Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 27 - Dengan Darah dan Baja

Chapter 27 - Dengan Darah dan Baja

Kabut malam merangkak pelan di atas medan Elaria, menyelubungi dunia dalam dinginnya embun. Tanah yang sebelumnya subur kini berubah menjadi genangan darah dan lumpur, menyerap derap kaki prajurit dan jeritan kematian yang bergema tanpa henti. Di tengah medan, bayang-bayang bergerak seperti hantu, menyelinap, menyerang, lalu menghilang lagi ke dalam kegelapan.

Di atas bukit kecil, Caelum berdiri, diam seperti patung. Tombak Zarek dalam genggamannya berkilauan redup di bawah cahaya bulan yang terselip di antara awan gelap. Angin yang membawa aroma logam darah dan tanah basah menyentuh wajahnya, dingin dan tanpa ampun.

"Caelum, mereka mulai mundur," suara berat Daryn memecah keheningan. Ia turun dari kudanya yang terengah-engah, wajahnya penuh luka dan darah, entah miliknya atau musuh. "Tapi jangan terlalu percaya diri. Fioris sedang mempersiapkan sesuatu. Aku bisa merasakannya."

Caelum tidak langsung menjawab. Matanya tetap menatap medan di depannya, mengamati pergerakan pasukan Kekaisaran. Napasnya terdengar pelan tetapi berat, seolah ada beban tak terlihat yang menekan dadanya. Akhirnya, ia berkata, "Justru itu yang kita tunggu. Biarkan mereka masuk lebih dalam."

"Masuk lebih dalam?" Daryn mengerutkan kening, nada suaranya bercampur rasa curiga. "Kau mau kita membawa mereka lebih dekat ke pusat jebakan kita? Itu bunuh diri kalau mereka menyadarinya."

Caelum menoleh perlahan, matanya bertemu dengan tatapan Daryn. "Jika kita tidak mengambil risiko, kita akan mati lebih cepat," katanya pelan, tetapi setiap kata membawa ketegasan yang tak terbantahkan.

Daryn mendengus, tetapi tidak membantah lagi. "Kau terdengar seperti Raedan sekarang."

"Raedan sudah mati," jawab Caelum dingin. "Dan kita tidak punya kemewahan untuk bersikap seperti dia."

---

Di sisi lain medan, Elira melepaskan satu lagi anak panah dari busurnya. Itu mengenai seorang prajurit Kekaisaran di tenggorokan, membuatnya jatuh dengan suara yang tercekik. Ia menghela napas pendek, tangan kirinya bergetar. Luka di bahunya mulai terasa membakar. Tetapi ia tidak berhenti.

"Bagaimana kau bisa terus menembak dengan tangan seperti itu?" suara Aeris terdengar di belakangnya. Wanita itu melangkah maju, darah menetes dari pedang yang ia bawa, wajahnya penuh kelelahan tetapi tetap memancarkan tekad.

"Karena aku harus," jawab Elira sambil mengambil anak panah berikutnya. "Kalau aku berhenti, kita akan kehilangan lebih banyak orang."

Aeris menghela napas. "Kau tidak pernah tahu kapan harus menyerah, ya?"

Elira tersenyum samar, meskipun rasa sakit di tubuhnya hampir membuatnya pingsan. "Bukan menyerah. Hanya tahu kapan harus melawan."

---

Fioris Lilium berdiri di tengah barisan pasukannya. Mantelnya yang panjang berayun lembut, pedang kembar di tangannya berkilauan seperti taring serigala yang haus darah. Wajahnya tenang, hampir seperti pematung yang sedang mengamati hasil karyanya.

"Barisan depan, maju perlahan. Jangan berikan mereka ruang untuk bernapas," katanya pelan, tetapi nadanya memerintah. Ia tidak perlu berteriak. Prajurit-prajuritnya mengikuti setiap perintahnya seperti boneka yang digerakkan benang.

Seorang prajurit mendekatinya. "Komandan Fioris, pemberontak tampaknya mencoba menarik kita lebih dalam."

"Tentu saja," jawab Fioris sambil menyeringai kecil. "Caelum adalah orang yang cerdas, meskipun terlalu terobsesi dengan dendam. Tetapi jebakannya hanya berfungsi jika kita tidak siap." Ia mengangkat pedangnya, menunjuk ke arah timur. "Kirim High Guard ke sayap kanan mereka. Buat mereka merasa aman, lalu hancurkan dari dalam."

---

Di sisi pemberontak, Carl dan Torren bergabung dengan barisan utama setelah menyerang dari arah kiri. Carl tertawa pendek, meskipun darah mengalir dari pelipisnya.

