Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 28 - Badai Perang Yang Mereda

Chapter 28 - Badai Perang Yang Mereda

Pertempuran masih menggema di seluruh penjuru medan, suara denting besi dan teriakan amarah bersatu dalam simfoni kematian yang tak henti-hentinya. Azrin dan Elira, dalam kelelahan yang tak terucapkan, mengarahkan pasukan pemberontak menuju jantung pasukan Kekaisaran yang mulai goyah. Namun, kemenangan mereka bukan tanpa bayaran. Setiap langkah penuh dengan darah dan penderitaan, seolah alam itu sendiri mengutuk mereka.

Di medan yang dipenuhi dengan debu dan keringat, Azrin memimpin pasukannya dengan wajah yang penuh tekad. "Terus maju! Mereka tidak akan bertahan lama!" teriaknya, namun suaranya serasa ditelan oleh keganasan pertempuran yang tiada henti. Elira, di sisi lainnya, dengan mata yang membara, melaju ke depan. Setiap gerakan panah dan pedangnya berkilau di bawah cahaya yang memudar, menghujam tubuh musuh dengan ketepatan yang mematikan. Namun, meski semangat mereka tak kenal lelah, kekuatan pasukan Kekaisaran semakin terasa, seperti badai yang tak bisa dihentikan.

Tubuh Elira terasa semakin berat. Setiap tarikan napasnya penuh dengan rasa sakit, setiap langkahnya seolah bertambah lambat. Keringat bercucuran di dahi, bercampur dengan darah yang terciprat ke tubuhnya. Namun, ada sesuatu yang lebih kuat dari rasa lelah, lebih kuat dari rasa sakit—sebuah tekad untuk mengakhiri penindasan yang telah berlangsung begitu lama.

Tiba-tiba, sebuah serangan mendekat, begitu cepat, hampir mengakhiri hidup Elira. Azrin, dengan reflek yang luar biasa, melompat ke depan, pedangnya menghentikan serangan itu tepat waktu. "Elira!" teriaknya, tangannya meraih erat tangan Elira, menariknya mundur dari bahaya. Elira, meski tubuhnya hampir tak bisa bergerak, tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja," katanya, suaranya terputus-putus, namun tak ada waktu untuk beristirahat. Pasukan Kekaisaran kembali menyerang dengan lebih ganas. Azrin, dengan semangat yang tak pernah padam, memimpin balik pasukannya, menyerang titik lemah pertahanan musuh.

Meski semangat mereka tak pernah padam, pasukan Kekaisaran tak gentar. Mereka bertarung dengan keterampilan yang mematikan, merespons setiap serangan dengan perlawanan yang luar biasa. Azrin dan Elira bertarung dengan seluruh jiwa mereka, tetapi mereka tahu, mereka hanya bisa bertahan sedikit lebih lama. Setiap detik terasa lebih berat, setiap langkah semakin tergerus oleh waktu dan kelelahan.

Namun, ada satu hal yang pasti: Kemenangan, meskipun harus ditebus dengan darah dan nyawa.

---

Di pusat komando Kekaisaran, pertarungan antara Caelum dan Fioris mencapai titik puncaknya. Kedua petarung itu, dengan tubuh yang kelelahan, terus bertarung seakan tak mengenal batas. Pedang Lunargleam di tangan Caelum terasa semakin berat, dan darahnya mengalir deras dari luka-luka yang dideritanya. Namun, dia tahu—dia tidak bisa mundur. Tidak sekarang.

Fioris, dengan wajah dingin, berperang dengan kedua pedangnya yang mematikan. Serangannya begitu cepat, mematikan, dan hampir mustahil untuk dihindari. Caelum terpaksa melompat mundur, menghindari serangan itu dengan tubuh yang hampir tak mampu bergerak lagi.

"Aeris!" teriak Caelum, suaranya penuh dengan desakan. Aeris, yang berdiri di sampingnya, segera bergerak, melompat ke arah Fioris dengan niat membunuh yang membara. Namun, Fioris, dengan kecepatan luar biasa, memotong serangan Aeris, hampir mengiris tubuhnya. Aeris terhuyung mundur, namun amarahnya tak terbendung. "Tidak ada yang akan menyentuhnya!" teriaknya, menyerang kembali dengan semangat yang hampir gila.

Sementara itu, Carl dan Torren, yang berhasil mengalahkan beberapa pengawal elit Kekaisaran, maju dari sisi lain, memberi tekanan pada Fioris. Fioris, yang tampak tak terkalahkan sebelumnya, mulai kesulitan. Pedangnya terasa semakin berat, tubuhnya lemah karena pertempuran yang begitu panjang. Pasukan Kekaisaran yang semakin sedikit, tak mampu lagi memberikan perlawanan yang berarti.

