yang penting, aku punya teman seperti kamu."
Liora mulai belajar bahwa keberanian dan kejujuran adalah kekuatannya yang terbesar.
Satu bulan kemudian, Liora berangkat ke sekolah seperti biasanya, setelah sampai di sekolah, liora segera masuk ke kelas dan duduk di tempatnya.
Tidak Lama Kemudian, Suasana kelas mendadak ramai ketika seorang anak laki-laki baru masuk.
Guru memperkenalkan dirinya dengan senyum lebar.
"Anak-anak, ini teman baru kita, Namanya Mika, Dia pindahan dari sekolah lain, Ayo, semua ucapkan selamat datang !"
"Selamat datang, Mika!" seru anak-anak serempak.
Mika anak laki-laki dengan rambut hitam lurus dan berkacamata, tersenyum kikuk.
Tatapannya menyapu seluruh kelas, lalu berhenti ketika melihat Liora.
Mata mereka saling bertemu, dan Liora membelalak.
"Mika?" bisiknya tak percaya.
Mika mengangguk kecil, menyembunyikan senyum tipis. Ia langsung mengenal Liora, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu di taman kanak-kanak.
Saat jam istirahat, Mika sengaja menghampiri Liora yang sedang duduk bersama Rani di sudut halaman sekolah.
"Hai, Liora," sapa Mika pelan.
Liora menatapnya dengan penuh rasa rindu. "Mika ! Itu benar-benar kamu!"
Rani yang merasa bingung, menoleh ke arah Liora. "Kamu kenal dia?"
"Dia temanku di TK dulu," jawab Liora sambil tersenyum.
"Kami sering bermain bersama waktu itu."
Rani mengangguk, tetapi ia bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka.
Mika duduk di samping Liora dan mereka mulai berbicara tentang masa lalu.
"Aku nggak nyangka kita bisa bertemu lagi," kata Mika.
"Waktu aku pindah, aku sedih banget, Aku pikir nggak akan pernah ketemu kamu lagi."
Liora mengangguk lalu menjawab
"Aku juga berfikir demikian".
Namun, Mika memperhatikan bahwa Liora tampak lebih hati-hati sekarang.
Ia melihat topi yang selalu di pakai Liora, sesuatu yang tidak pernah ia ingat ada di masa TK dulu.
Tapi Mika tidak bertanya, karena ia tahu Liora akan memberitahunya jika ia siap.
Mika dengan cepat menjadi salah satu anak yang populer di kelas.
Sikapnya yang ramah dan cerdas membuatnya mudah diterima oleh teman-temannya.
Namun, hal itu juga membuat perhatian lebih sering tertuju pada Liora, karena Mika tampak sering menghabiskan waktu bersamanya.
"Kenapa kamu suka main sama Liora ?" tanya Fikri suatu hari. "Dia aneh."
Mika menatap Fikri tajam. "Liora nggak aneh, Kamu yang aneh karena suka ngejek orang lain."
Fikri terdiam, tetapi ucapannya menimbulkan rasa tidak nyaman di hati Liora.
Ia takut Mika akan menghadapi lebih banyak pertanyaan karena dirinya.
Beberapa minggu kemudian, saat jam olahraga, Mika dan Liora akhirnya berbicara lebih terbuka.
Mereka sedang duduk di pinggir lapangan ketika Mika tiba-tiba bertanya "Liora, kenapa kamu selalu pakai topi itu?"
Liora terdiam. Ia tahu ia bisa percaya pada Mika, tetapi ia juga takut reaksinya. Namun, Mika tidak mendesak.
"Aku cuma penasaran," kata Mika sambil tersenyum. "Tapi kalau kamu belum mau cerita, nggak apa-apa."
Keheningan berlangsung sejenak sebelum akhirnya Liora mengambil napas dalam-dalam.
"Mika, aku... berbeda, Kalau aku cerita, kamu janji nggak akan bilang siapa-siapa?"
Mika mengangguk serius. "Janji."
Dengan hati-hati, Liora membuka topinya, memperlihatkan sepasang telinga panjang yang membuat Mika terkejut, Namun, bukannya menjauh, Mika justru tersenyum lebar.
"Itu keren banget, Liora! Aku nggak pernah lihat yang kayak gitu."
"Serius ? Kamu nggak takut ?"
"Kenapa aku harus takut ? Itu cuma bagian dari dirimu, Kamu tetap Liora yang aku kenal."
Kata-kata Mika membuat hati Liora lega, Untuk pertama kalinya, ia merasa ada orang lain selain keluarganya yang menerima dirinya apa adanya.