"Jadi ini rencanamu, Caelum?" tanyanya sambil mendekati sang pemimpin. "Membiarkan musuh merasa mereka menang sampai mereka terlalu jauh untuk kembali? Berani sekali."

Caelum menatap Carl tanpa ekspresi. "Kau ada di sini, kan? Jadi aku anggap kau setuju."

Carl mengangkat bahu, tetapi ada senyum kecil di wajahnya. "Kau benar. Aku suka sedikit kegilaan di tengah perang."

---

Pertempuran mulai mencapai puncaknya ketika High Guard, pengawal elit Kekaisaran, menyerang dari sisi kanan. Mereka bergerak dengan presisi dan kekuatan yang mengerikan, menghancurkan barisan pemberontak yang mencoba bertahan.

"Master Cael!" suara Aeris terdengar, penuh peringatan. "Mereka datang untukmu!"

Caelum mengangkat Tombak Zarek, menatap musuh yang mendekat. "Mereka selalu begitu," gumamnya pelan, hampir kepada dirinya sendiri.

Fioris muncul di tengah High Guard, kedua pedangnya bersilang di depannya. "Caelum," katanya, nadanya rendah tetapi penuh ancaman, "akhirnya aku bisa mengakhiri permainan ini."

Caelum melangkah maju, meskipun tubuhnya penuh luka. "Permainan ini baru dimulai, Fioris."

Bab 26: The Clash of Steel and Blood

Pertempuran di medan Elaria berlanjut, seolah tak ada habisnya, seiring darah mengalir di tanah yang dipenuhi jeritan dan derap langkah pasukan yang tak henti. Kedua pasukan—pemberontak yang lebih sedikit, namun lebih gesit, dan Kekaisaran yang lebih besar, terlatih, serta lebih kuat dalam jumlah—terus berhadapan, tidak memberikan ruang untuk mundur.

Pasukan pemberontak bertahan dengan gigih, memanfaatkan setiap keuntungan kecil yang mereka miliki. Mereka menyerang dengan taktik gerilya, melesat di balik pohon-pohon besar, menggunakan medan hutan untuk menghilang dan muncul kembali dengan serangan yang tak terduga. Pemanah mereka meluncurkan anak panah dari balik kegelapan, tak terlihat, namun sangat mematikan. Pasukan kavaleri pemberontak, dipimpin oleh Daryn, menyerang dengan kecepatan luar biasa, menyusup di antara formasi Kekaisaran, menyebar keresahan dan memotong barisan infanteri yang lebih lambat.

Namun, taktik ini tak berlangsung mulus selamanya. Pasukan Kekaisaran, yang dipimpin oleh Fioris, yang cerdik dan tajam, segera merespons. Mereka membentuk formasi bertahan, menyusun barisan yang kokoh di tengah medan. Pasukan pemberontak terpaksa menarik diri. Mereka berperang dengan segenap daya, namun pasukan Kekaisaran lebih banyak dan lebih kuat, tak memberi celah untuk bertahan terlalu lama.

"Gerakkan pasukan mundur!" teriak Caelum, dengan suara penuh komando, matanya tajam mengamati medan yang semakin terbuka. Itu bukan tanda untuk menyerah, melainkan untuk menarik musuh lebih dalam ke dalam jebakan yang sudah disiapkan. Pasukan Kekaisaran yang merasa kemenangan sudah di tangan, tergelincir ke dalam strategi yang lebih dalam—pemberontak menarik mereka lebih jauh, lalu menghantam mereka dengan serangan mendalam.

Sementara itu, Elira terus berpindah-pindah posisi, melindungi barisan belakang, memastikan pasukan infanteri pemberontak yang mulai menunjukkan kelelahan tetap mampu bertahan. Dengan setiap langkah yang dihitung, setiap serangan yang tepat, dia menjadi pilar yang kokoh meski tubuhnya mulai lelah dan darah mulai menodai baju perangnya.

Namun, meskipun pasukan pemberontak berhasil mengurangi jumlah musuh, pasukan Kekaisaran yang jauh lebih besar masih terus menekan. Fioris, dengan kebijaksanaannya, mengirimkan bala bantuan ke berbagai sisi, memaksa pemberontak untuk bertahan lebih keras lagi. Keunggulan jumlah pasukan Kekaisaran mulai mempersempit ruang gerak pasukan pemberontak.

Di tengah kekacauan ini, Caelum berdiri di depan pasukannya, pandangannya tajam menilai medan yang dipenuhi darah dan kehancuran. Dia tahu tak ada waktu untuk ragu. "Kita harus bergerak! Kekuatan kita ada di kecepatan manuver, bukan jumlah!" teriaknya, memberi semangat kepada pasukannya yang mulai lelah.

