Hutan Arovia telah lama dikenal sebagai tempat yang penuh misteri dan bahaya. Dengan pepohonan lebat yang menjulang tinggi dan semak belukar yang rapat, hutan ini adalah tempat yang sempurna untuk menyembunyikan pasukan pemberontak yang sedang mempersiapkan serangan dadakan mereka. Suara angin yang berdesir di antara ranting pohon memberi kesan sepi, tetapi jauh di dalam hutan, setiap langkah dan gerakan pasukan yang dipimpin oleh Caelum dipenuhi dengan tujuan dan perhitungan.
Di bawah arahan Caelum, para pemberontak bekerja cepat, mendirikan jebakan dan pertahanan sepanjang jalan-jalan hutan yang akan digunakan oleh pasukan Kekaisaran. Pasukan pemberontak tahu bahwa pasukan Marcus Florelius, yang dipimpin oleh si jenius militer Kekaisaran, akan bergerak dengan penuh ketelitian, dan mereka harus memanfaatkan setiap kesempatan yang ada.
"Jebakan di sisi kiri hutan, pastikan mereka tidak bisa keluar dengan cepat," perintah Caelum sambil memeriksa peta. "Kita buat mereka terperangkap di antara pohon dan semak. Jika kita bisa mengepung mereka, serangan sergapan akan lebih mudah."
Elira berdiri di sampingnya, dengan tangan terlipat, matanya penuh perhatian. "Kau yakin ini akan berhasil, Cael? Pasukan mereka begitu banyak."
Caelum mengangkat kepalanya, matanya tajam dan penuh tekad. "Keberhasilan bukan hanya tentang jumlah pasukan, Elira. Ini tentang taktik. Mereka akan terperangkap di antara jebakan kita, dan kita akan melancarkan serangan dari semua sisi. Mereka tidak akan tahu apa yang menunggu mereka."
Elira mengangguk pelan. "Aku percaya padamu. Tapi kita harus hati-hati. Jangan biarkan keberanianmu berubah menjadi kecerobohan."
"Tidak ada ruang untuk kecerobohan, Elira. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan kehilangan Fort Vallaris," jawab Caelum dengan penuh perhitungan. "Ini perang, dan kita harus bersiap untuk segala kemungkinan."
---
Di sisi lain, di istana Kekaisaran, Marcus Florelius mempersiapkan segala sesuatu untuk menyerang pemberontak yang semakin mengancam. Dengan 8.000 pasukan elit yang telah disiapkan, Marcus tidak hanya berfokus pada kekuatan, tetapi juga strategi dan taktik yang akan membantunya mengalahkan para pemberontak.
Marcus berdiri di depan peta besar yang tergantung di dinding, matanya menyapu setiap detail. "Pasukan elit kita akan memimpin serangan ini melewati hutan Arovia," katanya dengan tegas. "Kita harus memastikan kita tidak terjebak dalam perang panjang. Kita serang cepat dan dengan presisi."
"Rute yang kita pilih adalah yang paling pendek, tetapi juga paling berbahaya," ujar General Penasihat, seorang jenderal tua yang selalu mengawasi setiap gerakan pasukan dengan cermat. "Jika kita melewati jalur ini, kita harus siap menghadapi kemungkinan penyergapan."
Marcus menatapnya dengan penuh keyakinan. "Kita akan menyelesaikan mereka sebelum mereka tahu apa yang menghantam mereka. Penyergapan adalah keahlian kita, General. Tidak ada tempat untuk keraguan."
Rute, suplai, dan perhitungan posisi menjadi fokus utama dalam persiapan ini. Marcus Florelius, di usia mudanya yang penuh ambisi, telah merancang segala hal secara rinci. Ia tahu bahwa serangan ini adalah ujian besar bagi dirinya. Jika ia gagal, maka tidak hanya Kekaisaran yang akan hancur, tetapi juga reputasinya sebagai strategis jenius akan terjun bebas.
---
Malam sebelum pertempuran yang akan menentukan nasib mereka, Elira menemui Caelum secara pribadi. Di luar tenda yang telah disiapkan untuk mereka, angin malam berhembus lembut, namun ketegangan yang ada di antara mereka jauh lebih kuat.
