Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 14 - Api Yang Membakar Diri III

Chapter 14 - Api Yang Membakar Diri III

Kastil Fort Vallaris, berdiri megah dalam kegelapan malam yang mencekam, kini menjadi arena bagi sebuah pertemuan yang berat, penuh ketegangan, dan dilema moral yang tak terelakkan. Di ruang utama yang dipenuhi hiasan kayu gelap berkilau, dengan lentera yang berpendar samar, Caelum duduk di ujung meja panjang, kaku dan tak tergoyahkan. Di sekelilingnya, wajah-wajah yang penuh pertanyaan dan keraguan mengintai, para pemimpin pemberontak, anggota The Crimson Blades, serta Blades of Narthal, terdiam dalam kecanggungan, menunggu pernyataan yang akan keluar dari mulutnya. Kemenangan mereka baru saja tercapai—tetapi kemenangan itu, justru memunculkan keraguan akan tujuan akhir perjuangan ini.

Para pemberontak yang sebelumnya penuh semangat kini terperangkap dalam kebingungan. Eksekusi terhadap para tahanan perang—hal yang mungkin bisa dimaklumi dalam konteks perang—namun pembantaian terhadap warga sipil yang memilih melawan mereka, membuat sebagian besar dari mereka meragukan niat dan tujuan sejati pemberontakan ini.

---

Azrin, sang pemimpin pemberontak yang dikenal akan ketegasan dan kepemimpinannya, memecah keheningan dengan suara yang penuh tekanan. "Caelum," ujarnya, suara yang sedikit bergetar, namun tetap mengandung kekuatan, "Aku ingin mendengar alasanmu. Apa yang kau lakukan di sini? Eksekusi terhadap tentara musuh adalah satu hal—tapi pembantaian terhadap warga sipil yang tak bersalah adalah tindakan yang tak bisa dibiarkan begitu saja."

Vera, berdiri tegak di samping Caelum, tatapannya penuh keseriusan, menambah beban yang kini terpaksa dihadapi oleh Caelum. "Kita telah berperang berdampingan, Caelum, dan aku menghormati keputusanmu di medan perang. Namun, ini… ini lebih dari sekedar perang. Ini adalah kegilaan. Pembantaian warga sipil tak dapat kami terima."

Elira, yang biasanya penuh semangat dan ringan, kini terdiam dalam keheningan, wajahnya dipenuhi keraguan yang jelas terlihat. "Caelum… apa yang sebenarnya kita lakukan? Apa tujuan kita sekarang? Membunuh mereka yang tak terlibat—mereka yang bahkan tidak berperang—membuatku merasa seperti kita bukan lagi pemberontak, tetapi justru monster."

Keheningan merayap di antara mereka, perasaan berat yang menggantung di udara. Daryn, yang biasanya bersikap tenang, kini mengangguk pelan, seolah mengamini kata-kata Elira. "Ini bukan perang yang kita perjuangkan, Caelum. Kita berjuang untuk kebebasan, untuk keadilan. Bukan untuk menjadi penghancur yang tak mengenal batas. Apa yang sebenarnya terjadi denganmu?"

Namun, Caelum tidak merespon, diam dalam hening yang semakin memikat. Tangannya yang sedikit gemetar mulai mengeluarkan gelang milik Krenor—sebuah benda yang baru saja dipungutnya dari mayat jenderal Kekaisaran. Dia memandang gelang itu, perlahan mengelapnya dengan hati-hati, seolah memberikan perhatian lebih pada benda itu daripada pada semua tatapan yang tertuju kepadanya.

Ruangan itu dipenuhi dengan kecemasan yang tak terucapkan. Mereka menunggu, mencari alasan di balik keheningan yang panjang ini. Apa yang akan Caelum katakan untuk menjelaskan tindakannya?

---

Beberapa saat berlalu dalam keheningan yang menyesakkan, sebelum akhirnya Caelum meletakkan gelang itu dengan pelan di atas meja, matanya yang tajam kini mengangkat, menghadap para pemimpin yang ada di hadapannya. Ada ketegasan dalam tatapannya, meskipun di balik itu semua, terselip perhitungan yang lebih dalam daripada sekedar amarah yang menyala. "Apa yang kalian lihat," katanya pelan, namun tegas, "adalah kenyataan yang ada dalam perang. Kekaisaran adalah musuh kita, dan mereka tidak mengenal belas kasihan. Jika kita membiarkan mereka hidup, mereka akan kembali menghancurkan kita—kalian semua tahu itu."