Dengan tombak Zarek yang kini di tangannya, Caelum bergerak cepat, memimpin serangan dari barisan depan. Tombak itu—seperti lambang dari semua yang telah dilalui—berkilau di bawah cahaya bulan yang terhalang awan. Ia menghindari serangan pedang musuh dengan gerakan gesit, dan saat ia melancarkan serangan balik, Tombak Zarek menancap dalam ke dada musuh, menghancurkan harapan mereka dalam sekejap.

Aeris, dengan kelincahannya yang memukau, bertempur di samping Caelum. Setiap serangan yang dilancarkan, baik dari pedangnya yang terhunus maupun dari tubuhnya yang bergerak cepat, memporak-porandakan barisan Kekaisaran. Sebuah tebasan memotong leher prajurit Kekaisaran yang mencoba menyerang dari belakang, sementara Caelum merobek jantung lawannya dengan Tombak Zarek, tak memberi ampun.

Namun, meskipun mereka berdua bergerak seperti bayangan yang tak terpisahkan, pertarungan ini semakin berat. Caelum merasa tubuhnya yang penuh luka mulai goyah, dan Aeris, meski bertempur dengan keberanian luar biasa, mulai kelelahan. Darah mulai membasahi tubuh mereka, namun semangat mereka tidak goyah.

Seiring pertempuran mencapai klimaksnya, pasukan Kekaisaran yang terdesak berkumpul di titik tengah medan, dengan Fioris Lilium berdiri tegak, mengawasi situasi dengan keyakinan penuh. Ia tahu, titik ini akan menjadi penentu. Pasukan pemberontak terpojok, ruang gerak mereka semakin sempit.

Fioris, dengan tatapan dinginnya, mengangkat kedua pedangnya. "Kalian mungkin sudah mencuri banyak kemenangan, Caelum," katanya, suara rendah penuh ancaman. "Tapi ini adalah garis akhir bagi kalian."

Caelum hanya tersenyum tipis, menatap Fioris dengan tajam. "Jangan terlalu percaya diri, Fioris."

Mereka bertarung—Fioris menyerang dengan kelincahan dan kecepatan luar biasa, kedua pedangnya berkilau seiring ia memotong udara. Caelum bertahan dengan Tombak Zarek, menghindari setiap serangan yang datang, sementara Aeris menyerang dari sisi Fioris, berusaha menggoyahkan keseimbangan lawannya.

Namun, High Guard—sepuluh pengawal elit Kekaisaran—tak memberi kesempatan. Mereka mengepung Caelum dan Aeris, menyerang dengan brutal. Salah satu pengawal elit, yang berotot besar, berhasil menyabet pedang ke tubuh Caelum dari belakang, membuat luka panjang yang mengalirkan darah. Caelum mengerang, namun tidak mundur. Dengan Tombak Zarek, ia terus bertahan, menahan serangan demi serangan.

Aeris, yang melindunginya, berusaha membalas serangan dengan pedangnya. Namun, semakin lama semakin sulit. Salah satu pengawal elit yang sangat kuat menyerang Aeris, memaksanya mundur. Situasi semakin mencekam.

Namun, saat harapan tampaknya hilang, Carl dan Torren muncul dari sisi kiri, menyusup melalui barisan Kekaisaran yang mulai terpecah. Mereka datang untuk membantu, menyusup dengan cepat dan melancarkan serangan balasan yang menggempur barisan lawan. Meskipun mereka memberikan perlawanan keras, jumlah musuh yang lebih banyak membuat mereka semakin terpojok.

"Jangan menyerah!" teriak Torren, melontarkan serangan yang menghancurkan pedang salah satu pengawal elit.

Namun, meskipun mereka berusaha sekuat tenaga, pasukan Kekaisaran tetap menekan, dan pertarungan semakin brutal. Caelum terluka parah saat mencoba melindungi Aeris dari serangan mematikan Fioris. Tubuhnya yang sudah penuh luka mulai terasa kaku, namun semangatnya tetap menyala. Tidak ada kata mundur, hanya pertempuran yang terus berlanjut.

Pertempuran ini semakin mendekati akhir. Pasukan Kekaisaran mulai terdesak. Mereka semua telah sampai ke titik tertentu—ke titik akhir pertempuran yang akan menentukan siapa yang akan bertahan hidup. Perang ini belum berakhir. Nasib mereka masih bergantung pada ketahanan tubuh dan semangat yang tersisa.