"Elira?" kata Caelum, matanya yang tajam memandang ke arah gadis pemanah itu yang datang dengan langkah hati-hati. "Ada yang ingin kau bicarakan?"
Elira berdiri sejenak, menatap Caelum dengan mata yang penuh emosi. "Aku hanya ingin memperingatkanmu, Cael," kata Elira, suaranya pelan. "Kita sudah melewati banyak hal bersama. Aku… aku hanya ingin memastikan kita tidak membuat kesalahan yang sama seperti yang kita lakukan sebelumnya."
Caelum mendengarkan, tanpa menyela, namun ekspresi wajahnya mulai sedikit melunak. Elira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Aku mengerti kau memimpin kita, tetapi aku takut… aku takut keberanianmu malah akan mengarah ke kecerobohan lagi, seperti yang terjadi dengan warga sipil yang dibantai."
Caelum menunduk, mengerti apa yang Elira khawatirkan. Dia tahu bahwa tindakannya selama ini bisa terlihat sangat kejam. Tapi untuknya, ini adalah tentang bertahan hidup dan melindungi mereka yang masih ada. Peperangan tidak mengenal belas kasihan.
"Aku mengerti ketakutanmu," jawab Caelum, meletakkan tangannya di atas meja kayu. "Tapi apa yang aku lakukan, Elira, adalah untuk The Crimson Blades dan untuk kita semua. Tidak ada tempat untuk rasa kasihan dalam dunia ini jika kita ingin bertahan."
Namun, Elira menatapnya dengan tatapan penuh rasa percaya dan kekhawatiran. "Cael… jangan sampai kau menjadi orang yang kita takuti. Jangan menjadi seorang yang tidak bisa kukenali dalam proses ini. Aku tidak bisa kehilanganmu juga."
Setelah diam sejenak, Caelum mengangkat wajahnya, mencoba memberi Elira sedikit ketenangan. "Aku berjanji, Elira. Aku tidak akan melakukan apa yang kau takuti. Semua yang aku lakukan adalah untuk melindungi kita, untuk melanjutkan kejayaan The Crimson Blade. Tapi kita harus kuat. Kekuatan itu tidak datang dengan rasa kasihan."
Air mata mulai mengalir di pipi Elira, dan dengan cepat dia mendekat, memeluk Caelum dengan penuh perasaan. "Aku tahu, Caelum… Aku tahu. Tapi aku hanya khawatir, kita semua sudah melalui terlalu banyak. Aku tidak ingin kehilangan apa yang telah kita perjuangkan selama ini."
Caelum merangkulnya, perasaan hangat yang menyelimuti mereka berdua di bawah malam yang penuh ketegangan. Daryn, yang mengamati dari kejauhan, hanya bisa tersenyum rapuh. Dia tahu bahwa Caelum adalah pemimpin yang kuat, namun ia juga merasakan rasa takut yang mendalam di balik keteguhannya. Semua ini adalah pertempuran besar, bukan hanya melawan Kekaisaran, tetapi juga melawan apa yang mereka semua percayai.
---
Keesokan harinya, matahari mulai terbit, menyinari medan yang akan menjadi tempat pertempuran mereka. Pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi pasukan elit Kekaisaran yang dipimpin oleh Marcus Florelius. Di sisi mereka, pasukan siap dengan jebakan, strategi, dan rencana yang telah disiapkan oleh Caelum dengan cermat.
"Hari penentuan telah tiba," bisik Caelum pada diri sendiri. Dia tahu bahwa ini adalah pertempuran yang akan menentukan nasib mereka semua. Kemenangan berarti keberlangsungan pemberontakan, namun kegagalan akan membawa kehancuran.
Pasukan mereka bergerak dengan penuh tekad, bersiap untuk menyergap dan mengalahkan pasukan Kekaisaran. Elira, dengan busurnya, memimpin di depan, sementara Caelum memimpin dengan langkah pasti di belakangnya, bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Di sisi Kekaisaran, Marcus Florelius sudah siap dengan pasukannya. Serangan mereka akan segera dimulai, dan pertempuran ini akan menjadi penentu. Dunia mereka akan berubah, tergantung pada siapa yang menang.