Namun, keakraban antara Liora dan Mika tidak luput dari perhatian anak-anak lain.
Dina, salah satu anak yang selalu penasaran dengan Liora, mulai curiga.
"Kenapa Mika sama Liora terus, ya ?" bisiknya pada Fikri. "Mereka kayak nyembunyiin sesuatu."
Fikri yang masih dendam karena sering dibalas oleh Mika, mulai memikirkan cara untuk mengungkap rahasia Liora.
Ia sengaja mengamati mereka dari jauh, berharap menemukan sesuatu yang bisa ia gunakan untuk mengejek mereka.
Suatu hari, ia melihat Mika dan Liora berbicara di bawah pohon besar di belakang sekolah.
Ia mendekat diam-diam, bersembunyi di balik semak-semak, Dari jarak itu, ia mendengar Mika berkata "Rahasiamu aman sama aku, kok."
"Rahasia ? Apa maksudnya ?" fikir Fikri.
Malam harinya, Liora menceritakan semuanya pada Nadira. Ia merasa lega karena Mika menerima dirinya, tetapi ia juga takut rahasianya akan bocor.
"Mama, Mika tahu tentang telingaku, Tapi dia janji nggak akan bilang siapa-siapa," kata Liora.
Nadira terdiam, Ia tahu Mika adalah teman baik Liora, tetapi risiko bocornya rahasia semakin besar.
"Apa kamu yakin Mika bisa dipercaya, sayang ?" tanya Nadira lembut.
Liora mengangguk.
"Dia nggak akan mengkhianati aku, Ma."
Beberapa hari kemudian, Fikri berusaha menjebak Liora.
Saat jam istirahat, ia menarik topi Liora dari kepalanya di depan teman-teman lainnya, Dalam sekejap, telinga panjang Liora terlihat.
Teman-teman yang melihat langsung terkejut, Beberapa mundur dengan tatapan bingung, sementara yang lain mulai berbisik-bisik.
Namun, sebelum Liora sempat bereaksi, Mika berdiri di depan Fikri.
"Berhenti !" seru Mika. "Apa yang salah dengan Liora ? Dia cuma berbeda, dan itu bukan alasan untuk kamu mengganggunya !"
"Dia aneh ! Lihat saja telinganya!" balas Fikri.
"Semua orang punya keanehan masing-masing, Kamu cuma nggak suka karena kamu nggak bisa terima orang yang beda dari kamu," jawab Mika tegas.
Setelah kejadian Fikri menarik topi Liora, suasana di sekolah berubah.
Bisikan-bisikan tentang "telinga kelinci" Liora menyebar cepat di kalangan siswa, bahkan sampai ke guru-guru.
Meskipun tidak ada yang membicarakannya secara langsung kepada Liora, tatapan aneh dari teman-teman sekelas mulai terasa setiap kali ia berjalan di koridor sekolah.
Mika tetap berada di sisinya, begitu pula Rani, Namun, Liora tidak bisa menghindari rasa takut dan cemas.
Ketika Di rumah, Nadira dan Arya juga menyadari perubahan ini.
"Liora, apa mereka masih mengejekmu?" tanya Nadira suatu malam ketika ia menemani Liora belajar.
Liora menggeleng pelan. "Nggak langsung, Ma. Tapi mereka sering melihatku aneh. Aku nggak suka."
Arya yang duduk di sofa menatap Nadira dengan tatapan khawatir. "Mungkin kita harus bicara dengan kepala sekolah," usulnya.
"Untuk apa ? Semakin kita membicarakan ini, semakin mereka penasaran. " jawab Nadira.
Liora mendengarkan diskusi itu dengan hati yang berat.
Ia tahu orang tuanya ingin melindunginya, tetapi ia tidak ingin menjadi alasan untuk masalah baru di sekolah.
Bu Sinta, wali kelas Liora, adalah salah satu guru yang mulai mendengar bisik-bisik dari murid-muridnya.
Suatu hari, ia memanggil Liora ke ruang guru saat jam istirahat.
"Liora, Bu Sinta mau bicara sebentar," katanya lembut.
Di ruang guru, Liora duduk dengan gelisah.
Ia takut Bu Sinta akan mengajukan pertanyaan yang sulit dijawab.
"Liora, Ibu dengar beberapa cerita dari teman-temanmu. Tentang... sesuatu yang berbeda darimu. Apa kamu mau bercerita ke Ibu ?"
Liora menggeleng cepat.
"Nggak ada yang perlu diceritain, Bu," katanya dengan suara kecil.
Bu Sinta tersenyum lembut. "Ibu nggak akan memaksa, Tapi kalau kamu butuh seseorang untuk mendengar, Ibu ada di sini."
