Api yang masih berkobar di Hutan Arovia memberi suasana yang mencekam di tenda utama pemberontak. Sisa-sisa peperangan yang telah membakar habis sebagian besar hutan tampak mengubah dunia di luar menjadi lautan api dan kehancuran. Anggota The Crimson Blades beristirahat, tubuh mereka letih setelah peperangan sengit. Namun, suasana di dalam tenda utama sangat berbeda, penuh ketegangan dan kemarahan.
Torren, Daryn, dan Elira duduk di satu sisi tenda, wajah mereka penuh kekesalan dan kebingungan. Mereka semua merasa terhina oleh tindakan Caelum yang tanpa ampun membakar hutan, membantai pasukan Kekaisaran. Mereka bisa merasakan beban moral yang menimpa mereka, namun jauh di dalam hati, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa lagi mundur.
"Apa yang kita lakukan, Torren?" kata Daryn dengan suara serak. "Ini bukan kemenangan. Ini pembantaian. Caelum... Caelum telah melampaui batas."
Torren menunduk, mencoba menahan amarah yang hampir tak terbendung. "Kita harus berbicara dengan Caelum. Ini sudah tidak bisa dipertahankan lagi."
Elira menggenggam tangan Torren, matanya penuh kecemasan. "Kita harus menghentikan ini sebelum semuanya terlalu jauh. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa berpikir itu cara yang benar."
Namun, tak jauh dari mereka, Caelum duduk di pojok tenda, matanya kosong. Di tangannya, gelang yang diambil dari tubuh Krenor,digosok-gosok tanpa henti. Baginya, itu bukan sekadar harta rampasan—itu adalah simbol kemenangan. Kemenangan yang mengharuskan pengorbanan yang lebih besar. Bahkan jika itu berarti menjadi sosok yang tak bisa dikenali oleh teman-temannya sendiri.
"Caelum, ini sudah terlalu jauh!" teriak Elira dengan suara tegang. "Apa yang sudah kau lakukan?"
Caelum hanya diam. Wajahnya tetap datar, hampir seperti tidak peduli dengan kekesalan yang ada di sekitar. Dia sudah mendengar semua keluhan, tetapi tidak ada yang bisa mengubah pikiran atau tekadnya. "Aku melakukan apa yang perlu dilakukan untuk memastikan kita tetap hidup." Jawabnya tanpa menoleh.
Daryn menggelengkan kepala, air matanya hampir mengalir. "Tapi ini bukan cara kita, Caelum! Ini bukan bagaimana Raedan berjuang!"
Caelum menatap mereka satu per satu, lalu mengangkat bahu. "Jika kita berperang dengan cara yang adil, kita akan kalah. Kita hanya memiliki 5.000 orang—termasuk petani yang tidak terlatih. Apa yang kalian ingin aku lakukan? Membiarkan mereka terbantai?"
Elira menggertakkan gigi. "Itu bukan alasan untuk membantai mereka tanpa pandang bulu, Caelum."
"Jika kita tidak melakukannya, mereka akan membantai kita terlebih dahulu, Elira." Caelum menatap mereka semua dengan tatapan yang sulit dipahami. "Kita bukan pahlawan. Kita adalah orang-orang yang berjuang untuk bertahan hidup."
Torren menghela napas. "Tapi kau telah mengorbankan moralitas kita untuk apa? Untuk memenangkan perang ini?"
Caelum menyeringai kecil. "Moralitas tidak akan memberi kita kemenangan, Torren."
Di sisi lain tenda, Carl dan Vera, yang telah mendengar sebagian besar percakapan itu, hanya saling berpandangan. Mereka tidak setuju dengan tindakan Caelum, tetapi mereka juga terpesona dengan kecerdasan taktisnya. Vera, terutama, merasa kagum dengan cara Caelum berpikir di luar ekspektasinya, meski itu berarti melanggar banyak aturan moral.
"Dia memang gila. Tapi taktiknya luar biasa." Vera berbisik kepada Carl.
Carl hanya mengangguk, tidak terlalu terkejut. "Takdir tidak selalu diputuskan dengan cara yang bersih, Vera. Seorang anak yang kehilangan rumah dan keluarganya, sekarang menunjukan taringnya."
---
Pagi harinya, api di Hutan Arovia mulai padam, meninggalkan kepulan asap dan tanah yang hangus. Keheningan yang menyelimuti sekeliling hutan seolah memberi penghormatan pada pasukan Kekaisaran yang telah musnah dengan tragis. Pasukan pemberontak pun mulai bergerak untuk membersihkan sisa-sisa kekacauan yang telah mereka ciptakan. Mereka menemukan jasad-jasad musuh yang terpanggang dalam kobaran api, beberapa masih dalam posisi melarikan diri.
Namun, di antara semua ini, Caelum berjalan dengan tenang, seolah tidak terpengaruh oleh penderitaan yang ada. Dia berjalan menuju sisa-sisa tubuh yang terbakar, mencari sesuatu yang bisa diambil. Marcus Florelius, jenderal Kekaisaran yang telah tewas, menjadi sasaran berikutnya.
Dengan tekad yang sama seperti saat ia mencari "souvenir" lainnya, Caelum menemukan helm khas bangsawan Kekaisaran yang masih bisa dikenali meskipun terbakar. Dia tidak merasa bersalah atau iba, karena baginya itu semua adalah bagian dari perang yang kejam.