Namun, Fioris tidak menyerah. Ia memerintahkan pasukannya untuk bertahan. "Jangan biarkan mereka mendekat!" teriaknya dengan suara serak, namun perintah itu semakin terdengar lemah. Pasukannya, yang semakin sedikit, mulai mundur dengan kesadaran bahwa kekalahan sudah dekat.

Aeris, dengan amarah yang tak terkendali, melompat maju. Dalam satu gerakan yang penuh kebencian, ia melayangkan pedangnya, memotong tangan Fioris yang masih menggenggam senjatanya. Fioris terhuyung mundur, darah mengalir dari luka di tangannya. Kelelahan dan kesedihan tampak jelas di wajahnya. "Mundur! Mundur!" teriaknya, namun suaranya hampir tak terdengar, terhisap oleh deru pertempuran yang semakin jauh.

Fioris yang terpojok, akhirnya mengakui kekalahannya. "Kalian bajingan pemberontak..," katanya dengan wajah penuh kemarahan dan kehinaan. "Tapi ini belum berakhir, selama aku masih hidup." Dengan langkah lemah, ia mundur, meninggalkan medan pertempuran yang kini menjadi kuburan bagi para prajurit Kekaisaran yang telah gugur.

---

Aeris, yang melihat Caelum terluka parah, tidak dapat mengendalikan amarahnya. Tubuhnya sudah melampaui batas, namun ia terus menyerang, melibas pengawal-pengawal elit Kekaisaran satu per satu dengan kegilaan yang tak terkontrol. Setiap serangannya penuh dengan ledakan emosi, setiap langkahnya membawa kehancuran. Fioris yang sudah hampir habis, mundur lebih jauh, melihat pengawalnya jatuh satu per satu di tangan Aeris yang kini hanya dipenuhi amarah.

Ketika pengawal terakhir jatuh, Fioris tak bisa lagi bertahan. Ia mengakui kekalahannya dengan wajah yang penuh kekalahan. "Kalian mungkin menang kali ini," katanya dengan amarah yang tak terucapkan. "Tapi pembalasanku akan datang, Kekaisaran akan datang."

Caelum, meskipun tubuhnya terluka, hanya bisa menyaksikan dengan ekspresi penuh penyesalan. "Kepala Fioris. Aku harus mendapatkannya..." gumamnya, namun tak sempat menyelesaikan kalimat itu. Aeris, yang telah melampaui batas fisiknya, jatuh ke tanah dengan tubuh yang tak berdaya. Darah dan keringat bercampur di tubuhnya yang lelah, sementara Caelum hanya bisa menatap dengan wajah penuh rasa bersalah.

"Aeris!" teriak Caelum, berlari ke arahnya, hanya untuk melihat tubuh Aeris yang terkulai lemas. Hatinya terasa hancur, seolah dunia ini runtuh begitu saja di hadapannya.

---

Saat Caelum terbangun, ia merasa tubuhnya lelah, namun pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Aeris. "Aeris..." bisiknya dengan suara penuh kecemasan, matanya terbuka lebar, mencari sosok Aeris. Saat dia menemukan Aeris, yang terbaring lemah di ruang perawatan, hatinya hampir hancur. Tubuh Aeris tampak tak berdaya, dan Caelum merasa ikatan mereka hampir terputus oleh maut.

Tanpa berpikir panjang, Caelum meraih tangan Aeris, menggenggamnya erat-erat seolah ingin memastikan bahwa dia masih hidup. Aeris hanya mengeluarkan napas lemah, namun Caelum bisa merasakan detak jantungnya yang masih ada. Dengan ekspresi penuh kecemasan, Caelum menunduk, menyentuh dahi Aeris yang terasa dingin. "Kau tidak akan mati, Aeris... Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi," bisiknya dengan suara gemetar, hampir tak mampu menahan air mata.

Dia menggenggam tangan Aeris lebih erat, seperti memohon agar dia sadar. "Aku berjanji, Aeris. Aku akan melindungimu, tidak peduli apa yang terjadi."

Di sekelilingnya, orang-orang yang menyaksikan terkejut melihat ekspresi Caelum yang penuh emosi. Tidak ada lagi sosok yang keras dan tak terkalahkan di hadapan mereka. Caelum hanya seorang pria yang putus asa, yang takut kehilangan orang-orang yang dia cintai.

Aeris hanya diam, tetapi kedamaian di wajahnya membuat Caelum merasa sedikit lebih tenang. Sambil menggenggam tangannya, dia hanya bisa berdoa agar Aeris terbangun. Agar janji yang telah dia buat tetap hidup, terikat erat dalam setiap nafas mereka.