Dia berhenti, menatap mereka satu per satu, seolah menguji keberanian mereka untuk memahami kebenaran yang sulit diterima. "Saya tidak menyesal membunuh para tentara Kekaisaran. Mereka adalah ancaman yang harus dimusnahkan. Tapi lebih dari itu, saya juga tidak menyesal membantai warga sipil yang memilih untuk memberontak terhadap kita. Ketika mereka memilih untuk melawan kita, mereka memilih untuk menjadi musuh. Apa yang kalian pikirkan tentang ini? Mereka yang melawan kita akan bergabung dengan musuh. Tidak ada tempat untuk mereka dalam dunia ini."

Azrin tampak bingung, namun dia tetap diam, mencoba memahami apa yang sedang terjadi dalam pikiran Caelum. Caelum melanjutkan, suaranya tetap tegas namun terdengar semakin tajam. "Kekaisaran tidak mengenal ampun. Mereka akan menghancurkan kita dengan segala cara yang mereka punya—tanpa ragu. Tahanan perang yang kita eksekusi, mereka adalah musuh yang terlibat langsung. Dan mereka yang memilih melawan kita—yang memberontak—mereka harus membayar dengan darah mereka. Kita semua tahu bahwa ini adalah akhir yang mereka pilih."

Suasana dalam ruangan menjadi hening sejenak, dan Vera mengangguk pelan, seolah mulai memahami logika yang mendasari keputusan-keputusan Caelum, tapi tetap tidak bisa menerimanya. Dia tidak hanya mengandalkan kekuatan semata, tetapi juga menggunakan strategi yang sangat brutal, memastikan bahwa musuh tidak akan memiliki kesempatan untuk bangkit lagi.

"Tidak ada tempat bagi yang lemah dalam perang ini," lanjut Caelum, nadanya lebih lembut namun tetap penuh otoritas yang tidak bisa diganggu gugat. "Saya melakukan ini untuk memastikan kita bertahan. Jika kita tidak tegas, kita akan jatuh. Tidak ada yang bisa menghentikan kita, kecuali kita sendiri. Kita harus menjadi kekuatan yang tak bisa dibendung. Jika kita mengasihani musuh kita, kita akan menjadi lemah, dan kita tidak akan pernah bisa memenangkan perang ini."

---

Namun, tidak semua orang dalam ruangan itu dapat menerima penjelasan Caelum dengan mudah. Azrin memaafkan tindakan Caelum yang diluar batas dengan banyak syarat dan memberi sanksi tegas, dia berpikir Caelum adalah individu yang akan sangat berperan penting dalam pemberontakan yang sedang berjalan, bakatnya dalam berperang akan sangat berperan besar dimasa depan. Yang akhirnya memberi Caelum kesempatan karena pertimbangan - pertimbangan itu.

Setelah pertemuan berakhir, Daryn dan Elira berjalan menjauh dari kelompok, menuju sebuah sudut kastil yang sepi. Mereka berbicara dalam bisikan yang keras, tidak mampu menyembunyikan kebingungannya.

"Aku tidak tahu apakah aku bisa terus mengikuti Caelum, Daryn," kata Elira, suaranya bergetar. "Apa yang dia lakukan sangat berbeda dengan apa yang kita perjuangkan. Kita tidak bisa menjadi seperti Kekaisaran."

Daryn menghela napas panjang, hatinya terasa berat. "Aku tahu, Elira. Tapi kita semua tahu bahwa dalam perang seperti ini, tak ada pilihan yang mudah. Caelum mungkin sudah terjebak dalam kegelapan, tapi dia masih pemimpin kita."

"Kita akan menghancurkan Kekaisaran, itu pasti. Tapi dengan cara apa? Apa harga yang harus dibayar? Membantai penduduk tak bersalah?" tanya Elira, kebingungannya semakin dalam. "Aku tahu kita harus bertarung untuk bertahan hidup, tetapi apa yang akan terjadi pada kita setelah semua ini? Setelah semua pembantaian ini? Kita hanya menjadi monster yang menggantikan Kekaisaran jika ini terus terjadi!"

Daryn menatap Elira dengan penuh rasa prihatin. "Jika kita tidak mengikutinya, kita akan kehilangan segalanya. Tidak ada yang bisa mundur sekarang. Kita sudah terlalu jauh."

---

Sementara itu, Caelum berjalan menuju ruangan pribadinya, di dalam hatinya ada keheningan yang menyelubungi dirinya. Dia merasa seolah-olah setiap langkah yang diambil semakin berat, seiring dengan beban yang harus dia pikul. Apa yang telah dia korbankan untuk mencapai kemenangan ini? Dan apa yang harus dia bayar untuk itu?

Namun, satu hal yang jelas—dia tahu bahwa keputusan ini adalah bagian dari tujuan besar yang dia perjuangkan. Tidak ada belas kasihan dalam dunia ini. Hanya yang kuat yang bisa bertahan.