Liora mengangguk pelan. Meski ia tidak mengatakan apa-apa, sikap Bu Sinta yang hangat membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
Namun, masalah yang lebih besar mulai muncul.
Beberapa orang tua murid mendengar cerita tentang "anak dengan telinga kelinci" dari anak-anak mereka.
Sebagian dari mereka merasa khawatir, meskipun mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Suatu malam, Nadira menerima telepon dari kepala sekolah, Pak Anton.
"Bu Nadira, saya rasa kita perlu bicara. Beberapa orang tua mulai mengeluh tentang... situasi ini," kata Pak Anton dengan nada hati-hati.
Esok harinya, Nadira dan Arya datang ke sekolah untuk bertemu Pak Anton.
"Bu Nadira, Pak Arya, saya mengerti ini situasi yang rumit, Tapi ada beberapa orang tua yang mempertanyakan kenapa tidak ada penjelasan tentang kondisi Liora," kata Pak Anton.
Arya menarik napas panjang. "Pak Anton, kami hanya ingin Liora menjalani kehidupan normal seperti anak-anak lainnya. Apa dia menyakiti siapa pun ? Apa dia menyebabkan masalah di sekolah ini?"
Pak Anton mengangguk. "Tidak, sama sekali tidak. Tapi masalahnya, ketidaktahuan sering kali membuat orang takut. Saya tidak bisa mencegah mereka bertanya."
Diskusi itu berlangsung lama, penuh dengan argumen dan ketegangan. Namun, akhirnya, mereka mencapai kesepakatan.
sekolah akan berusaha menjaga privasi Liora, tetapi Nadira dan Arya harus membantu menjelaskan situasi ini jika ada pertanyaan langsung.
Di tengah semua tekanan itu, Mika dan Rani menjadi pelindung utama Liora. Mereka selalu ada untuknya, bahkan ketika beberapa anak mulai menjauh.
"Kamu nggak perlu peduli apa kata mereka. " kata Mika suatu hari saat mereka duduk di bawah pohon besar.
"Tapi aku merasa semua orang melihatku seperti aku monster" gumam Liora.
Rani menepuk bahunya.
"Kamu bukan monster. Kamu itu keren! Bahkan kalau aku punya telinga kayak kamu, aku bakal pamer ke semua orang."
Liora tersenyum kecil.
"Aku nggak tahu apa yang aku lakukan tanpa kalian."
Meski Liora merasa lebih baik dengan kehadiran Mika dan Rani, ia tahu bahwa situasi ini belum selesai.
Beberapa minggu kemudian, sekolah mengadakan rapat orang tua murid.
Di rapat itu, salah satu orang tua, Ibu Fitri, mengangkat isu tentang "kondisi" Liora.
"Saya tidak mengatakan dia anak yang buruk, tetapi kita perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi., Anak-anak kita pulang dengan cerita aneh, Ini membuat mereka takut," kata Ibu Fitri.
Arya berdiri. Dengan tenang, ia menjelaskan bahwa Liora adalah anak yang sehat dan normal, meskipun ia memiliki kondisi unik.
"Liora tidak berbeda dari anak-anak lainnya. Dia punya mimpi, keinginan, dan ketakutan. Jika kita, orang dewasa, terus menyebarkan ketakutan, bagaimana kita mengharapkan anak-anak kita untuk bersikap terbuka dan menerima perbedaan ?" katanya.
Meski beberapa orang tua tampak masih ragu, sebagian lainnya mulai mengangguk setuju.
Setelah rapat itu, suasana di sekolah perlahan berubah.
Beberapa anak mulai mendekati Liora kembali, meskipun masih ada yang menjauhi.
Bu Sinta juga berusaha menciptakan suasana inklusif di kelas dengan mengajarkan nilai-nilai tentang perbedaan dan toleransi.
Suatu hari, Liora menemukan surat kecil di mejanya. Surat itu dari Dina, yang dulu sering penasaran tentangnya.
"Liora, aku minta maaf karena pernah menganggap kamu aneh, Aku harap kita bisa jadi teman."
Liora tersenyum, merasa ada harapan baru.
Malam itu, Liora berbicara dengan Mama dan Papa di ruang tamu.
"Ma, Pa, aku nggak mau terus sembunyi, Aku tahu nggak semua orang bakal suka aku, tapi aku mau mereka tahu kalau aku nggak berbahaya, Aku cuma Liora, anak anak normal" katanya dengan mata bersinar penuh tekad.
Nadira memeluknya erat.
"Iya Liora sayang, Kita akan selalu ada di sisimu, Apapun yang terjadi."