Angin malam berhembus kencang di arena pertempuran yang kini porak-poranda. Aris berdiri dengan napas tersengal, pedangnya terangkat, tatapannya penuh kebingungan sekaligus amarah. Di hadapannya, lawannya berdiri dengan tenang, bayangan gelap yang tak tergoyahkan meski telah bertarung sengit.
Musuh itu menyeringai tipis, matanya berkilat dalam kegelapan. "Benar dan salah... kau masih terjebak dalam batasan sempit yang diajarkan kerajaanmu, bukan?" suaranya tenang, namun mengandung beban yang berat. "Kau percaya bahwa kau berdiri di pihak yang benar hanya karena itu yang diajarkan padamu. Tapi... bagaimana jika aku katakan bahwa kerajaan yang kau bela bukanlah pilar kebenaran yang kau yakini? Bahwa dunia ini lebih kusut daripada sekadar hitam dan putih?"
Aris mengerutkan kening, hatinya bergejolak. "Apa maksudmu? Apa yang kau coba katakan?"
Musuhnya terkekeh pelan, seakan menikmati kebingungan Aris. "Keluarga Sylas... mereka bukan seperti yang kau pikirkan. Dan kepala keluarga mereka, orang yang menjadi targetku—kau pikir dia benar-benar tidak bersalah? Ataukah dia hanya korban dari kebusukan yang lebih besar? Kau tidak akan mengerti sekarang... tapi kelak, saat kepalsuan yang kau bela runtuh, kau akan mengingat kata-kataku ini."
Aris semakin menggenggam pedangnya, hatinya tak bisa menerima kenyataan yang baru saja dilemparkan kepadanya. Namun, sebelum ia bisa merespons, musuhnya melangkah maju, menatapnya dalam-dalam seolah membaca setiap keraguan di hatinya.
"Aku bisa merasakan... kau dan gadis itu bukanlah bagian dari kebusukan ini. Kalian berdua hanyalah bidak yang terseret dalam kekacauan yang disebabkan oleh kerajaanmu. Hmm, aku tidak akan menghabisimu hari ini."
Dengan kecepatan yang mustahil, musuh itu melesat maju. Aris mencoba mengangkat pedangnya untuk bertahan, namun sebelum ia sempat bereaksi, pukulan telak menghantam tubuhnya. Rasa sakit menyebar seketika, kesadarannya memudar dalam sekejap.
"Selamat tinggal, bocah," suara musuhnya terdengar samar di telinganya sebelum semuanya berubah menjadi kegelapan.
Di kejauhan, Lysandra berlari ke arahnya, berteriak panik. Namun, sebelum ia sempat mencapai Aris, sosok musuh itu sudah menghilang, meninggalkan mereka dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Lysandra jatuh berlutut di samping tubuh Aris yang penuh luka. Napas Aris semakin berat dan tubuhnya semakin lemas. Dengan tangan gemetar, Lysandra menekan luka-luka Aris, berusaha menyembuhkannya dengan sihir yang tersisa dalam tubuhnya. Namun, kelelahan akibat penculikan dan kurungan selama beberapa hari membuatnya lemah. Air mata mengalir di pipinya saat ia berbisik, "Bertahanlah, Aris... tolong, bertahanlah..."
Lysandra menoleh ke tubuh ayahnya yang terbujur kaku tak jauh dari mereka, rasa kehilangan menusuk hatinya. Namun, ia tidak bisa tenggelam dalam kesedihan. Ia kembali fokus pada Aris, mencoba menyalurkan kekuatan terakhirnya. Namun, semakin lama, tubuhnya sendiri mulai melemah, penglihatannya kabur, dan kesadarannya nyaris menghilang.
Suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar mendekat. Para prajurit dan tabib akhirnya tiba. Seorang tabib segera berlutut di samping Lysandra dan Aris, meletakkan tangannya di atas tubuh Aris yang penuh luka. Cahaya lembut menyelimuti Aris, menstabilkan kondisinya.
Lysandra terisak, akhirnya kehilangan kekuatan untuk tetap duduk dan jatuh lemas di sampingnya.
Saat Aris terbangun, ruangan terasa sunyi. Cahaya lembut dari lilin menerangi dinding-dinding kamar keluarga Cean. Ia merasakan tubuhnya berat, seluruh tubuhnya masih diperban. Saat ia mencoba bergerak, rasa sakit menyengat di sekujur tubuhnya.
Di samping ranjang, ibunya tertidur dengan kepala bersandar di tepi tempat tidur. Wajahnya tampak lelah, seolah telah begadang menjaga putranya selama berhari-hari. Aris ingin berbicara, namun tenggorokannya terasa kering. Sebelum sempat berkata apa-apa, pintu terbuka perlahan, memperlihatkan beberapa orang pelayan dan seorang tabib yang langsung melangkah masuk.
"Tuan muda Aris... Anda sudah sadar!" ucap tabib itu dengan nada lega. Tak lama kemudian, suara langkah kaki tergesa-gesa memenuhi lorong luar. Berbagai anggota keluarga Cean dan para pelayan berkumpul di luar pintu, membicarakan keadaan Aris dengan kecemasan dan kelegaan bercampur aduk. Namun di tengah semua itu, Aris hanya bisa terpaku, pikirannya kembali pada kata-kata musuhnya.
Malam berikutnya, Aris masih belum bisa tidur. Kata-kata musuhnya terus terngiang di pikirannya, mengusik ketenangannya. Apakah benar kerajaan yang selama ini ia bela begitu korup? Apakah keluarganya, keluarganya sendiri, hanyalah alat bagi sistem yang lebih besar? Dan yang lebih penting—apa yang sebenarnya disembunyikan keluarga Sylas?
Meskipun tubuhnya masih lemah, Aris tidak bisa tinggal diam. Dengan tekad membara, ia bangkit dari tempat tidur, mengabaikan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Dengan perlahan, ia mengenakan jubahnya dan menyelinap keluar dari kamar.
Ia memutuskan untuk menyelidiki sendiri. Dimulai dengan mencari informasi di dokumen-dokumen kerajaan dan mendengar bisikan-bisikan yang selama ini terabaikan di antara bangsawan. Malam demi malam, ia menyusup ke dalam arsip-arsip rahasia, mendengar percakapan para pejabat di balik pintu tertutup.
Hingga suatu malam, ia menemukan sesuatu yang lebih mengerikan dari dugaannya—sebuah dokumen berisi laporan eksperimen manusia yang dilakukan oleh keluarga Sylas atas perintah langsung dari kerajaan. Para tahanan dan rakyat miskin dikorbankan untuk percobaan yang melibatkan kekuatan sihir, semua demi memenuhi sebuah upacara tertentu.
Nama Dewi Aqua tertulis di setiap halaman laporan itu. Aris merasa tenggorokannya tercekat. Dewi Aqua adalah sosok suci yang dipuja kerajaan sebagai sumber berkah dan kekuatan. Tetapi, mengapa nama dewi itu muncul dalam eksperimen mengerikan ini?
Saat itu juga, Aris menyadari sesuatu. Kerajaan tidak hanya korup—mereka menyembunyikan kebenaran yang jauh lebih dalam, sesuatu yang melibatkan dewa dan manusia dalam lingkaran kegelapan yang tak terlihat. Dan keluarga Sylas... mereka hanyalah alat dari kejahatan yang lebih besar.
Pikiran Aris berputar liar. Apa yang harus ia lakukan dengan kebenaran ini? Dan yang lebih penting—apakah ia siap menghadapi konsekuensinya?