"Marcus..." gumamnya sambil meraba helm itu, kemudian melanjutkan pencariannya. Dia memandang armor perak yang kini menjadi abu-abu suram, warnanya sudah jauh berbeda dari saat pertama kali dilihat. Armor itu, yang dulu melambangkan harapan dan kekuatan Kekaisaran, sekarang menjadi simbol kehancuran.
Caelum berdiri sejenak memandangi armor tersebut, lalu tanpa ragu, dia mengambilnya. "Florelius's Ashes," bisiknya, memberi nama pada armor itu sebagai bentuk penghargaan terhadap pertempuran ini.
Sambil mencari artefak lain, Caelum melirik ke arah Elira, yang memperhatikannya dari kejauhan dengan tatapan kecewa dan cemas. Tanpa berkata apa-apa, Caelum melemparkan sebuah kalung indah yang ditemukan dari tubuh Marcus ke arah Elira.
"Souvenir," katanya dengan santai.
Elira menatap kalung itu, merasa jijik. Tanpa berkata apapun, ia melemparkan kalung itu kembali ke Caelum dan berlari menjauh, air mata mengalir deras di wajahnya. Caelum hanya mengangkat bahu, mengambil kalung itu kembali, dan memotong kepala Marcus dari tubuhnya. Sambil memotong kepala itu, dia tersenyum, seperti seorang kolektor yang merasa puas dengan hasil buruannya.
"Tunggu... Caelum...!" Daryn dan Torren berlari mendekat dengan amarah yang tak terbendung. Mereka melihat apa yang dilakukan Caelum dan mulai merasa sangat marah.
"Kau benar-benar gila, Caelum!" teriak Torren. "Kita sudah melewati batas!"
Caelum berdiri tegak, menatap mereka dengan tenang. "Semua ini bagian dari kehidupan. Ini adalah taktik perang, bukan permainan anak-anak. Kita ambil apa yang bisa kita dapatkan."
Daryn menatapnya dengan mata penuh kebencian. "Tidak, Caelum. Ini lebih dari sekadar taktik. Kau telah menjadi monster."
Caelum mengangkat kepala dengan bangga. "Jika monster yang membuat kita menang, maka biarkan aku menjadi monster."
---
Di sisi lain, Azrin, pemimpin pemberontak, berdiri di antara jasad-jasad yang berjatuhan. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah. Dia berlutut, menundukkan kepala sejenak, seolah meminta maaf kepada jiwa-jiwa yang telah jatuh.
"Ini semua salah kita." Azrin bergumam, suaranya penuh penyesalan. "Kita seharusnya bisa lebih baik. Kita tidak boleh membiarkan ini terus terjadi. Revolusi ini harus segera kita menangkan demi masa depan tanpa darah dan air mata di dataran ini."
Di sampingnya, beberapa anggota pemberontak mulai berbicara dengan suara pelan, meragukan metode yang digunakan Caelum. Namun, mereka tahu tidak ada jalan mundur.
---
Sementara itu, di Kekaisaran, suasana di istana sangat tegang. Kabar mengenai kekalahan besar pasukan Kekaisaran dan pembantaian di Hutan Arovia sampai ke telinga Kaisar dan para bangsawan. Mereka berkumpul untuk merumuskan rencana baru, mempersiapkan pasukan untuk menghancurkan pemberontak yang telah membuat Kekaisaran terhina.
Di tengah rapat, Grathion Mordane, jenderal tertinggi yang setia kepada Kaisar, berdiri dengan wajah penuh kemarahan. "Ini tidak bisa dibiarkan. Mereka harus dihancurkan. Caelum dan para pemberontaknya adalah ancaman terbesar Kekaisaran yang pernah ada."
Salah satu bangsawan yang lebih muda, Fioris Lilium, bangsawan Kekaisaran, berdiri dengan penuh keyakinan. "Kami akan menyiapkan pasukan elit kami. Kali ini, mereka tidak akan bisa melarikan diri."
Fioris, yang berasal dari keluarga Lilium, sebuah keluarga bangsawan Kekaisaran yang terkenal dengan sejarah panjang mereka dalam panggung politik kekaisaran, memiliki otak yang cemerlang dan kemampuan perencanaan yang mengesankan. Ia sudah mempersiapkan pasukan elit Kekaisaran yang jauh lebih kuat dan lebih terlatih, siap untuk menghancurkan pemberontakan.
---
Kembali ke sisi pemberontak, Azrin mendapatkan informasi terbaru dari Kekaisaran dan segera mendekati Caelum. "Kita tahu apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Mereka akan bersiap mengirimkan pasukan elit, dan kita harus bersiap. Kita harus bertindak cepat."
Caelum menatap Azrin dengan penuh percaya diri. "Kita tahu apa yang akan datang. Kita akan mengalahkan mereka dengan taktik yang lebih cerdik lagi."
Elira, yang masih terisak di luar, mendengarkan percakapan itu dengan penuh kebingungan. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
---
Kekaisaran dan pemberontak kini bersiap untuk pertempuran yang lebih besar. Api dan darah menjadi simbol pertempuran mereka. Namun, dalam hati Caelum, ada sesuatu yang lebih jelas. Sebuah janji yang akan diuji di medan perang.